Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Gunungkidul - Sejumlah kebijakan lembaga keuangan, seperti perbankan dianggap belum inklusif karena belum ramah bagi disabilitas. Salah satu contohnya, tunanetra acapkali ditolak saat mengakses layanan perbankan karena tidak bisa melakukan tanda tangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tanda tangan harus konsisten atau sama dengan tanda tangan sebelumnya. Cap jempol enggak boleh," kata Presti, tunanetra yang memberikan testimoni di seminar Temu Inklusi 2018 bertema 'Merintis Layanan Keuangan yang Inklusif Bagi Difabel' di Lapangan Desa Plembutan, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunungkidul, Selasa, 23 Oktober 2018.
Presti yang hendak mengurus penggantian buku tabungan itu mencoba menggoreskan tanda tangan. Hasilnya sedikit berbeda dari tanda tangan sebelumnya karena agak miring. Petugas bank menolak. Presti kemudian mengusulkan menutup tabungan lama dan membuka tabungan baru dengan tanda tangan yang baru. Petugas bank tetap menolak dengan alasan tanda tangan harus sama.
"Padahal saya sudah jelaskan kalau saya punya akses internet banking," kata Presti. Tetap saja usaha Presti mentok. Bahkan sejumlah Tunanetra lainnya ada yang tidak bisa mendapat layanan ATM maupun internet banking. Alasan petugas bank, tunanetra rawan melakukan human error dan berpotensi disalahgunakan pihak lain. "Kalau itu alasannya, yang non-difabel juga bisa mengalami masalah yang sama," ucap Presti.
Hasil riset lembaga penelitian, konsultasi, dan pelatihan Definit pada 2017 menunjukkan mayoritas difabel yang telah mendapatkan layanan lembaga keuangan dikeluarkan dari sistem lembaga itu. Persoalan yang dihadapi difabel antara lain legalitas identitas dan dianggap tidak mampu menjaga keamanan ATM.
Baca juga: Cara Tunanetra Mengenali Keaslian dan Nominal Rupiah
Ada pula lantaran persyaratan administrasi tidak lengkap, seperti tidak mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP) karena tidak bisa tanda tangan sehingga tidak bisa mengurus NPWP. Fasilitas difabel juga dianggap mahal, seperti ramp, huruf braille, sehingga banyak lembaga keuangan yang tidak aksesibel bagi difabel.
Belum lagi urusan pendamping difabel yang terkadang bermasalah, misalnya tidak bisa dipercaya. Ditambah lagi, difabel dianggap tidak mampu secara finansial karena dianggap tidak bekerja sehingga tidak mempunyai penghasilan. "Sebenarnya lembaga keuangan bukan tidak mampu memberikan akses, tapi karena salah paham," ucap pendiri Definit, Bagus Santoso.
Kesalahpahaman itu karena pihak lembaga keuangan berpikir kaku sehingga membuat sistem yang saklek. Semisal, Tunanetra dianggap tidak bisa membaca selain menggunakan huruf Braille. Sedangkan biaya fasilitas dengan huruf Braille mahal. "Padahal Tunanetra bisa mengakses mobile banking dengan cepat lewat layanan suara," kata Bagus.
Artikel lainnya:
Tips Pilih Anjing Penuntun Tunanetra, Perhatikan 5 Hal Berikut
Semestinya, Bagus melanjutkan, lembaga keuangan mempunyai petunjuk teknis operasional atau PTO yang inklusif bagi difabel. Seperti ketidakharusan difabel membubuhkan tanda tangan untuk mengakses layanan keuangan, tetapi menggantinya dengan sidik jari. Kemudian menyediakan fasilitas yang aksesibel dan pendamping bagi difabel saat mengurus akses keuangan.