Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PARTAI Golkar kini dibelit persoalan baru, yang datang dari dalam tubuhnya sendiri. Bukan lagi klik-klikan atau yang ada kaitannya dengan kasus Bulog. Tapi ini soal pergantian antarwaktu para wakilnya di Senayan. Sejumlah politisi Golkar di parlemen tidak mau diganti oleh temannya sendiri, padahal mereka sudah mengadakan kesepakatan jauh-jauh hari.
Rebutan kursi ini terungkap setelah pekan lalu kader Golkar dari Sumatera Barat, Djusril Djusan, angkat bicara. Mereka mempertanyakan sikap Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung yang tidak segera menuntaskan persoalan ini. "Kami kan tidak bisa merebut kursi itu langsung dari si politisi itu. Mereka mungkin sudah keenakan," kata Djusril.
Mestinya sejak awal April ini Djusril sudah duduk di kursi empuk di Senayan menggantikan D.P. Datuk Labuan dari daerah pemilihan yang sama. Tapi belum ada tanda-tanda Datuk, yang sekarang menjabat Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar, mau melepaskan posisi sebagai anggota DPR. Padahal dulu mereka telah mengadakan kesepakatan tertulis untuk tampil sebagai wakil rakyat secara bergiliran. Datuk menjadi anggota legislatif hanya pada dua setengah tahun pertama, dari 1 Oktober 1999 sampai 31 Maret 2002, lalu sisanya sampai Pemilu 2004 diteruskan oleh Djusril.
Djusril tak bernyanyi sendiri. Ada 18 calon anggota legislatif Golkar lainnya yang mengalami nasib serupa. Dari da-erah pemilihan Sumatera Selatan, seharusnya Azhar Ramli menggantikan Marzuki Achmad, yang sekarang menjadi Ketua Fraksi Partai Golkar di parlemen. Bobby Suhardiman dari daerah pemilihan Jawa Tengah semestinya juga segera menggantikan Daryatmo Mardiyanto, yang kebetulan juga punya posisi penting di fraksinya. Ia menjadi sekretaris Fraksi Golkar, mendampingi Marzuki.
Menanggapi desakan dari rekannya itu, Marzuki Achmad gerah juga. Ia masih berusaha menutup-nutupi soal adanya perjanjian tertulis di antara dua calon legislatif di satu wilayah. "Tidak dalam bentuk perjanjian. Kita cuma disodori pernyataan bahwa setiap saat bisa diganti," katanya kepada TEMPO. Sedangkan Daryatmo memilih untuk pelit bicara. "Biarlah DPP yang mengaturnya," kata orang Semarang ini.
Masih ada contoh lain. Di Sulawesi Selatan, dua Ibrahim juga harus berbagi satu kursi. Ibrahim Gaus sekarang tengah menanti kesediaan Ibrahim Abong meninggalkan kursinya di Senayan. Tidak mudah juga karena Ibrahim Abong sekarang menduduki posisi yang cukup penting di parlemen, sebagai Ketua Komisi I DPR.
Kenapa rebutan itu terjadi? Semua itu gara-gara mekanisme Pemilihan Umum 1999 yang kurang sempurna, yang tidak memakai sistem distrik. Sebuah kesepakatan perlu dibuat karena tidak ada yang menang di daerah pemilihan tingkat kabupaten masing-masing, sementara ada jatah satu kursi yang masih diisi berdasarkan gabungan hasil suara di tingkat provinsi. Misalnya saja kasus Djusril dan Datuk. Keduanya termasuk dalam peringkat atas dalam perolehan suara bagi Golkar di Provinsi Sumatera Barat, tapi mereka tidak menang mutlak di kabupatennya masing-masing. Masalah ini tidak muncul pada tiga calon Golkar lainnya di Sumatera Barat karena mereka jelas-jelas unggul di kabupatennya. Karena itulah satu kursi harus tetap diisi karena Golkar mendapat jatah empat kursi di sana. Nah, Djusril dan Datuk bersepakat untuk berbagi masa tugas, ada paruh pertama dan ada paruh kedua.
Cara mengisi kursi seperti ini tidak melibatkan Komisi Pemilihan Umum karena memang tak ada aturannya. Semua diserahkan kepada partai masing-masing. Partailah yang menentukan siapa yang akan dikirim ke Senayan untuk memenuhi jatah di masing-masing provinsi itu.
Agar tidak menimbulkan friksi antarpolitisi, Akbar Tandjung lalu meminta mereka membuat kesepakatan tertulis yang dibubuhi meterai. Jadi, di Partai Golkar ini ada 19 pasang politisi yang seusai Pemilu 1999 meneken perjanjian tertulis di depan Akbar. Bentuknya memang seperti surat perjanjian pada umumnya, tapi berkop "Pernyataan Pengunduran Diri". Dengan tanggal yang masih dikosongi, di situ politisi yang masuk Senayan pada putaran pertama menyatakan mengundurkan diri, lalu diganti dengan kawannya. Surat itu diteken oleh yang mau diganti dan yang akan menggantikannya.
Karena ada kontrak hitam di atas putih itulah Djusril dan kawan-kawan terus menagihnya. Bahkan eksponen Angkatan '66 ini sudah mengingatkan hal itu kepada Akbar ketika Akbar masih di-tahan di Kejaksaan Agung.
Untuk meredakan kegelisahan politisi tersebut, Akbar Tandjung telah membicarakan hal itu dalam berbagai rapat pengurus DPP Golkar. Terakhir, Jumat pekan lalu, hal itu dibicarakan lagi dalam sebuah rapat pleno DPP Golkar di Slipi, Jakarta Barat. Hasilnya? Secara diplomatis, Akbar mengatakan, "Saya kira mereka (anggota yang akan diganti) harus berbesar hati. Kita tetap akan mengadakan pergantian antarwaktu."
Bagaimana pelaksanaannya? Tidak akan semudah yang diucapkan Akbar. Apalagi, dalam rapat, terjadi perdebatan yang sengit. Walau sudah ada perjanjian, ada yang menghendaki soal ini dibicarakan dulu dengan koordinator wilayah masing-masing. Kasus Marzuki Achmad-Azhar Ramli, sebagai misal, harus dirembuk dulu dengan Mahadi Sinambela, salah satu Ketua Golkar yang membawahkan wilayah Sumatera Selatan.
Malah Wakil Sekjen Golkar Bomer Pasaribu, misalnya, menyarankan agar suara dari daerah tempat pemilihan mereka juga didengar. "Jadi, ini tidak bisa di-putuskan begitu saja," ujarnya.
Alotnya pelaksanaan pergantian tersebut menunjukkan sebagian politisi Golkar masih enggan pergi dari Senayan. Apalagi kedudukan mereka, sesuai dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 228 Tahun 1999 tentang pergantian antarwaktu, juga cukup kuat. Selain karena meninggal, mereka baru bisa diganti kalau mengundurkan diri.
Nikmatnya gaji, uang pensiun, fasilitas, dan prestise sebagai anggota parlemen memang memabukkan mereka. Terlebih lagi ada percaturan politik di tubuh Golkar yang bisa dijadikan alasan buat mereka untuk bertahan. Kebetulan, para politisi yang akan diganti sekarang menduduki posisi penting di fraksi. Kalau Marzuki Achmad diganti, itu berarti Fraksi Golkar harus mengadakan pemilihan ketua fraksi. Dan di tengah kondisi Golkar yang terjepit gara-gara kasus Bulog II yang menjerat Akbar Tandjung, kata sumber TEMPO di Golkar, urusan begini bisa memancing perpecahan.
Jadi, masih ada kemungkinan orang seperti Marzuki dan Daryatmo dipertahankan. Ini bisa terjadi kalau baik Azhar Ramli maupun Bobby Suhardiman, yang mau menggantikannya, ikhlas tak duduk di kursi parlemen sekarang. Tentu mereka harus mendapat kompensasi politik yang pantas. "Ini bisa terjadi kalau Akbar menggunakan pengaruhnya untuk meyakinkan mereka," ujar seorang politisi Beringin.
Bagi Akbar, Marzuki dan Daryatmo memang cukup penting karena keduanya telah terbukti loyal kepadanya. Selain itu, kedua figur ini bisa menjadi tali penghubung dengan kelompok Taufiq Kiemas di PDIP. Seperti halnya Taufiq, Marzuki orang Palembang. Sementara itu, Daryatmo dan suami Presiden Megawati itu sudah lama berkawan karena sama-sama pernah aktif di GMNI.
Hanya, Fahmi Idris, salah satu Ketua Golkar, lebih setuju bila pergantian antarwaktu itu dilaksanakan saja. Konsekuensi mengadakan pemilihan ketua fraksi baginya tidak menjadi persoalan. "Di Golkar kan banyak kader yang mampu menggantikannya, jadi tidak masalah," katanya.
Baharuddin Aritonang, anggota Fraksi Partai Golkar, juga menyesalkan sikap kawan-kawannya yang enggan digusur. Semestinya mereka bersikap legawa karena sebelumnya sudah meneken perjanjian. "Ini soal moralitas. Bagaimana kata rakyat nanti kalau wakilnya bersikap seperti itu?" ujar Aritonang.
Bukan sekadar soal materi, menurut Aritonang, keengganan itu lebih atas dasar harga diri dan psikologis. Sebab, buat beberapa politisi Golkar tersebut, gaji di parlemen tidak seberapa dibandingkan dengan pendapatan mereka di luar. Dan secara tak langsung ini juga diakui oleh Bomer Pasaribu. "Orang yang lagi menikmati tugasnya lalu diberhentikan, ya, wajar agak keberatan. Itu manusiawi."
Tapi akan lebih manusiawi dan sekaligus sportif jika mereka mau membagi kursi buat kawannya yang sudah lama menanti. Kasihan surat perjanjian yang ada meterainya itu.
Gendur Sudarsono, Adi Prasetya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo