Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Perempuan Indonesia memandang uji kelayakan dan kepatutan calon anggota KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 di Komisi II DPR masih timpang saat membahas isu gender dan kaum marginal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati Tangka menjelaskan, ini terlihat di dua sisi, baik para calon anggotanya saat memaparkan visi misi maupun para anggota DPR saat memberikan pertanyaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari sisi para calon anggota, kata dia, mayoritas yang berbicara mengenai isu kesetaraan gender dan kaum marginal dalam visi-misi masih lebih banyak dibawakan oleh para calon perempuan. Sementara itu, calon laki-laki bahkan dinilainya sangat minim.
"Memang betul bahwa isu gender atau isu kesetaraan keterwakilan dan inklusi sosial kebanyak yang menyelipkan atau mengintegrasikan ke visi misi itu adalah calon yang perempuan," kata dia saat dihubungi, Rabu, 16 Februari 2022.
Yang lebih parah lagi, Mike mengatakan bahwa isu-isu inklusi sosial dalam kepemiluan ini juga masih timpang dari sisi para wakil rakyat di Komisi Pemerintahan tersebut. Katanya, para anggota DPR kebanyakan bertanya isu gender ke calon anggota perempuan, sedangkan ke calon anggota laki-laki tidak ada.
"Pertanyaan-pertanyaan terkait pengarusutamaan gender atau keterwakilan perempuan hanya ke calon perempuan, pun anggota komisinya juga yang perempuan di Komisi II mereka kecenderungannya juga tidak bertanya itu ke laki-laki," tutur Mike.
Dengan terlihat jelasnya kondisi ini saat proses fit and proper test, Koalisi Perempuan Indonesia dikatakannya punya catatan serius bagaimana DPR dan pemangku kepentingan lainnya nanti bisa berkomitmen merealisasikan ketentuan 30 persen keterwakilan perempuan di KPU-Bawaslu atau insitusi lainnya.
"Ketika kita bicara keterwakilan perempuan itu harusnya komprehensif ya bukan hanya secara orang, jenis kelamin, tetapi bagaimana perspektif gender atau afirmatif action tersematkan dalam seluruh proses," tegas dia.
Dia pun mengambil kesimpulan, kondisi yang terjadi saat proses fit and proper test ini menandakan dan semakin menegaskan bahwa beban pengarusutamaan gender masih diletakkan kepada perempuan di berbagai institusi negara di Indonesia.
"Padahal kalau kita bicara gender itu bukan hanya bicara perempuan saja. Tapi bagaimana selama ini kita juga memastikan ada keadilan secara substantif, lalu tidak ada diskriminasi di sana sehingga semua sama," tutur Mike.
Baca: Calon Anggota Bawaslu Soroti soal Layanan Pemilu bagi Penyandang Disabilitas