Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Simalakama Lokasi Judi

Benarkah motif polisi menolak lokalisasi judi sama dengan para ulama?

12 Mei 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GUBERNUR Jakarta Sutiyoso akhirnya menyerah. "Sudahlah, lupakan saja," katanya kepada pers pekan lalu tentang idenya untuk melokalisasi perjudian di Kepulauan Seribu. "Untuk apa membahasnya lagi? Para pemuka agama sudah menolaknya."

Mungkin tidak menyerah sama sekali. Sutiyoso memilih tiarap. Gagasan melegalkan perjudian di kawasan tertentu bukanlah hal baru. Tidak pula akan men-jadi usul terakhir. Sebab, gagasan itu memang menggiurkan. Kholik Abdul Kadir, Bupati Kepulauan Seribu, pendukung Sutiyoso, mengatakan sudah ada sejumlah investor yang berminat menanamkan modalnya, sekaligus menjanjikan pemasukan triliunan rupiah bagi pemerintah kota.

Namun, di hadapan penolakan luas di kalangan ulama, Sutiyoso memilih mengalah. Itu persis seperti tiga tahun silam ketika idenya yang sama juga ditolak masyarakat. Apalagi pekan lalu Sutiyoso sendiri harus menghadapi "mahkamah politik" lebih berat: laporan pertanggungjawaban di depan parlemen. Dan berbeda dengan tiga tahun silam, pe-nolakan keras kini datang dari polisi, yang kedudukannya kian penting pada era reformasi sekarang ini.

Seakan bermakmum kepada Sutiyoso, para bandar judi kakap pun memilih tiarap. Banyak dari mereka yang menutup diri setelah sejumlah lokasi digerebek dan ditutup polisi dalam beberapa pekan terakhir ini. Awal April lalu, polisi mulai menjamah pusat perjudian di Harco, Mangga Dua, yang sering disebut sebagai lokasi perjudian terbesar di Jakarta. Pusat-pusat perjudian lebih kecil seperti di kawasan Mangga Besar, Asemka, Hayam Wuruk, dan Gajah Mada memilih tutup sebelum dijamah.

"Kalau masih ada yang berani buka, akan kita tangkap," kata Kepala Dinas Penerangan Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Anton Bachrul Alam. Polisi bahkan juga menggerebek pusat judi di Pulau Ayer, Kepulauan Seribu, sepanjang April ini.

Pusat-pusat perjudian di Jakarta seperti menghilang ditelan bumi. Di Harco, misalnya, wartawan TEMPO cuma menjumpai tukang parkir. Padahal, sebelum tempat perjudian ini ditutup, sekitar se-ribu orang mendatanginya setiap hari. Lantai 3 pusat pertokoan ini menyediakan ratusan mesin judi dan buka 24 jam.

Di Harco pula terdapat tempat judi eksklusif yang tak bisa dimasuki sembarang orang. Di bagian belakang gedung, biasanya diparkir sejumlah motor yang siap membawa kabur uang dan bandar jika ada penggerebekan. Omzet judi di sini kabarnya mencapai Rp 5 miliar per malam. Kini, untuk sementara, semuanya tinggal cerita. "Sudah sejak awal bulan tutup. Banyak juga yang kecele," kata si tukang parkir. Tempat parkir pun ke-lihatan lengang. Kehidupan di sana seperti berbalik 180 derajat.

Suasana serupa bisa ditemukan di Jalan Kunir, Jakarta Barat. Bangunan bercat putih dan berarsitektur Belanda di Jalan Kunir 7 itu kini lengang dan gelap. Hanya sayup terdengar suara musik cadas dari dalam gedung yang berpagar seng. Selebihnya sepi seperti kuburan. Begitu pula bangunan dua lantai ber-bentuk U di seberangnya. Kedua tempat perjudian ini mempekerjakan sekitar 200 orang dan perputaran uangnya diperkirakan mencapai Rp 2-3 miliar setiap hari. Sebelum ditutup, kawasan itu ingar-bingar dengan suara mobil yang diparkir dan warung kaki lima, mulai tukang rokok sampai penjual jamu. "Waktu masih belum tutup, saya bisa mendapatkan puluhan ribu. Sekarang paling cuma Rp 35 ribu," kata Joko, penjual jamu di situ.

Ini semua buntut gebrakan polisi yang dilakukan belakangan ini. Wakil Kepala Badan Humas Kepolisian RI, Brigjen Edward Aritonang, mengatakan bahwa jumlah penggerebekan lokasi judi memang terus meningkat dalam empat tahun terakhir. Pada 1999 hanya ada 3.000 perkara perjudian yang digarap polisi, sedangkan tahun lalu hampir berlipat dua. Dan April lalu, polisi menyapu bersih lokasi perjudian kelas atas yang tergolong besar, seperti di Harco dan Pulau Ayer. "Pokoknya, yang tidak punya izin kami tindak," katanya kepada Retno Sulistyowati dari Tempo News Room.

Tapi para ulama penentang judi jangan keburu gembira dulu. Edward Aritonang menyebut kata kunci yang penting: "tidak punya izin." Dengan kata lain, perjudian telah lama dan hampir senantiasa dilegalkan di tempat tertentu. Benarkah polisi memiliki motif yang sama dengan para ulama ketika mereka menentang lokalisasi judi di Kepulauan Seribu?

Banyak pihak menyangsikan penggerebekan terakhir ini bakal membuat para cukong judi kapok. Bisa jadi ini cuma gencatan senjata. Jika melihat pengalaman tiga tahun lalu, kondisinya agak mirip.

Ketika itu, Sutiyoso melemparkan isu yang sama: lokalisasi judi. Bedanya, Sutiyoso belum menyebut-nyebut Ke-pulauan Seribu waktu itu. Boleh jadi penutupan rumah judi kali ini merupakan langkah awal untuk mentransmigrasikan mereka ke Kepulauan Seribu. Jadi, sembari menunggu "perjuangan" Gubernur Sutiyoso dan Bupati Kadir mengegolkan ide lokalisasi, para bandar ini menutup bisnisnya.

Toh, selama ini, penggerebekan tak pernah bisa melibas judi secara tuntas. Ibaratnya, ditutup satu tumbuh seribu. Dan pemainnya yang itu-itu juga. Mereka dikenal sebagai Naga Sembilan. Nama anggotanya antara lain Tomy Winata, Arif Cocong, dan Engsan.

Bukan tidak mungkin pula ini cuma taktik Sutiyoso untuk meredam kritik sementara. Banyak penentangan terhadap idenya terang tidak bagus buat Sutiyoso, yang harus membacakan laporan pertanggungjawaban pekan lalu. Karena itu, Sutiyoso kemudian ikut memilih tiarap. Hasilnya cespleng.

Dua laporan pertanggungjawabannya diterima oleh DPRD DKI Jakarta: yang satu soal anggaran, sedangkan yang lain tentang kinerja pemda. Juni nanti, Sutiyoso hanya tinggal melaporkan pertanggunggjawaban untuk lima tahun pemerintahannya, yang berakhir Oktober nanti. Bekas Panglima Kodam Jaya ini bahkan sudah mengemukakan kemungkinan mencalonkan diri jika ada yang mendukungnya. Bisa jadi, setelah ide Sutiyoso kembali tak bisa direalisasikan, lokasi perjudian dibuka lagi.

Harus diakui, memang sulit mengusir judi dari Jakarta. Tak bisa dimungkiri, penjudi sangat banyak, dari buruh sampai penjudi kakap. Lembaga Penelitian Pranata Pembangunan Universitas Indonesia, misalnya, memperkirakan ada 1,2 juta orang kelas menengah ke bawah di Jakarta yang terlibat perjudian. Omzetnya pun tak main-main, sekitar Rp 5 miliar per minggu. Lokasinya tersebar di hampir setiap pasar di Jakarta.

Sementara itu, perjudian kelas menengah ke atas lebih dahsyat. Ada sekitar Rp 80 miliar uang diputar setiap malam di meja-meja judi, dari kelas Kalijodo dan Jembatan Lima sampai Harco. Di Kalijodo—yang sudah habis terbakar Februari lalu—setidaknya ada 5.000 penjudi yang datang ke sana setiap hari. Kini mereka pindah ke Jembatan Lima. Dengan pasar seperti itu, tak aneh jika para bandar juga terus beroperasi. Maklumlah, begitu gampangnya mengeduk rezeki dari tempat seperti itu.

Lebih dari itu, perjudian juga dibeking aparat keamanan, oknum TNI ataupun Polri. Pranata Pembangunan mencatat, setiap malam, uang keamanan yang dikeluarkan para bandar bisa mencapai Rp 2-3 miliar. Praktek beking seperti itu akan lenyap jika judi dilegalkan dan dipusatkan di suatu tempat yang lebih terkontrol.

Kongkalikong bandar dan aparat bukan rahasia lagi. "Kalau mau tahu hubungan bandar dengan beking, datang saja ke salah satu gedung di Jalan Sudirman," kata seorang petinggi polisi yang tak mau diungkapkan jati dirinya. Anton Medan, bekas pemilik tempat perjudian yang kini Ketua Yayasan Majelis Taklim At-Taibin, juga membenarkan soal itu.

Kalaupun ada penggerebekan, itu tak berlangsung lama. Para bandar ini aman-aman saja. Sekali-sekali dalam setahun juga tak jadi soal. "Kalau mereka mesti keluar biaya sampai 50 persen, mereka masih untung," kata Rizal Hikmat dari Pranata Pembangunan.

Jadi, jangan kaget jika tak lama lagi tempat-tempat perjudian itu bakal kembali buka. Dari para penjaga rumah-rumah judi itu terdengar kabar bahwa tempat mereka bekerja bakal buka lagi mulai Senin ini. Lagi-lagi, ini akan membuktikan bahwa penggerebekan dan ide lokalisasi cuma sekadar intermeso.

M. Taufiqurohman, Dwi Arjanto, Karel Dewanto, Deddy Sinaga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus