Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANGGOTA Dewan Perwakilan Rakyat kompak menyatakan setuju saat Wakil Ketua DPR Lodewijk Paulus meminta persetujuan mereka mengenai Peraturan DPR tentang Tanda Jasa Kehormatan bagi Anggota DPR Periode 2019-2024 pada Kamis, 19 September 2024. Peraturan itu berisi pemberian penghargaan berupa piagam dan pin kepada semua anggota Dewan, staf, serta pegawai negeri di Sekretariat Jenderal DPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengesahan peraturan ini digelar dalam rapat paripurna terakhir DPR periode 2019-2024. Mereka akan mengakhiri masa tugasnya pada awal Oktober 2024, bersamaan dengan pelantikan anggota Dewan periode 2024-2029.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peraturan DPR ini merupakan usulan Badan Legislasi. Wakil Ketua Baleg Willy Aditya mengatakan semua anggota DPR akan menerima tanda jasa kehormatan. "Aturan ini juga menyepakati penghargaan diberikan kepada tenaga ahli dan aparatur sipil negara di lingkungan DPR," katanya dalam rapat kerja Baleg pada Rabu, 18 September 2024.
Politikus Partai NasDem ini berdalih, tanda jasa kehormatan tersebut tidak disertai pemberian fasilitas ataupun tunjangan. Pin penghargaan yang akan diberikan kepada anggota Dewan itu berbahan dasar logam biasa, bukan emas. "Penghargaan ini sifatnya biasa saja, sebagai bentuk dedikasi bagi anggota DPR yang telah selesai dan lanjut sebagai wakil rakyat," ujarnya.
Wakil Ketua Baleg lain, Achmad Baidowi, juga memastikan bahwa pin penghargaan itu tidak terbuat dari emas. "Kemarin, teman-teman lihat semua hasil rapatnya bahwa itu pin-pin biasa. Jangan menganggap pin yang dipakai DPR ini emas," kata Awiek—panggilan Achmad Baidowi—Kamis, 19 September 2024.
Politikus Partai Persatuan Pembangunan itu lantas menunjukkan pin yang tersemat di jasnya. Pin sebagai tanda jasa kehormatan bagi anggota DPR itu akan serupa pin yang tengah dipakai di jasnya tersebut.
Sebelum pengesahan, Kepala Pusat Perancang Undang-undang Badan Keahlian DPR Lidya Suryani mengatakan peraturan Dewan tersebut tidak berhubungan dengan Undang-Undang tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. "Ini penghargaan untuk lingkup internal anggota DPR saja, seperti kehormatan di Lembaga Ketahanan Nasional," ucapnya pada Selasa, 17 September 2024.
Komisi X DPR tak mau kalah dalam urusan pemberian penghargaan. Komisi yang membidangi urusan pendidikan, olahraga, dan sejarah ini juga memberikan penghargaan kepada para anggotanya. Terdapat sepuluh kategori penghargaan, yakni anggota terajin, anggota "terhonorer", anggota terbijak, anggota "ter-fashion", anggota "terkomunikator", anggota tersantun, anggota "terdapil" (daerah pemilihan), anggota terviral, anggota legendaris, dan anggota paling berpengaruh. Ada empat legislator terpilih di setiap kategori tersebut.
Ruang rapat paripurna di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Anggota Komisi X DPR, Andreas Hugo Pareira, mengatakan penghargaan di lingkup internal komisinya tersebut berbeda dengan tanda jasa kehormatan yang diusulkan Baleg. "Penghargaan itu diumumkan bersamaan dengan peluncuran buku Komisi Peradaban karya anggota Komisi X," katanya pada Ahad, 22 September 2024.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menjadi nomine anggota "terkomunikator". Tiga anggota Komisi X lain dalam kategori ini adalah Ledia Hanifah, Putra Nababan, dan Desy Ratnasari.
Hiruk-pikuk pemberian penghargaan di lingkup internal anggota DPR periode 2019-2024 ini menuai kritik masyarakat sipil. Mereka menilai pemberian penghargaan tersebut merupakan bentuk konflik kepentingan. Sebab, pemberi dan penerima penghargaan merupakan subyek yang sama.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Muhammad Isnur mengatakan pemberian tanda jasa kehormatan oleh DPR kepada anggota Dewan tersebut sangat subyektif dan tidak layak. "Penghargaan kepada diri sendiri ini sangat tidak layak. Apa indikatornya?" ujarnya pada Ahad, 22 September 2024.
Isnur berpendapat, penghargaan kepada anggota Dewan di ujung masa jabatannya ini seharusnya didasarkan pada penilaian masyarakat atau lembaga lain. Ia justru menilai penghargaan DPR terhadap anggota Dewan itu menunjukkan bahwa kinerja legislator periode 2019-2024 buruk. Mereka memberikan tanda jasa kehormatan kepada diri sendiri karena tak ada masyarakat yang memberi penghargaan.
Ia mencontohkan berbagai produk legislasi DPR, dari Undang-Undang Cipta Kerja hingga Undang-Undang Ibu Kota Negara. DPR mengesahkan UU Cipta Kerja pada 2020. Pembahasan undang-undang ini sangat dipaksakan dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna.
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna serta metode pembuatan undang-undang secara omnibus tidak dikenal dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Baca Juga:
MK lantas memerintahkan pembuat undang-undang, yaitu DPR dan lembaga eksekutif, memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja. Namun kedua pihak tidak melaksanakan putusan MK tersebut. Mereka justru merevisi Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan untuk mengakomodasi metode pembuatan undang-undang secara omnibus. Setelah itu, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Cipta Kerja, yang akhirnya juga mendapat persetujuan DPR.
Suasana rapat paripurna ke-7 masa persidangan I tahun sidang 2024/2025 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 19 September 2024. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Isnur juga menyoal upaya DPR merevisi Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau Undang-Undang Pilkada hanya dalam waktu tujuh jam pada Agustus 2024. Isi revisi itu mengabaikan putusan MK tentang uji materi pasal mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah dalam Undang-Undang Pilkada. Namun DPR batal mengesahkan revisi undang-undang tersebut setelah berbagai kalangan berunjuk rasa di gedung DPR dan di berbagai daerah.
"Jadi memang kinerja DPR selama ini buruk. Itu terbukti dalam beberapa survei lembaga yang menyatakan DPR buruk dan ada ketidakpuasan masyarakat,” kata Isnur.
Kesimpulan Isnur atas kinerja DPR itu juga dikuatkan dengan berbagai rancangan undang-undang yang penting bagi masyarakat, tapi Dewan tak menggubrisnya. Misalnya RUU Pelindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Masyarakat Adat, RUU Hukum Acara Pidana, dan RUU Hukum Acara Perdata. RUU tersebut berulang kali masuk program legislasi nasional (prolegnas) tahunan, tapi DPR tak pernah menuntaskan pembahasannya.
Isnur menyatakan hal tersebut kontras dengan sikap DPR yang bergegas menuntaskan pembahasan revisi Undang-Undang Kementerian Negara dan Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden. Kedua perubahan undang-undang ini tidak masuk prolegnas. Namun Baleg justru tiba-tiba mengusulkannya sebagai inisiatif anggota Dewan setelah Komisi Pemilihan Umum menetapkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden 2024-2029. Baleg pun menuntaskan pembahasannya dalam waktu cepat.
Perubahan kedua undang-undang itu juga diduga untuk kepentingan pemerintahan Prabowo mendatang. Hasil revisi Undang-Undang Kementerian Negara membuat Prabowo dapat membentuk kabinet tanpa batas. Jumlah komposisi anggota kabinet disesuaikan dengan kebutuhan presiden.
"Justru RUU yang mewakili kepentingan oligark dan pengusaha cepat (pembahasannya). Revisi Undang-Undang Kementerian Negara yang mewakili kepentingan partai politik cepat disahkan," ujar Isnur.
Baca juga:
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, sependapat dengan Isnur. Lucius berpendapat, DPR mungkin sudah sadar bahwa rakyat tidak akan memberikan penghargaan kepada mereka. Karena itu, anggota DPR memilih memberi penghargaan kepada diri sendiri.
"Rupanya karena sadar tak akan mendapat penghargaan dari publik, inisiatif membuat penghargaan sendiri muncul dan dengan cepat disahkan DPR sebagai peraturan terakhir pada periode ini," ucapnya kemarin.
Lucius mengatakan produk legislasi DPR juga sangat minim dari sisi jumlah serta sangat rendah dari segi kualitas. Ia mencatat Dewan hanya mengesahkan 26 RUU yang masuk prolegnas selama lima tahun. Sejumlah RUU yang disahkan tersebut juga sarat kontroversi, di antaranya Undang-Undang Cipta Kerja.
Direktur Komite Pemantau Legislatif Jabodetabek Anwar Razak menambahkan, selain jumlah RUU yang disahkan sangat sedikit, proses legislasi DPR buruk. Anwar mencontohkan pembahasan revisi Undang-Undang Pilkada yang sangat singkat. Pembahasan serba singkat itu menunjukkan pragmatisme DPR dalam menyusun produk legislasi.
"Kalau ada kepentingan yang mendesak ke depan, DPR mempercepat (pembahasan) undang-undangnya,” tuturnya.
Anwar menyebutkan banyak RUU yang seharusnya menjadi perhatian anggota Dewan untuk segera disahkan karena menyangkut kepentingan masyarakat, misalnya RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Masyarakat Adat. Namun, kata dia, DPR justru sibuk membahas RUU yang baru dimunculkan di ujung masa jabatannya, yaitu RUU Kementerian Negara dan RUU Dewan Pertimbangan Presiden.
Anwar juga mengkritik agenda reses anggota DPR periode ini yang lebih banyak daripada periode sebelumnya. "Menurut kami, belum layak memberikan penghargaan untuk anggota DPR," katanya.
Hasil riset Frank Feulner yang berjudul "The Indonesian House Representatives and Its Role During Democratic Regression" juga menguatkan penilaian masyarakat sipil tersebut. Frank dalam penelitiannya itu menjelaskan bahwa DPR periode 2019-2024 justru turut membantu menurunkan kualitas demokrasi di Indonesia.
Frank mengatakan Presiden Jokowi mampu mengkonsolidasikan kekuatannya dengan DPR pada periode kedua masa jabatannya. Mayoritas partai di DPR mendukung lembaga eksekutif sehingga pengawasan terhadap presiden berkurang. Kondisi tersebut diperburuk oleh pandemi Covid-19 yang membatasi akses publik ke gedung pemerintahan.
Faktor itulah yang membuat DPR leluasa mengesahkan sejumlah undang-undang kontroversial, seperti Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Ibu Kota Negara.
Frank menjelaskan metode omnibus yang dipakai untuk menggodok Undang-Undang Cipta Kerja dengan menggabungkan 76 undang-undang baru ke dalam satu undang-undang. Proses legislasi omnibus tidak diakui dalam sistem perundang-undangan di Indonesia. Namun DPR tetap mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang pada 5 Oktober 2021. Pengesahan RUU tersebut diprotes sekitar 6.000 demonstran.
"Selain waktu pembahasannya yang singkat, undang-undang tersebut menuai banyak kritik karena beberapa hal. Salah satu kekhawatirannya adalah potensi dampak negatifnya terhadap lingkungan melalui peningkatan deforestasi dan insentif bagi industri batu bara," ucap Frank.
Undang-undang ini juga, kata dia, melemahkan hak-hak buruh dan perlindungan pekerja, termasuk tidak adanya hak cuti panjang serta upah minimum. Serikat pekerja menilai RUU tersebut tidak adil, merugikan buruh, dan membahayakan hak-hak pekerja. Mahkamah Konstitusi akhirnya menyatakan Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat karena pembentukan undang-undang tidak mengikuti prosedur, metode, dan sistem pembuatan undang-undang yang baku.
Alih-alih mematuhi putusan MK, Frank melanjutkan, Jokowi justru memanfaatkan DPR untuk mencari celah meloloskan Undang-Undang Cipta Kerja. DPR kemudian merevisi Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan agar metode omnibus disahkan. Jokowi kemudian mengajukan perpu, yang selanjutnya disetujui DPR.
"Pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja memberikan contoh bagaimana pemerintah Indonesia menggunakan mayoritas di parlemen untuk melemahkan prosedur kelembagaan," ujar Frank.
Ketua DPR Puan Maharani, yang dimintai konfirmasi soal ini lewat anggota stafnya yang bernama Budiono, belum menjawab pertanyaan Tempo. Adapun Achmad Baidowi merespons berbagai kritik publik terhadap DPR tersebut. Ia mengatakan tugas DPR bukan hanya legislasi, melainkan juga pengawasan dan penganggaran. Ia mengatakan semua proses sudah berjalan sesuai dengan target.
"Jadi jangan hanya melihat legislasinya. Tugas pengawasan dan penganggaran juga harus diperhatikan, dong," katanya.
Baidowi menyatakan indikator penilaian penghargaan sudah tertera dalam ketentuan tersebut. Anggota DPR yang tidak diberi penghargaan antara lain anggota yang sudah meninggal, diputus bersalah oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan dijatuhi sanksi etik. “Soal program penganggaran bergantung pada Sekretariat Jenderal DPR. Kami tidak ikut-ikutan," ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Nandito Putra dan Annisa Febiola berkontribusi dalam penulisan artikel ini.