Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kemarau panjang menentang sdsb

Karena kemarau panjang, banyak sawah kekeringan. di gunungkidul, Yogyakarta, penjaja air minum masuk desa, dan SDSB dilarang dijual. Banyak pengangguran dan migrasi musiman.

14 September 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Musim kemarau membawa paceklik. Penjaja air minum masuk desa. Mereka mulai mengganti beras dengan tiwul. Gunungkidul melarang SDSB. PERANGAI hujan itu seperti rezeki: jatuhnya tidak merata. Sering pula dia datang tanpa isyarat. Seperti pekan lalu, tiba-tiba hujan mengguyur pelbagai tempat, termasuk Jakarta, Bandung, Cirebon, Semarang, Ujungpandang, Balikpapan, Palangkaraya. Selain yang jatuh di Bogor, tercatat 80 mm, hujan kiriman umumnya hanya berupa gerimis. Namun, gerimis-gerimis itu bukan pertanda berakhirnya kemarau yang menyengat ini. Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) melihat gerimis itu lahir dari variasi gerak atmosfer bukan dari hasil tiupan angin muson yang biasa membawa awan-awan tebal. Akhir musim kemarau, untuk sebagian besar wilayah Indonesia, baru akan terjadi bulan Oktober dan November. Maka, Warno, petani dari Desa Segeran, Indramayu, Jawa Barat, masih harus bersabar. Menurut ramalan BMG, musim hujan baru akan mengunjungi desanya akhir November nanti. Padahal, ketika gerimis dua hari muncul, dia pikir kemarau telah berakhir. Maka, dia pun mulai membongkar tanah sawahnya yang keras, agar bisa segera ditanami palawija. Warno harus kecewa. Hari-hari berikutnya langit jernih, tanpa awan. Matahari menyorot keras, udara kering. Dia tak melihat pertanda datangnya hujan. "Ternyata, gerimis itu hanya untuk menghibur hati petani," katanya kecewa. Sawahnya telah empat bulan tak berair. Dia berniat pergi ke Jakarta, bekerja apa saja. Di tengah kemarau yang keras ini, Dayat, penduduk Srengseng, tak jauh dari Segeran, punya cara untuk bertahan. Tanah sawah yang kering digalinya, dicampur dengan air sumur payau, diinjak-injak sampai jadi adonan, lalu dicetak menjadi bata. Sepekan dia bisa mencetak 1.000 buah, yang laku Rp 20.000. Namun, rezeki itu lebih kecil dari dibanding penghasilannya menyawah. Apalagi di tengah kemarau terik ini harus tersedia biaya ekstra untuk membeli air minum, Rp 250-Rp 300 sepikul. Untuk keperluan sekeluarga, dengan satu istri dan lima anak, Dayat perlu dua pikul sehari. Di tengah paceklik kemarau itu, ada pula yang bisa menangguk untung, seperti Sulaeman, pengusaha kerupuk dari Desa Ngaloran, Demak, Jawa Tengah. Setiap kemarau datang, "Permintaan kerupuk meningkat," tutur Sulaeman kepada Bandelan Amarudin dari TEMPO. Sehari, dia menghabiskan tiga kuintal tepung tapioka untuk bahan kerupuknya, hampir dua kali lipat dibanding musim hujan. Keuntungan bersihnya sekarang Rp 18 ribu sehari. Rupanya, kerupuk punya hubungan dengan paceklik kemarau. Pada musim sulit ini, "Orang membeli kerupuk untuk menggantikan tahu atau tempe," kata Sulaeman. Bagi petani miskin semacam Arjo Sentono, 60 tahun, warga Blekongan, Kecamatan Tepus, Gunungkidul, Yogyakarta, bukan hanya mengganti menu tahu jadi kerupuk. Arjo pun kini harus mengganti beras dengan tiwul dari tepung gaplek. Sumber keuangannya nyaris putus. Tak ada lagi benda yang bisa dijual dari kebun dan tegalnya yang kering berbongkah. Seperti halnya beribu-ribu warga Gunungkidul lainnya, kini Arjo harus menghadapi alam yang keras. Hujan yang absen selama empat bulan telah membuat sumber air di sekeliling desanya terkuras. Bak air dari semen yang bisa menampung air 16 m3 hanya bisa dipakai keluarga Arjo, dengan 4 anak, selama dua bulan, kendati telah diirit-irit. Untuk bisa mendapatkan sepikul air, Arjo harus berjalan 5 km, naik-turun bukit. Maka, kendati keuangannya tipis, dia memaksakan diri membeli air yang diecerkan keluar masuk desa dengan mobil tangki. Sehari Arjo perlu dua pikul, Rp 700. "Sama dengan uang belanja sehari, untuk makan sekeluarga," katanya. Barangkali, keprihatinan Arjo masih akan berkepanjangan. Menurut prakiraan BMG, hujan baru jatuh ke daerah Wonosari November nanti. Arjo telah mematok tekad, kalau hujan tak kunjung datang dalam sebulan ini, dia akan mengembara ke kota, bekerja apa saja. "Kalau terus nekat di sini, anak istri mau makan apa," katanya. Kemarau panjang pun menimbulkan dampak lain: pengangguran. Banyak laki-laki desa yang tak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Lalu, sebagian dari mereka pergi ke kota, mencari penghidupan. "Separuh dari laki-laki desa ini kini telah ada di kota-kota besar," kata Arjo. Migrasi musiman itu juga terjadi di kalangan penduduk Bayawulung, sebuah dusun di selatan Banyumas, Ja-Teng. Sebagian dari migran itu ada yang kemudian menetap di perantauan. "Kami kini hanya mengandalkan kiriman uang dari mereka," ujar Chambali, Kepala Dusun Bayawulung, yang lelakinya kini merantau di Malaysia. Paceklik kali ini terasa lebih menyengat di dusun itu gara-gara banyak petani yang salah menghitung musim, seperti halnya Chambali. Dia terlambat tanam. Alhasil, modal Rp 250 ribu yang tertanam di dua hektare sawahnya amblas. "Padi saya kekeringan, puso," katanya. Di tengah belitan paceklik itu, Bupati Gunungkidul Ir. Soebekti Soenarto berani mengambil tindakan keras, melarang SDSB beredar di wilayahnya. "Daerah yang kekeringan harus bebas SDSB," katanya. Dia khawatir, warga yang sedang dililit paceklik mudah tergoda mimpi SDSB. "Lebih baik uangnya untuk beli cadangan beras," ujar alumnus IPB itu. Gunungkidul, yang berpenduduk 193 ribu jiwa, menyetor Rp 80 juta per bulan untuk SDSB. Gertakan Bupati Soebekti cukup ampuh. Pekan lalu, tak ada yang berani terang-terangan menjual SDSB. Ada pula yang nekat, seperti Samino (bukan nama sebenarnya). Dia keluar masuk desa-desa di Kecamatan Tepus, dengan motor bututnya, mengedarkan SDSB dari rumah ke rumah. "Saya hanya cari makan," ujarnya. Putut Trihusodo dan Siti Nurbaiti (Jakarta), Heddy Lugito, Sri Wahyuni (Yogya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus