Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Meneliti wakil rakyat

Pelaksanaan proses penelitian khusus (litsus) bagi calon anggota legislatif. untuk menghindari calon yang terlibat PKI, terpengaruh komunis atau anti Pancasila. Banyak calon yang tak lulus.

14 September 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akhirnya skrining untuk calon anggota legislatif tetap dilaksanakan. Ada purnawirawan ABRI yang dicalonkan PDI tapi tidak lulus. KOMPLEKS militer milik Resimen Induk Infanteri Kodam Jaya di kawasan Condet, Jakarta Timur, itu sejak pukul 9 pagi Sabtu pekan lalu dikunjungi sekitar 100 kader Golkar. Mereka adalah calon anggota DPR/MPR dari partai pemerintah itu untuk Pemilu mendatang. Di antaranya terlihat pengusaha Bambang R. Soegomo dan Adiguna Sutowo, eks Sekjen FKPPI (organisasi putra-putri ABRI) Haryadi Anwar, tokoh Pemuda Pancasila Japto Soelistya Soeryo Soemarno, dan Bambang Sulistomo, putra almarhum Bung Tomo. Tentu saja kehadiran mereka bukan untuk mendaftarkan diri menjadi anggota ABRI. Mereka sedang menjalani sebuah proses pemeriksaan yang disebut penelitian khusus (litsus). Bergiliran mereka memasuki Aula Gatot Subroto di kompleks itu untuk menghadap sekitar 10 anggota tim pemeriksa. Mereka baru mengisi formulir yang tersedia dengan data pribadi mereka selengkap- nya. Lantas ada pula sejumlah pertanyaan tertulis di formulir itu, yang juga harus diisi. Misalnya, seperti diungkapkan seorang yang dilitsus hari itu kepada TEMPO. Di situ ditanyakan: Siapa idola Anda? Ada juga pertanyaan yang dilematis seperti dikatakan sumber tadi: Kita perlu banyak tenaga listrik, karena itu harus dibangun pusat pembangkit listrik yang besar. Tapi tenaga ahli untuk membangunnya kebetulan terlibat PKI. Bagaimana pendapat Anda? Setelah sejumlah pertanyaan itu dijawab tertulis, mereka boleh pulang. "Hari Senin kami harus hadir lagi untuk acara tanya jawab," kata peserta litsus lainnya. Tampaknya para peserta litsus akan mengikuti pemeriksaan dengan tanya jawab lisan, sehubungan dengan jawaban-jawaban yang mereka isikan dalam formulir itu. Dari hasil proses inilah nanti akan keluar rekomendasi dari Bakorstanas kepada Kepolisian. Atas rekomendasi itu, polisi akan memberikan surat keterangan tidak tersangkut (SKTT) kepada para calon anggota DPR/MPR tersebut. Dengan metode litsus ini, diharapkan akan terjaring apakah seseorang terlibat PKI, atau terpengaruh komunis, atau anti Pancasila. Menurut Kepala Pusat Penerangan ABRI Brigadir Jenderal Nurhadi Purwosaputro kepada wartawan pekan lalu, litsus itu diadakan karena sesuai dengan ketentuan bahwa mereka harus tidak terlibat partai terlarang. Memang, sejak meletusnya G30S 1965, dikenal adanya surat keterangan bebas G30S-PKI, yang diperlukan oleh seseorang untuk mencari pekerjaan atau berbagai keperluan lainnya, termasuk untuk menjadi calon anggota DPR. Yang bertanggung jawab untuk menentukan seseorang terlibat atau tidak adalah lembaga yang disebut Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang dibentuk 3 Oktober 1965. Ini memang semacam aparat darurat yang diperlukan untuk mengembalikan ketertiban setelah Kudeta PKI itu. Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto (kini presiden) ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai Panglima Kopkamtib. Tugas pokok lembaga ini kemudian dirumuskan lebih luas. Tak sekadar untuk menggebrak PKI. Keppres Nomor 9 Tahun 1974 menyebut Kopkamtib bertugas pula menangkal gerakan ekstrem atau berbagai kegiatan subversi lainnya. Lembaga ini juga bertugas menjaga kewibawaan Pemerintah dan aparatnya dalam mengamankan pelaksanaan Pancasila dan UUD 45. Kekuasaan Kopkamtib yang besar itu sering dituduh kalangan hukum sebagai lembaga ekstrakonstitusional. Dan akhirnya, 5 September 1988, lembaga ini dibubarkan. Selanjutnya Presiden membentuk lembaga baru yang dinamakan Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional (Bakorstanas). Seperti dikatakan Jenderal Try Sutrisno, Kopkamtib diarahkan pada pemulihan keamanan dan ketertiban, sedangkan Bakorstanas untuk menjaga stabilitas. "Saya punya kewenangan untuk mengumpulkan dokumentasi data dari masalah lama maupun baru," kata Try dalam suatu wawancaranya dengan TEMPO. Sementara itu, ketentuan tentang surat tidak terlibat G30S itu pada 1982 dicabut, tapi kemudian muncul skrining model baru yang disebut sebagai surat keterangan bersih diri dan bersih lingkungan. Semula ini hanya diperlukan untuk para calon ABRI, tapi belakangan merebak ke berbagai keperluan lainnya seperti untuk menjadi pegawai negeri atau swasta di sektor-sektor yang dianggap vital. Soal ini belakangan menjadi bahan perdebatan terbuka. Sebab, bersih lingkungan sering dikenakan pada orang-orang yang ayahnya atau famili dekatnya terlibat PKI meskipun orang itu sendiri belum tentu terlibat G30S. Pihak yang tak setuju hubungan darah ini dijadikan dosa sering mengajukan contoh: Meskipun kakaknya, Ir. Sakirman, seorang pentolan PKI, ternyata Mayor Jenderal S. Parman bisa menjadi sangat anti-PKI. Malah ia menjadi korban kebiadaban PKI dan menjadi pahlawan revolusi. Pada 1985, muncul ketentuan baru tentang soal yang berbau PKI ini. Ketentuan ini tak mempersoalkan hubungan darah, tapi tentang kadar keterpengaruhan terhadap PKI ataupun ajaran komunis. Dari sinilah kemudian dikenal adanya litsus untuk para anggota legislatif. Sementara surat tidak terlibat G30S-PKI bisa diraih seseorang bila ia tak pernah terlibat PKI dan tak ikut dalam G30S, dengan bersih lingkungan dan belakangan litsus, soalnya tampak lain. Meskipun tak terlibat langsung ataupun tak langsung dengan gerakan pengkhianatan tadi -- misalnya seseorang yang baru lahir di tahun 1965 saat G30S terjadi -- seseorang bisa saja dianggap terpengaruh komunis dan tak lulus litsus. Litsus diberlakukan juga bagi para calon yang sebelumnya sudah dilitsus. "Siapa tahu, seseorang itu mengalami perubahan sikap," katanya. Dan dalam pelaksanaannya, litsus tak pilih bulu. "Pak Harto dan Pak Dharmono pun, kalau menjadi calon, pasti dilitsus," kata Nurhadi. Semula tampaknya litsus tak akan dikenakan kepada semua calon anggota legislatif. Beberapa waktu yang lalu, Rudini sendiri mengatakan bahwa litsus hanya diadakan terhadap seorang calon bila memang diminta oleh partainya sendiri. Terutama bila pimpinan partai itu meragukan calonnya. Litsus, menurut Ketua Umum Lembaga Pemilihan Umum ini, juga diadakan bila aparat keamanan -- apakah karena laporan masyarakat atau dari sumber lainnya -- memperoleh indikasi bahwa seseorang itu terlibat PKI atau menganut paham komunis. Kemudian Menko Polkam Sudomo juga sempat mengatakan bahwa litsus tak diperlukan. Sejumlah tokoh Golkar juga begitu. Ketua DPP Golkar Yacob Tobing mengharap bahwa litsus hanya dilakukan dengan mengisi formulir tertulis tanpa harus ada acara tanya-jawab lisan. Rupanya, usul-usul itu masih belum diterima. Pangab Jenderal Try Sutrisno menegaskan bahwa litsus dipakai untuk mewaspadai orang-orang yang anti Pancasila dan UUD 45. Dan itu, kata Jenderal Try kepada Linda Djalil dari TEMPO, tak mungkin diketahui tanpa melewati litsus. "You mau jadi warga kampung saja mesti ngisi formulir untuk KTP. Semua ini harus dilihat untuk kepentingan bersama," ujarnya. Kemudian Presiden Soeharto sendiri menegaskan pentingnya penelitian khusus ini. Seperti dikatakan Ketua DPR/MPR Kharis Suhud, selepas menghadap Presiden di Istana Merdeka, bahwa Presiden menganggap litsus dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Dan dalam pelaksanaannya bisa diperbaiki lagi kalau memang terdapat kekurangan. "Tidak ada maksud apa pun dari Pemerintah melalui litsus," kata Kharis. Memang, sejak dua pekan lalu, sudah terbaca kalau akhirnya litsus akan diberlakukan juga, setelah calon anggota legislatif dari PPP dan PDI ramai-ramai mengikuti litsus di Resimen Induk Infanteri Kodam Jaya. Kelihatan hadir Ketua Umum PPP Ismail Hasan Metareum dan Ketua Umum PDI Soerjadi. Hasil litsus segera kelihatan. Tak sedikit calon PDI untuk DPRD di daerah-daerah yang tak lulus litsus. Di Purwokerto, misalnya, tak kepalang tanggung, jumlahnya sampai 22 calon, di Kabupaten Tuban, dari 26 calon, tak lulus 19 orang. "Kami belum mempelajari mengapa mereka tak lulus," kata Drs. Sudaryanto, Sekretaris DPD PDI Jawa Timur. Konon, beberapa di antara yang tak lulus itu adalah bekas kepala desa yang menyeberang dari Golkar ke PDI. Di Lampung lain lagi. Di antara tiga nama calon anggota DPRD Bandarlampung yang gagal dalam litsus itu, terdapat Damiri. Jabatannya cukup lumayan, Sekretaris DPC PDI Bandarlampung, dan kini ia masih anggota DPRD di kota madya itu. "Terus terang saya terkejut, bahkan sangat terkejut. Tak menyangka tak bisa lulus. Tapi inilah kenyataan," katanya. Lebih menarik, temannya yang lain, Peltu (Pur.) Sahabudin, 51 tahun. Bekas bintara ini pernah menjadi Ketua Golkar Sidomulyo 1969-1972. Belakangan, setelah pensiun, ia menjadi Komisaris PDI Kecamatan Panjang, Lampung, dan dicalonkan untuk anggota legislatif daerah. Lebih menarik lagi, Sahabudin mengaku sebagai pemegang lima tanda jasa, salah satu di antaranya tanda penghargaan khusus untuk penumpasan G30S-PKI. "Aneh, saya bisa tak lulus litsus," katanya kepada TEMPO. Sebenarnya, banyak juga pihak yang merasa perlu pengetatan pemeriksaan terhadap para calon politikus ini. Suara ini terdengar keras seusai Sidang Umum MPR yang lalu, terutama setelah terungkap beberapa tokoh Golkar ternyata berindikasi PKI. Misalnya, Syamsir Alamsyah gelar Datuk Majo Indo Nan Mamangun, Ketua DPD Golkar dan Ketua F-KP di DPRD Payakumbuh. Maret 1988 Datuk itu dicopot dari semua jabatannya itu karena ia dituduh terlibat PKI. Lebih berat lagi ketika Juli 1988, Kopkamtib (kini Bakorstanas) mengeluarkan keputusan bahwa Zarlons Zaghlul tak bersih diri, artinya ia berindikasi PKI. Padahal Zarlons ketika itu anggota MPR dari F-KP. Sebelumnya pejabat di Sekneg itu pernah menjadi bendahara DPP Golkar. Pada bulan November tahun itu, Sartojo Prawirosurojo, Ketua Departemen Tani dan Nelayan DPP Golkar yang baru saja terpilih lewat munas, mengundurkan diri dari jabatannya. Belakangan terungkap bahwa Sartojo mundur karena ia dituduh tak bersih diri. Memang sulit bagi organisasi politik untuk mengetahui apakah anggotanya bersih dari PKI. Karena itulah, Ketua DPP PDI Soerjadi tak keberatan dengan litsus. Apalagi ketika belakangan ini, menurut Soerjadi, banyak orang yang masuk ke PDI, tentu sulit melacak identitas orang-orang baru itu. "Yang bisa diketahui PDI hanya keterlibatannya di Kandang Banteng," kata Soerjadi. Untuk menjaga stabilitas nasional itu, rupanya dibutuhkan tingkat kewaspadaan yang tinggi. Walaupun ada juga kalangan yang meragukan apakah metode itu mampu betul menyaring sikap seseorang yang sering sulit diketahui, bahkan dengan penyelidikan yang mendalam. Maka ada yang khawatir: jangan-jangan litsus bisa dipakai untuk menghantam orang yang berbeda pendapat dengan Pemerintah. Maka, untuk mengejar deadline litsus khusus untuk Golkar dilakukan terserak-serak. Di Resimen Induk Infanteri Kodam tadi dilitsus calon Golkar dari jalur G yang berdomisili di Jakarta dan sekitarnya. Sedangkan calon yang berasal dari pegawai negeri (jalur B) dilitsus di kantor atau departemennya masing-masing. Agus Basri, Wahyu Muryadi, Sri Indrayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus