Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Vokalis yang turun panggung

Beberapa tokoh yang tidak tercantum dalam daftar calon anggota DPR/MPR. Ada yang mengundurkan diri, ada yang dikenal vokal. antara lain Moh.Kharis Suhud, Saiful Sulun, Roekmini K.,H.Anang Adenansi.

14 September 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Beberapa tokoh yang vokal dan menonjol tak lagi duduk di DPR. Ada yang mengundurkan diri, seperti Kharis Suhud. Ada juga yang terdepak keluar. SELAMA lima tahun, bahkan ada yang lebih, mereka sudah memberi nuansa sendiri pada Dewan Perwakilan Rakyat. Bahkan mungkin juga mereka mematok sejarah sekalipun itu dianggap kecil. Mereka lantas dikenal sebagai anggota yang vokal. Kata ini memang khas. Tapi gampang diartikan, mereka suka berkomentar di surat kabar maupun di persidangan Dewan. Mereka jelas kawan baik wartawan. Tak sebatas itu, mereka kadang melontarkan ide-ide atau gagasan yang kadang mengagetkan dan pertanyaan yang tajam dalam dengar pendapat dengan Pemerintah. Dalam daftar calon yang baru, beberapa di antara mereka tak lagi masuk nominasi. Ini wajar saja. Bahkan justru lebih banyak anggota pendiam yang tak lagi kembali ke Senayan seusai Pemilu 1992 nanti. Namun, beberapa nama ini tentu tak akan lewat begitu saja, sekalipun mereka tak lagi berkiprah sebagai anggota DPR. MOHAMAD KHARIS SUHUD Usianya memang cukup lanjut. Tahun 1992 nanti, Kharis Suhud akan mencapai 67 tahun. Itu sebabnya ia tak lagi masuk di urutan atas daftar calon anggota DPR dari Golkar. Sampai hasil pertemuan tiga jalur Rabu pekan lalu, ia dipasang di urutan nomor 63 untuk Jawa Timur, daerah asalnya. Berarti, ia akan meninggalkan DPR. Konon, menurut sebuah sumber, ini atas permintaan Kharis sendiri. Surat permohonan pengunduran dirinya sudah diajukan 31 Agustus yang lalu. Ketika dikonfirmasikan, Kharis rendah hati mengakui bahwa ia memang sudah tak mungkin lagi aktif di DPR. Kesehatannya tak memungkinkan untuk itu. "Saya ini orang cacat. Tulang punggung saya sudah retak, saya tak bisa membungkuk lagi. Kalau memimpin sidang, setiap dua jam saya harus ke kamar kecil." Sekalipun demikian, Kharis belum kehilangan semangatnya. Ia masih menganggap dirinya adalah kader Golkar. Kalau toh sangat diperlukan, ia mengaku siap. Asal, kondisi kesehatan yang kurang baik itu dipertimbangkan. Namun, "Saya sebenarnya tak punya rencana apa-apa, saya ingin istirahat." Kharis Suhud adalah Ketua DPR/MPR untuk periode 1987-1992 ini. Sekalipun demikian, letnan jenderal purnawirawan ini dikenal rendah hati. Ada cerita di salah satu pertemuan dalam Sidang Umum MPR 1988 lalu. Kala itu perebutan kursi wapres antara Sudharmono dan H.J. Naro sedang seru-serunya. Kharis adalah tokoh yang paling diuber wartawan. Ia lalu membuat konperensi pers di salah satu ruangan. Sedemikian penuh sesak wartawan, sampai-sampai ada yang naik meja segala. Kursi dilanggar berantakan. Pokoknya, suasana ingar-bingar penuh kekacauan. Suasana non-protokoler yang keterlaluan ini akhirnya membuat Kharis tak tahan. "Saudara-saudara mestinya tertib. Menurut urutan protokol saya ini kan orang nomor tiga di republik ini, mbok ya sedikit dihargai," katanya dengan nada datar tanpa marah. Tak pelak lagi ruangan jadi sepi, satu per satu wartawan yang di atas meja menggelesot turun. Sebagai Ketua Dewan, dari semula Kharis selalu berupaya untuk meningkatkan citra lembaga. Untuk itu, ia meminta agar sidang-sidang dengar pendapat dengan menteri-menteri diubah polanya. Dulu, anggota Dewan mengajukan pertanyaan tertulis. Menteri menjawab dengan tertulis pula, dibacakan, tentu membosankan. Kharis lantas memperkenalkan tanya jawab langsung. Seusai pertanyaan tertulis dibahas, anggota Dewan mengajukan pertanyaan lisan yang dijawab saat itu juga oleh menteri yang bersangkutan. Hasilnya, sidang-sidang komisi menjadi hidup. Banyak masalah yang terungkap lebih jelas. Menteri pun lebih serius. Gagasan Kharis yang cukup menggegerkan adalah ketika ia melontarkan ide agar DPR dilibatkan dalam penyusunan kabinet. Setiap organisasi politik, lewat fraksinya di DPR, menyodorkan nama. Lalu Presiden memilih siapa di antaranya yang layak diangkat menjadi menteri. Dengan demikian, alasan Kharis, para menteri akan punya hubungan erat dengan DPR. "Ini hanya masukan. Tidak diterima ya nggak apa-apa. Tak ada move politik," katanya waktu itu. Dan memang gagasan Kharis lewat begitu saja. Pemikiran itu bahkan dinilai sebagai pemikiran liberalistis parlementer yang ketinggalan kereta. MAYOR JENDERAL SAIFUL SULUN Ia militer sejati. Suatu ketika ia mengatakan pada TEMPO, "Saya sangat bahagia jika berada di lapangan." Sebagai prajurit, Saiful juga melaksanakan tugasnya di DPR dengan sangat serius. Terlebih lagi, tugas di DPR bukanlah hal baru baginya. Pada periode 1977-1982, ia sudah pernah menjadi anggota DPR, duduk di komisi II, IV, dan V. Posisi itu diisinya selama tiga tahun tiga bulan sampai akhirnya ia kembali ke lapangan, dan terakhir sebagai Pangdam Brawijaya, 1985. Ia termasuk sukses ketika menjabat pangdam. Ketika itu, Surabaya nyaris meledak oleh kerusuhan rasial. Gara-garanya, ada pembantu yang disiksa majikannya. Kasus Kapasan, demikian peristiwa ini dijuluki, ternyata bisa ditanggulangi Sulun dengan baik, sehingga kemarahan massa bisa diredam. Dengan modal inilah, dua tahun kemudian Sulun balik lagi ke parlemen dan menduduki posisi wakil ketua hingga sekarang. Sebagai salah seorang wakil ketua, Sulun yang sekarang berusia 54 tahun ini punya ciri khas hemat dan hati-hati dalam memberi keterangan. Namun, bukan berarti ia tak bisa "meledak". Akhir April lalu ia tiba-tiba menyoroti peran DPR yang dinilainya lemah. Dalam wawancara dengan televisi, Sulun secara blak-blakan menekankan perlunya DPR diberi kesempatan untuk memainkan peranan yang lebih besar. Selama ini, ia melihat Pemerintah terlalu dominan. "Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan mutu DPR. Kalau DPR ditempatkan di bawah, Pemerintah sendiri yang rugi," demikian kata Sulun. Alasan Sulun, jika DPR bermutu rendah, kepercayaan masyarakat akan hilang. Akibatnya, mereka turun ke jalan. Pernyataan yang datangnya mendadak ini tentu saja membuat banyak orang tersentak. Namun, seperti juga berbagai pernyataan lain tentang DPR, pernyataannya itu lambat laun dilupakan orang. Sulun sendiri mengaku tak pernah mendapat teguran apa pun karena pernyataannya yang dinilai cukup tajam itu. "Saya pikir seorang anggota DPR ya memang seharusnya begitu," katanya pekan lalu. Semula Saiful Sulun termasuk dalam daftar 49 orang fraksi ABRI yang akan meneruskan kiprahnya ke Fraksi Karya Pembangunan. Dalam daftar nama 2.000 calon Golkar, nama Sulun masih tampak. Namun, setelah daftar itu diciutkan menjadi 800, namanya menghilang. Ke mana ia bakal ditempatkan, Sulun belum tahu. "Saya harus siap ditempatkan di mana pun. Terserah atasan," jawabnya dengan gaya militer tulen. Sulun memang orang sederhana, termasuk dalam hal makan. Konon, ia paling doyan makan tempe, tahu, dan sayur asem. KOLONEL POLWAN ROEKMINI KOESOEMO ASTUTI Dari predikatnya, mudah ditebak bahwa Roekmini adalah anggota Fraksi ABRI. Dulu, orang tentu tak bisa mengharapkan muncul suara lantang dari fraksi ini. Sebagai anggota ABRI, mereka tentu tak bisa seperti anggota Dewan lain yang benar-benar politikus dan biasa ceplas-ceplos. Sudah jamak jika anggota Fraksi ABRI berhemat dalam tutur kata. Namun, Roekmini mengubah citra "pendiam" dengan menggulirkan isu keterbukaan. Gebrakan ini dimulai Juli dua tahun yang lalu dalam sidang Komisi II, tempat Roekmini bergabung. Bersama dengan Mayor Jenderal Samsudin, koleganya di Fraksi ABRI, bola keterbukaan ini mulai dimainkan. Ketika itu, dalam sebuah rapat dengan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, tiba-tiba saja Samsudin melontarkan imbauan perlunya Pemerintah memberikan iklim keterbukaan. "Masih ada masalah soal ini," kata prajurit yang termasuk jajaran baret merah ini. Gelindingan Samsudin segera saja disambar oleh Roekmini. Bahkan, ia menyinggung pula soal sensor pers yang menurutnya perlu dikendurkan, supaya tak menjadi buletin Pemerintah. Selain itu Roekmini juga menyinggung kemacetan komunikasi politik yang dinilainya sudah membeku. Dan ia mengharapkan agar tak ada lagi "Rakyat yang menjadi tumbal pembangunan." Pernyataan lantang ini kemudian terus menggelinding. Isu keterbukaan menjadi pembicaraan di mana-mana. Dan setiap kali orang berbicara tentang itu, nama Roekmini selalu disebut sebagai referensi. Gebrakan ini juga membawa dampak pada DPR sebagai lembaga legislatif. DPR yang semula dianggap loyo dan tak berbobot seolah mendapat angin segar. Sebenarnya, jika ditilik latar belakangnya, Roekmini memang bukan orang baru di parlemen. Ia sudah menjadi anggota Dewan sejak 1982. Pada waktu masih aktif sebagai polisi, namanya juga pernah meroket ketika ia mengangkat kasus Sum Kuning sampai ke pengadilan. Saat itu ia masih berpangkat kapten dan bertugas di Bagian Pembinaan Remaja, Anak-Anak dan Pemuda Kepolisian Wilayah Yogyakarta. Namun, setelah masuk parlemen, ia jauh dari kesan galak. Bahkan penampilannya setiap hari cukup trendy. Rias wajahnya tipis, kadang dipadukan dengan perhiasan modis gaya anak muda masa kini. Sama seperti Saiful Sulun, mula-mula nama Roekmini disebut-sebut sebagai salah satu anggota Fraksi ABRI yang akan diseberangkan ke Golkar. Namanya juga sempat masuk ke dalam 2.000 calon legislatif yang disiapkan Golkar. Tapi seperti halnya Saiful Sulun, nama Roekmini lenyap ketika nama-nama calon sudah diperas menjadi 800. Kecewakah ia? "Saya tak kecewa. Kalau tak dipakai lagi, berarti saya bukan termasuk kader yang baik dan tak memenuhi kriteria," tuturnya. Ia juga tak merasa bahwa pencoretan namanya itu ada hubungannya dengan kebiasaannya bersuara lantang dan melontarkan kritik keras. Roekmini bersikap demikian karena ia menginginkan agar sistemnya lebih responsif. Dan menurut dia, persoalan vokal atau tidak itu bukanlah persoalan besar. Memang belum jelas, apakah Roekmini bakal terus berkarier di Fraksi ABRI atau bakal pindah ke tempat lain. Jika menengok usianya, tahun depan ia mestinya pensiun. Namun, ini bukan hambatan, pensiun toh bisa diulur jika memang diperlukan. U ntuk ini, ia sudah punya pegangan yang jelas, "Saya selalu bilang sama atasan saya, tangan Bapak itu saya anggap tangan Tuhan. Mau dicoret, mau diapakan, nggak ada masalah bagi saya. Semuanya Tuhanlah yang mengatur," katanya. H. ANANG ADENANSI Dua tahun berturut-turut Anang Adenansi mendapat julukan "anggota yang vokal". Ini pemilihan versi wartawan yang biasa mangkal di DPR. Itu memang kenyataan. Kadang kala pernyataan Anang sedemikian keras sehingga membikin telinga orang yang dikritiknya menjadi panas. Dan itulah sikap dasar Anang sejak ia menjadi anggota DPR 12 tahun yang lalu. "Saya tak pernah khawatir tergusur karena sikap vokal saya," tuturnya, masih dengan nada tegas seperti biasanya. Ia beranggapan, dengan menjadi anggota Dewan, orang memang mesti bersikap begitu karena mesti menyalurkan aspirasi rakyat dan membuat Dewan menjadi lembaga kontrol. Jika melihat masalah-masalah yang diangkat Anang dalam persidangan di DPR, memang terkesan bahwa Anang tak setengah- setengah. Perdebatan SIUPP, misalnya, adalah salah satu soal sampai Anang bersuara lantang. "Saya tetap tak bisa menutup hati nurani saya sebagai anggota Dewan, bahwa soal itu harus dikoreksi," kata Anang, yang juga menjabat sebagai pemimpin redaksi koran Media Masyarakat di Banjarmasin. Tentu saja sikap keras seperti ini kadang tak terelakkan berbenturan dengan kebijaksanaan fraksi. "Saya selalu mempertanggungjawabkannya kok," tambahnya. Maklum, selain duduk di DPR, Anang juga pejabat Dewan Pimpinan Pusat Golkar. Ia ketua Departemen Pemenangan Pemilu. Soal lain yang juga banyak memancing perhatian khalayak adalah kritiknya atas penanganan musibah terowongan Mina, tahun yang lalu. Anang sangat keras berkomentar pada utusan pemerintah Saudi yang ketika itu datang ke Indonesia. "Mereka bilang itu bukan kesalahan mereka. Menurut saya, mereka tidak bersikap jujur pada pemerintah Indonesia. Saya mengoreksi sikap pemerintah yang juga tidak tegas," kata Anang. Sikap tegas begini mau tak mau membuat banyak pihak tak suka. Anang juga sempat membuat jengkel orang-orang di Fraksi ABRI, ketika isu keterbukaan sedang ramai-ramainya dibicarakan orang. Ia dinilai memperkeruh keadaan. Sampai-sampai seorang perwira tinggi yang jengkel menyatakan, "Kalau bisa, Anang itu saya pithes," katanya gemas. Maksudnya, kalau bisa ia ingin menggencet Anang. Tentu saja Anang bukannya tak sadar risiko itu. Ia juga mengakui pernah dipanggil oleh DPP. "Tapi saya tak pernah ditegur dengan keras. Bahwa ada nasihat-nasihat dari pimpinan, itu kan biasa," katanya. Ia juga tak merasa melawan arus. "Kalau misalnya saya mengkritik Pak Harto tentang penembakan misterius, dalam rapat kerja dengan Pangab, itu juga dalam rangka kepentingan rakyat," tutur Anang. Alasannya, Pak Harto adalah mandataris rakyat. "Sebagai wakil rakyat, saya berhak mengungkapkan itu. Jadi, tak keluar dari aturan," kata Anang. Tapi ia akhirnya memang harus tergusur dari daftar calon. Ia mulanya sudah sangat optimistis karena menduduki posisi nomor satu di Kalimantan Selatan, daerah asalnya -- ia lahir di Amuntai. Tapi posisinya melorot menjadi nomor sepuluh. Ia memang masih punya kesempatan untuk menjadi anggota. Itu terjadi jika Golkar merebut semua kursi yang dipertandingkan di Kalimantan Selatan. Tahun lalu, Golkar menguasai tujuh kursi. Jadi, itu bisa dibilang mustahil. Namun, ia sama sekali tak putus asa. "Saya kan masih bisa duduk di MPR, dan saya masih tetap akan berkarya lewat Lembaga MPR. Kalau misalnya nanti tidak pun, tak apa-apa, saya akan terus gigih di Golkar." MARZUKI DARUSMAN Mungkin, ia adalah anggota parlemen yang paling populer. Parasnya ganteng, mirip-mirip almarhum presiden Amerika Serikat John F. Kennedy. Dan semua orang yang sering bertemu dengan Marzuki akan punya penilaian bahwa ia cerdas. Itu memang tak salah. Anggota DPR tiga kali ini menguasai bahasa Inggris, Prancis, Jerman, dan Belanda. Mulanya tak bakal ada yang menyangka bahwa ia bakal terpental dari DPR. Marzuki semula aman berada di posisi jadi di daerah pemilihan Jawa Barat. Namun, belakangan, setelah pertemuan tiga jalur 4 September lalu, namanya melorot ke urutan 47. "Saya melihat ini seperti main bola. Ada pola permainan yang ditentukan oleh kapten dan ada perorangan yang punya pandangan lain tentang permainan itu. Kemudian kaptennya bilang, Anda duduk dulu lah. Ya..., saya duduk," katanya. Beberapa sumber di DPP memang menyebut ada masalah dengan pandangan-pandangan Marzuki yang berbeda itu. Ia dinilai sering berada di luar garis fraksi. Ini lebih dari sekadar vokal. Sebenarnya, beberapa kali teman-teman Marzuki di DPP mencoba menasihatinya. Mereka meminta Marzuki agar sedikit menahan diri. "Bukan cuma sekali dua kali, sudah puluhan kali kami beri tahu," kata sebuah sumber di FKP. Namun, itulah Marzuki, ia tetap yakin bahwa salah satu cara memperkuat DPR adalah dengan memperkuat perorangan, memperkuat anggota DPR. Ia melihat selama ini anggota DPR masih kurang kuat dalam menghadapi Pemerintah. Itu sebabnya, menurut Marzuki, tak ada jalan lain selain memberi peranan pada perorangan supaya lebih vokal. "Saya meyakini itu, yang mungkin tidak sama dengan keyakinan orang lain," katanya. Karena keyakinannya, ia punya cita-cita tinggi. Belakangan ia dibicarakan orang karena berani mengungkapkan cita-citanya secara terbuka menjadi presiden, jabatan politis tertinggi. "Yang layak bagi setiap anggota DPR adalah ambisi menjadi presiden," katanya dalam wawancara dengan majalah Matra. Kali ini? "Tidak. Mungkin lain kali," katanya. Dengan duduk di urutan 47, Marzuki tak lagi berada di nomor jadi. Namun, masih ada kesempatan. Golkar merebut 44 kursi dalam Pemilu 1987 di Jawa Barat. Atau kalau itu pun tidak, ia masih punya kemungkinan untuk menjadi anggota MPR. Yopie Hidayat, Indrawan, Bambang Sujatmoko, Liston P. Siregar (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus