Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOMUNIKASI melalui pesan WhatsApp menjadi amunisi bagi jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menjerat Andri Tristianto Sutrisna. Percakapan berisi pengaturan sejumlah perkara diungkap jaksa saat membacakan tuntutan untuk mantan Kepala Subdirektorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Perdata Mahkamah Agung yang didakwa menerima suap, pada Kamis pekan lalu.
Menurut jaksa KPK, sepanjang 25 September-6 Oktober 2015, terdakwa kasus pengurusan perkara di Mahkamah Agung itu berkirim pesan dari nomor telepon selulernya kepada seseorang bernama Taufik. Keduanya tengah membahas pengaturan sejumlah kasus yang ditangani MA. "Pertama, Taufik, yang merupakan besan Nurhadi, yang meminta terdakwa memantau perkara di tingkat MA melalui WhatsApp ataupun SMS," ujar Muhammad Burhanuddin, salah satu jaksa KPK. Nurhadi yang dimaksud ketika itu menjabat Sekretaris Mahkamah Agung. Pada Jumat tiga pekan lalu, ia mengundurkan diri setelah terseret kasus suap yang melibatkan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution.
Salah satu kasus yang disebut jaksa tengah dibahas kedua orang itu bernomor register 490K/TUN/15. Menurut direktori putusan yang tercantum pada situs resmi Mahkamah Agung, perkara tersebut merupakan permohonan kasasi tata usaha negara atas sengketa kepengurusan Partai Golkar yang diajukan kubu hasil musyawarah nasional di Bali pimpinan Aburizal Bakrie. Dipimpin hakim agung Imam Soebechi dengan anggota Irfan Fachruddin dan Supandi, majelis kasasi membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta yang memenangkan kubu hasil munas di Jakarta pimpinan Agung Laksono. Putusan yang diketuk pada 20 Oktober 2015 itu menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang memenangkan kubu Aburizal dan membatalkan keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang telah mengesahkan kepengurusan Agung.
Percakapan melalui pesan WhatsApp itu sebelumnya ditunjukkan penuntut umum KPK saat sidang pemeriksaan Andri pada Kamis dua pekan lalu. Kepada majelis, ketika itu Andri sendiri yang membuka identitas Taufik. "Dia besannya Nurhadi," kata Andri, yang dituntut 13 tahun penjara oleh jaksa KPK.
Dalam satu pembicaraan, keduanya khusus membahas pengaturan perkara tata usaha sengketa Golkar di MA terjadi pada 25 September 2015. Andri menyebut kasus sengketa Golkar dengan kode AL untuk menyingkat nama Agung Laksono, yang menjadi termohon di perkara kasasi tersebut.
Sepekan berselang, Andri mengabari Taufik tentang perkembangan kasus sengketa partai berlambang pohon beringin ini. Juga melalui pesan WhatsApp. "Bos, untuk AL sudah bergerak, ya. Anggotanya Irfan, Supandi, dan Imam (kepala suku)." Yang dimaksud Andri adalah majelis kasus itu dipimpin Imam. Dua hari kemudian, lagi-lagi melalui pesan WhatsApp, Andri memberi kabar kepada Taufik. "Bos, AL minggu depan persiapan sidang." Tidak sampai dua pekan, majelis kasasi perkara itu menjatuhkan putusan yang memenangkan Aburizal Bakrie.
Di sidang itu, Andri mengatakan Taufik hanya bertanya. Menurut Andri, apa yang dibahasnya di pesan WhatsApp tersebut tidak pernah terealisasi. "Hanya tanya-tanya," katanya. Sedangkan Taufik membantah pernah menjalin komunikasi dengan Andri. "Baik lewat telepon maupun WhatsApp," ucapnya. Dalam beberapa kesempatan setelah diperiksa KPK, Nurhadi mengatakan tidak tahu-menahu tentang kasus Andri. Ia juga mengatakan tidak begitu mengenal dekat Andri.
Dugaan pengaturan perkara sengketa Golkar bukan hanya terjadi pada gugatan yang diajukan kubu Aburizal Bakrie melalui PTUN. Pengaturan perkara juga diduga terjadi pada gugatan kubu Aburizal yang dilayangkan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Dugaan permainan ini terungkap ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Rohadi, karena menerima suap Rp 250 juta untuk pengurusan perkara Saipul Jamil yang ditangani pengadilan itu. Penyidik KPK juga menangkap Samsul Hidayatullah, kakak Saipul, dan dua pengacaranya. Saat penangkapan, penyidik juga menyita uang Rp 700 juta yang ditemukan di mobil Rohadi.
Uang Rp 700 juta menjadi temuan berharga karena diduga berkaitan dengan keabsahan pengurusan sengketa Golkar di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Saat penanganan sengketa Golkar, Rohadi bertugas sebagai panitera pengganti perkara itu. Tugasnya mempersiapkan administrasi persidangan, mencatat jalannya sidang, dan membuat berita acara persidangan. Seorang pejabat di KPK mengatakan penyidik telah mengantongi rekaman percakapan Rohadi dengan beberapa pihak terkait ini. Melalui pengacaranya, Hendra Heriansyah, Rohadi menyangkal duit itu berkaitan dengan perkara Golkar."Beliau bilang, uang itu tidak terkait dengan Golkar," ujar Hendra.
Belakangan, dugaan suap ini menyeret politikus Partai Gerindra, Sareh Wiyono. Sebelum menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Sareh menjabat Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Dia juga menjadi panitera di Mahkamah Agung pada 2007-2009. Pada 22 Juli lalu, KPK memeriksa Sareh selama delapan jam atas temuan duit ini.
Setelah pemeriksaan, Sareh mengatakan hanya ditanya soal perkenalannya dengan Rohadi. Dia membantah ditanya penyidik soal temuan senilai Rp 700 juta. "Tidak ada itu," kata Sareh. Pengacara Rohadi, Hendra, mengatakan uang yang ditemukan di mobil kliennya merupakan pinjaman dari Sareh untuk keperluan pembangunan laboratorium rumah sakit di Indramayu. Dalam kasus ini, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara sampai kasasi Mahkamah Agung kembali memenangkan kubu Aburizal Bakrie.
Seorang politikus Golkar mengakui indikasi rasuah dalam penanganan perkara dualisme kepengurusan partai. Menurut politikus ini, duit Rp 700 juta yang ditemukan hanya sebagian kecil dari total fulus yang ditebar. Dia mengatakan ada dana yang lebih besar yang diduga dipakai untuk mempengaruhi putusan hakim. Operatornya, menurut politikus ini, seorang pengacara yang dekat dengan pimpinan Golkar saat ini. "Nilainya miliaran," ucap politikus ini.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan lembaganya memang mendapat informasi awal duit Rp 700 juta itu terkait dengan sengketa pengurusan Golkar. Hanya, dia tak menjelaskan bagaimana penyidik bisa sampai pada dugaan ini. "Kalau buktinya cukup dan ada korelasi dengan perkara lain, kasusnya bisa dikembangkan," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham membantah adanya suap dalam penanganan perkara Golkar di pengadilan. Menurut Idrus, kubu Munas Bali dan Munas Ancol menyatakan penyelesaian dualisme kepengurusan ditempuh sesuai dengan aturan. Ketua Partai Golkar Aziz Syamsuddin juga tak tahu-menahu soal dugaan suap ini. "Saya malah baru dengar dari Anda," kata Aziz. WAYAN AGUS PURNOMO, ANTON APRIANTO, MUHAMMAD RIZKI, MAYA AYU
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo