Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Menggusur cacat netra

13 keluarga yang menetap di panti rehabilitasi penyandang cacat Netra "Wyata Guna", Bandung, diminta meninggalkan kompleks itu. Mereka protes dan mengadu ke LBH Bandung. Ditawari pesangon Rp 1,5 juta.

24 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGGUSUR tunanetra memang bisa terdengar tak manusiawi. Tapi, itulah rencana Panti Rehabilitasi Penyandang Cacat Netra (PRPCN) Wyata Guna, Bandung. Tiga belas keluarga, yang selama ini menetap disana, harus meninggalkan kompleks di Jalan Pajajaran itu. Sebab, pusat rehabilitasi yang berdiri pada 1901 ini -- kini pengelolaannya di bawah Depsos -- akan direnovasi. Kompleks seluas hampir 40 hektare yang berkapasitas 215 orang itu akan ditingkatkan menjadi 300 orang dengan biaya Rp 200 juta. Isyarat pemindahan didengungkan sejak awal 1989. Mereka ditawari pesangon Rp 1,5 juta per keluarga. Maksudnya, untuk uang muka mengambil rumah Perumnas. Tapi, tawaran itu ditolak karena dianggap tak memadai. "Uang pesangon itu paling-paling hanya cukup buat kontrak rumah," kata Freddy M., 61 tahun, salah seorang yang kena gusur. Bersama rekan-rekannya, ia meminta pesangon dinaikkan Rp 5 juta per keluarga. Usul ini ditolak. Sebagai jalan keluar, pihak Wyata Guna memberi usul baru: Bagaimana jika mereka dibuatkan barak di tanah milik Depsos di Cisarua, sekitar 20 km dari Bandung, yang sejuk. Uang Rp 1,5 juta itulah yang dipakai untuk membangun. Tawaran ini pun ditolak. Alasannya: Lokasi tersebut terpencil, dan bekas kandang babi. Penolakan itu dianggap pihak Wyata Guna tak proporsional. "Bekas kandang babi itu cuma beberapa meter persegi, sedangkan luas tanah Depsos itu enam hektare," kata Kepala Wyata Guna, Letnan Kolonel TNI Mochamad Endin, 54 tahun. Merasa buntu, kedelapan (dari 13) keluarga -- beranggota 45 orang -- itu mengadu ke LBH Bandung. Sejak itu, suasana memanas. Bahkan, akhir Februari lalu, delapan kepala keluarga itu membikin pernyataan. Isinya: Pemindahan itu dianggap sebagai gagasan yang tidak manusiawi. Mereka juga membandingkan dengan situasi di zaman penjajahan -- yang mereka anggap lebih baik. "Kami bertanya, apakah di dalam negara Indonesia yang merdeka masih ada pikiran dan tindakan-tindakan yang tega merusak kebahagian kami, para tunanetra bangsa Indonesia yang cacat dan tak berdaya ini." Penyataan keras itu sempat memerahkan muka Mochamad Endin. "Ada pihak ketiga yang mengeruhkan suasana," tuduh Endin tanpa menyebut seseorang. Sebab, selama ini ia merasa telah menyatu dengan mereka. "Saya tak perlu diberi tahu soal kemanusiaan," katanya lebih lanjut. Untunglah, suhu memanas ini mereda setelah Ketua LBH Bandung Dindin S. Maolani, Mochamad Endin, E. Rusnadi, dan Sufyan Abas (dua orang terakhir dari Depsos Ja-Bar) bertemu di Wyata Guna, Sabtu siang pekan lalu. "Kalau mereka pergi tanpa dukungan fasilitas, bisa-bisa jadi gelandangan. Sudah gelandangan, cacat lagi. Ini justru bisa jadi masalah sosial yang lebih parah lagi," kata Dindin. Pernyataan Dindin ini ditangkis Endin. "Panti ini bukan tempat penampungan seumur hidup. Kami merehabilitasi mereka agar bisa mandiri, dapat mencari nafkah sendiri," katanya. Toh, agar pemindahan ini tak menyusahkan, Endin membuat usul baru. "Mereka saya minta tinggal di Panti Wreda. Di sana enak, tak usah bekerja. Tapi mereka menolak," katanya. Usul ini tak diterima karena mereka merasa belum jompo, masih produktif. Dari delapan orang itu: Dua pemijat, seorang guru, seorang penganggur, dan empat pensiunan. Pertemuan itu juga membahas usul para cacat netra agar Depsos mencari tambahan pesangon, misalnya, dari pihak swasta. Namun usulan ini ditolak E. Rusnadi. Akhirnya pertemuan Sabtu siang itu memutuskan: Pengusiran diundur hingga setelah Lebaran mendatang. Siap pergi? "Kami akan pergi dengan berat hati. Kecewa. Ini karena masa depan kami belum jelas," kata Victor C. Tuegeh, 66 tahun, penghuni Wyata Guna sejak 1933. WY dan Hedy Susanto (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus