Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM sepekan terakhir ini, jadwal K.H. Abdurrahman Wahid makin padat saja. Pagi di Jakarta, beberapa jam kemudian ia sudah melesat ke berbagai daerah. "Lusa saya akan menemui Gus Mus dan Kiai Sahal," kata Gus Dur, Rabu pekan lalu, di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Sowan Gus Dur ke dua kiai itu tak lain untuk membicarakan masalah Muktamar NU ke-31 di Boyolali, Jawa Tengah.
Apalagi sehari sebelumnya para kiai sepuh Jawa dan luar Jawa, yang dimotori salah satu kiai khos, K.H. Abdullah Faqih, berkumpul di Surabaya. Mereka mencalonkan Gus Dur menjadi rais am (pimpinan tertinggi) dan K.H. Mustofa Bisri sebagai Ketua Umum PBNU. Organisasi Islam yang memiliki massa sekitar 40 juta orang itu akan menggelar muktamar, 28 November hingga 2 Desember. Rozy Munir, dari panitia pengarah, memastikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan membuka muktamar ini.
Adapun K.H. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU, tak pula kalah sibuknya. Setelah beberapa waktu sebelumnya menyambangi pengurus NU, Rabu lalu Hasyim memilih ketemu jajaran media. Undangannya, sih, halal bihalal. Namun, rencana untuk maju kembali lewat muktamar tentu lebih menarik, apalagi Gus Dur berencana mengganjalnya. "Adalah hak setiap orang untuk maju," kata Hasyim. "Saya, sih, belum tahu, wong belum ada yang mencalonkan."
Hasyim tentu tahu, dalam muktamar, yang memiliki suara adalah pengurus wilayah dan cabang (struktural), bukan para kiai. Itu sebabnya ia lebih memilih mendekati pengurus. Dalam muktamar kali ini Gus Dur memang berencana "turun gunung", setelah istirahat lima tahun menjadi pengurus PBNU. Semula ia mengincar posisi syuriah untuk jabatan wakil rais am, namun terakhir ia malah tertarik jabatan rais am, yang kini dipegang K.H. Sahal Mahfudz. "Saya ini disuruh para kiai, ya saya manut saja," ujar Ketua Umum PBNU tiga periode itu.
Hasrat Gus Dur tampaknya berkobar setelah tahu Hasyim Muzadi ?Ketua Umum PBNU saat ini?bakal maju lagi mencalonkan diri. Kubu Gus Dur tak mau NU dijadikan kendaraan politik jika Hasyim nanti kembali memimpin NU. Seperti ketika Hasyim mencalonkan diri sebagai pendamping presiden Megawati Soekarnoputri dalam pemilu presiden kemarin. "Kami minta Pak Hasyim tak mencalonkan diri lagi karena selama ini NU terlalu jauh masuk wilayah politik," kata K.H. Anwar Iskandar, yang ikut dalam pertemuan di Surabaya.
Hubungan Gus Dur-Hasyim memang merenggang ketika Gus Dur menjabat presiden. Ketika Gus Dur terkena kasus Bulog, yang kemudian menurunkannya dari jabatan presiden, ia menganggap Hasyim selaku Ketua Umum PBNU tidak melakukan pembelaan terhadap kasus yang sedang menimpanya. Apalagi setelah kemudian Hasyim bergandengan dengan Megawati sebagai calon wakil presiden.
Untuk calon ketua umum, nama yang disebut Gus Dur berubah-ubah. Awalnya ia menjagokan Cecep Syarifuddin (Ketua PBNU). Tak lama berselang ia menyebut nama Tolha Hassan (mantan Menteri Agama). Terakhir ia mengunggulkan K.H. Mustofa Bisri, ulama-penyair itu. Gus Dur mengklaim akan didukung suara daerah. "Saya tahu persis daerah-daerah sudah mendukung," katanya.
Sebaliknya, kubu Hasyim yang diwakili PWNU Jawa Timur dan PWNU Sulawesi Selatan mengklaim mayoritas daerah mendukung duet Sahal-Hasyim. "Semua PWNU sudah mendukungnya," kata Ketua PWNU Sulawesi Selatan, Harifudin Cawidu. Selama kepemimpinan duet ini, menurut Harifudin, NU menjadi organisasi yang stabil. Kalau dipimpin Gus Dur? "Malah nanti kacau dan pecah," katanya. "Di PKB saja Gus Dur main pecat."
Saling ganjal pun mulai terasa. Karena mengetahui Hasyim mendapat dukungan kuat daerah, PWNU Jawa Timur berencana menaikkan syarat dukungan calon. Dalam draf tata tertib Muktamar, disebutkan bahwa calon ketua umum maupun rais am harus didukung 60 cabang, maka pihaknya akan mengusulkan menjadi 125 cabang. Padahal dalam Muktamar ke-30 di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, 1999, syarat dukungan hanya 40 cabang.
Dalam Muktamar ke-30, Sahal Mahfudz, pengasuh Pondok Pesantren Kajen, Pati, Jawa Tengah, meraup dukungan 288 dari 326 suara. Sisa suara lainnya terdistribusi ke 16 kandidat lainnya. Sedangkan K.H. Fakhruddin Masturo, pengasuh Pondok Pesantren Tipar, Sukabumi, Jawa Barat, mendapat 133 dari 306 suara. Keduanya akhirnya ditetapkan sebagai rais am dan wakil rais am.
Dalam Muktamar ke-30 itu juga K.H. Mustofa Bisri, pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, yang dijagokan beberapa daerah dan juga disokong Gus Dur, sebetulnya juga ikut bersaing untuk posisi ketua umum. Sayang, ia hanya didukung 21 suara. K.H. Hasyim Muzadi mampu meraup 205 dari 323 suara yang diperebutkan.
Kubu Gus Dur juga sempat memanggil para politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di DPR. Rapat yang digelar Rabu malam pekan lalu itu dihadiri Gus Dur dan dipimpin Arifin Junaidi, Sekretaris Dewan Syuro PKB. Sumber Tempo menuturkan, DPP PKB ingin seluruh anggota DPR dari PKB turun lapangan untuk mempengaruhi pengurus wilayah dan cabang dalam memberikan dukungannya.
PKB meminta agar wilayah dan cabang mendukung pasangan Gus Dur (rais am) dan Mustofa Bisri (ketua umum). "Yang penting asal bukan Hasyim," ujar sumber tadi. Wakil Ketua Umum PKB, Mahfud Md., membenarkan isi rapat itu. Sebagai anak kandung NU, katanya, PKB memiliki kewajiban moral menyelamatkan ibu kandungnya. "Gus Dur diamanahi untuk memurnikan NU agar tak digunakan sebagai alat politik," katanya.
Mahfud dan kawan-kawan pun mulai terjun. "Tapi sepertinya susah, struktural masih menginginkan Pak Hasyim," katanya. Melihat tarik-menarik antara dua kubu itu, Mahfud justru memprediksi akan ada calon di luar kubu itu yang bakal muncul. "Yang penting NU harus selamat," kata Menteri Pertahanan di era Presiden Abdurrahman Wahid itu.
Yang jelas, dalam muktamar nanti hanya pengurus wilayah yang berjumlah 30 dan daerah sekitar 350-an yang memiliki hak pilih menentukan siapa yang bakal memimpin NU. Namun, meski tak memiliki hak suara, peranan kiai akan sangat besar dalam mempengaruhi pengurus wilayah dan cabang itu untuk mengarahkan dukungannya. Jika melihat kekuatan suara, tak tertutup kemungkinan Hasyim akan kembali memimpin NU.
Namun, jika kubu Gus Dur mampu menggarap suara dari cabang, ceritanya bisa lain. Sebab, anggaran dasar/anggaran rumah tangga menyebutkan, para calon ketua umum harus mendapat persetujuan dari rais am terpilih. Artinya, Muktamar akan tetap punya pesona dan daya tarik?terutama buat para warga nahdliyin.
Fajar W.H., Adi Mawardi (Surabaya), Syaiful Amin (Yogyakarta), Irmawati (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo