Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Suara kaum nahdliyin kerap dilirik para pasangan calon presiden dan wakilnya untuk mendulang suara di setiap pemilu.
Sejarah lahirnya NU tidak bisa lepas dari kontestasi politik elektoral karena pernah menjadi partai pada Pemilu 1955.
Tokoh NU selalu ditarik dalam kancah politik karena dianggap menjadi magnet untuk menarik warga nahdliyin.
JAKARTA – Nahdlatul Ulama (NU) kerap menjadi rebutan dalam setiap kontestasi politik untuk mendulang suara elektoral. Eksistensi dan dukungan kaum nahdliyin dalam politik nasional hingga kini masih dan terus dilirik para pasangan calon presiden dan wakilnya di setiap pemilihan umum (pemilu).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Pemilu 2024 ini, tiga poros koalisi pengusung calon presiden-wakil presiden berupaya menjaring dukungan untuk mendulang suara dari basis massa nahdliyin—sebutan bagi warga NU. Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin mengatakan NU selalu ditarik ke gelanggang politik elektoral karena menjadi organisasi masyarakat dengan basis massa terbesar di Indonesia. “Baik elite partai maupun peserta pemilu membutuhkan basis dukungan politik NU dan suaranya,” ujar dia saat dihubungi pada Ahad, 21 Januari 2024.
Calon wakil presiden nomor urut 3 Mahfud Md. (kedua dari kiri) menaburkan bunga di makam pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Wahab Chasbullah di Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, 2 Desember 2023. ANTARA/Syaiful Arif
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ujang menuturkan, tokoh dan elite Pengurus Besar NU menyadari bahwa massa dari organisasi yang mereka pimpin menjadi incaran para politikus. Sebaliknya pula, tidak sedikit pengurus hingga tokoh NU menceburkan diri untuk ikut dalam pertarungan elektoral saban kontestasi politik digelar. Mereka seakan-akan ingin mendapatkan keistimewaan atau jabatan dari kekuasaan. “Jadi, NU selalu terlibat politik praktis karena mereka sadar akan saling menguntungkan,” ujarnya. “Di satu sisi, calon presiden butuh mereka, dan elite NU butuh jabatan atau kekuasaan. Mereka pun selalu tarik-menarik kepentingan.”
Pemilih dari kalangan nahdliyin saat ini tidak terfokus kepada satu kandidat presiden. Sebab, tiga pasangan calon presiden-wakil presiden mempunyai tokoh NU di belakang mereka. Calon presiden Anies Baswedan, misalnya, berpasangan dengan Muhaimin Iskandar yang menjabat Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PKB sendiri merupakan partai yang dibentuk oleh Pengurus Besar NU saat kepemimpinan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Di kubu calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka terdapat sejumlah elite NU yang menjadi masuk ke Tim Kampanye Nasional (TKN) pasangan nomor urut dua itu. Beberapa tokoh NU yang masuk ke TKN Prabowo-Gibran di antaranya Ketua Pengurus Pusat Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa dan Wakil Ketua Umum PBNU Nusron Wahid, meski mereka kini telah mengajukan cuti untuk menjadi anggota tim pemenangan. “Meski cuti dari pengurus NU, mereka tetap saja mempunyai pengaruh untuk menarik massa dari kalangan nahdliyin,” ujarnya.
Adapun kubu pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. juga mempertimbangkan faktor suara NU. Mahfud dianggap sebagai tokoh yang merepresentasikan kalangan NU. Dengan begitu, kata Ujang, peta dukungan tokoh dari NU memang ada di tiga pasangan calon presiden-wakil presiden.
Nahdlatul Ulama setidaknya memiliki anggota berkisar dari 40 juta berdasarkan data pada 2013 dan kini terus meningkat hingga lebih dari 95 juta pada 2021. Jumlah ini menjadikan NU sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan populasi 275 juta orang.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion Dedi Kurnia Syah mengatakan suara NU memang berkontribusi dalam politik elektoral dengan jumlah pemilih yang begitu besar. Namun dukungan NU tidak signifikan ke salah satu kandidat pada pilpres 2024. Andai ada yang mendominasi, menurut Dedi, itu hanya di wilayah tertentu, seperti di Jawa Timur, yang kerap diklaim kubu Anies dan Prabowo. ”Prabowo bisa lebih banyak mendapatkan suara NU karena didukung Khofifah dan Gus Ipul. Adapun Anies karena faktor Muhaimin sebagai Ketua Umum PKB.”
Partai NU di Pemilu 1955
Dosen sosiologi di Departemen Sosiologi Universitas Gadjah Mada, Muhammad Najib Azca, mengatakan sejarah lahirnya NU tidak bisa terlepas dari kontestasi politik elektoral. Sebab, organisasi ini pernah mendirikan partai politik. Pertama kali NU terjun pada politik praktis dan kemudian mengikuti Pemilu 1955. Pada pemilu pertama setelah kemerdekaan itu, Partai NU mendapatkan suara cukup tinggi. “Partai NU bahkan mendapatkan suara terbanyak ketiga setelah PNI dan Masyumi,” kata Najib.
Spanduk Nahdlatul Ulama bertulisan "Kembali ke Khittah", di Sukorejo, Situbondo, 1926. Dok. MUHLIS D TOLOMUNDU
Dilansir kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id, Partai Nasional Indonesia (PNI) berada di urutan pertama dengan 8.434.653 suara dan 57 kursi legislatif. Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) memperoleh 7.903.886 suara dengan jumlah kursi yang hampir sama. Adapun Partai NU meraup 6.955.141 suara dengan perolehan 45 kursi legislatif.
Najib Azca menjelaskan, NU pada awal berdiri merupakan organisasi khusus yang beranggotakan ulama. Organisasi itu dirikan oleh Kiai Hasyim Asy’ari, Abdul Wahab Chasbullah, dan Bisri Syansuri pada 31 Januari 1926. Seiring berjalannya waktu, keanggotaan organisasi tersebut terus bertambah. Pada 1952, NU yang berada dalam Partai Masyumi memisahkan diri dan membentuk Partai NU.
Dia menuturkan, NU keluar dari Masyumi dan membuat partai sendiri karena jumlah mereka banyak tapi para tokohnya tidak pernah mendapatkan ruang untuk memimpin di Masyumi. “Setelah menjadi partai, anggota di organisasi itu bukan hanya kiai, tapi juga warga biasa.”
Pada era Orde Baru, Partai NU masih bisa mengikuti Pemilu 1971. Setelah itu, pemerintahan Presiden Soeharto membuat fusi partai sehingga hanya tinggal menyisakan tiga partai, yakni Golkar, Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai NU bersama partai Islam lainnya bergabung ke fusi PPP. Sedangkan di luar partai Islam digabungkan ke PDI. Namun saat itu banyak kalangan menyebutkan PPP dan PDI itu partai bonsai karena tidak boleh berkembang atau menjadi besar.
Selama berinduk di dalam PPP, tokoh NU merasa organisasi mereka tidak bisa berkembang. Sebab, tidak ada satu pun tokoh dari NU pernah menduduki jabatan strategis, misalnya ketua umum partai. Dilansir laman Nu.or.id, pada 1971 muncul seruan NU kembali ke khitah 1926. Artinya, kembali pada semangat perjuangan 1926 saat awal NU berdiri, yakni organisasi kemasyarakatan yang bergerak dalam persoalan kemanusiaan, sosial, dan agama, serta bukan organisasi politik praktis.
Seruan tersebut sempat terhenti kala itu. Namun gema tersebut muncul lagi pada 1979 ketika diselenggarakan Muktamar ke-26 NU di Semarang, Jawa Tengah. Aktivis NU saat itu, seperti Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus, ingin mengembalikan organisasi tersebut ke khitah awal pembentukan NU.
Gema agar NU menjadi organisasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan kembali muncul pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo, Jawa Timur, pada 1984. Setelah Muktamar di Situbondo, warga NU dibebaskan untuk memilih keanggotaan di Golkar, PDI, atau PPP. ”Periode ini bagian transformasi penting juga bagi NU. Warga NU bisa ke partai mana saja,” ujarnya.
Partai Kebangkitan Bangsa di Pemilu 1999
Setelah rezim Orde Baru tumbang, Pengurus Besar NU yang saat itu di bawah kepemimpinan Gus Dur, Gus Mus, dan Kholil Bisri mendapatkan masukan dari banyak kiai agar mereka membentuk partai khusus untuk menyerap aspirasi warga Nadhliyin. Mereka pun mengakomodasi usul itu dengan membentuk Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk mengikuti Pemilu 1999. ”Pada pemilu pertama, PKB mendapatkan suara tertinggi ketiga setelah PDIP dan Golkar,” ujarnya. Najib mengatakan poin penting pembentukan PKB adalah untuk kanalisasi aspirasi politik warga NU.
Pada era reformasi, elite NU kerap ditarik untuk ikut terlibat dalam kontestasi politik. Salah satunya saat Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri, presiden inkumben, menggandeng Ketua PBNU Hasyim Muzadi sebagai calon wakil presiden pada Pemilu 2004. Namun duet Mega-Hasyim gagal dalam pemilihan presiden-wakil presiden saat itu. Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama yang memungkinkan rakyat memilih langsung presiden dan wakil presiden serta wakil mereka untuk duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Menurut Najib, hubungan antara NU dan PKB serta dengan partai politik lainnya relatif terjaga selama kepemimpinan Said Aqil Siradj sebagai Ketua PBNU pada periode 2010-2021. Dalam pemilihan presiden 2019, Rais Aam PBNU Ma’ruf Amin digandeng untuk menjadi wakil presiden. Ma’ruf didapuk untuk mendampingi presiden inkumben Joko Widodo pada Pemilu 2019. Pasangan tersebut menang dalam pemilihan presiden tersebut.
Najib menegaskan, tokoh NU selalu ditarik dalam kancah politik dan setiap pemilu karena dianggap menjadi magnet untuk menarik warga nahdliyin yang jumlahnya besar. Apalagi berbagai sigi sejumlah lembaga survei menunjukkan bahwa penduduk muslim yang mengidentifikasikan diri sebagai warga NU mencapai lebih dari 50 persen. “Artinya ada 120-130 juta orang yang mengidentifikasikan dirinya sebagai warga NU,” ujarnya. Dengan klaim sebesar itu, tokoh atau ulama NU diperebutkan untuk menarik basis suara. “Sebab, pemilih NU itu biasanya mengikuti apa yang dikatakan kiainya.”
Aktivis NU, Roy Murtadho, mengatakan organisasi massa NU ditarik ke gelanggang kompetisi politik elektoral karena jelas mempunyai populasi yang besar. Keberadaan NU juga tidak bisa terpisahkan dalam politik karena perjalanan organisasi itu pernah menjelma menjadi partai. “Secara sederhana NU tidak pernah terpisahkan dari politik elektoral,” ujarnya.
Pada Pemilu 2024, Roy melihat sikap politik PBNU terlihat ingin mengambil jarak dengan PKB. Padahal Gus Dur mendirikan partai tersebut sebagai wadah untuk menampung aspirasi warga NU. Pada Agustus 2023, Ketua Umum PBNU Gus Yahya justru menyatakan bahwa PKB bukan partai yang merepresentasikan NU. Menurut dia, sikap PBNU justru berbahaya jika ingin mengeluarkan PKB dari kesadaran kultural politik warga NU dengan merujuk pada tujuan pembentukan awal partai tersebut.
”Kalau memang ada dinamika di PKB, ya, tinggal dibenahi masalahnya,” ujarnya. “Jangan sekarang dibilang netral dan mengeluarkan PKB sebagai wadah bagi warga NU. Berbahaya kalau nanti partai ini dikeroyok dengan kekuatan di luar NU yang tidak punya visi politik sejalan dengan NU.”
IMAM HAMDI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo