Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Harapan Maria Tri Suhartini membentuk komunitas Keluarga Disabilitas Pinilih Sedayu sebenarnya tidak terlalu muluk. Ia hanya ingin membantu penyandang disabilitas memiliki kepercayaan diri dalam bermasyarakat. Dengan kepercayaan diri itu, Tri berharap kaum difabel bisa menjalani hidup seperti orang kebanyakan. “Ini penting agar penyandang disabilitas dan keluarga paham bahwa mereka punya hak yang sama dengan non-disabilitas,” kata perempuan berusia 43 tahun itu, Kamis lalu.
Komunitas Keluarga Disabilitas Pinilih Sedayu berdiri pada Agustus 2017. Dengan komunitas itu, Tri mulai mengorganisasi penyandang disabilitas di Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka dikumpulkan dan dilatih berbagai keterampilan, dari memproduksi berbagai produk kerajinan hingga meningkatkan kemampuan public speaking dan advokasi. “Kami ingin mewujudkan kebebasan dasar penyandang disabilitas untuk mencapai kehidupan mandiri yang sejahtera,” ujar Tri.
Tri mengatakan sebagian besar penyandang disabilitas hidup dalam kerentanan dan lemah secara ekonomi. Fenomena ini tidak bisa dilepas dari stigma masyarakat yang memandang penyandang disabilitas sebagai orang tak berdaya dan perlu dikasihani. Dengan demikian, pada akhirnya, penyandang disabilitas dianggap tidak berguna karena selalu merepotkan orang lain. Dengan stigma itu, tidak mengherankan jika banyak penyandang disabilitas yang merasa terkucil dan menjadi rendah diri.
“Stigma itu harus diubah. Penyandang disabilitas bukan obyek charity,” ucap Tri. Tekad Tri untuk mengubah stigma ini tidak muncul secara tiba-tiba. Ia banyak belajar dari putranya, seorang penyandang disabilitas daksa. “Kami tidak ingin dikasihani karena kami punya kompetensi, tapi butuh difasilitasi.”
Komunitas besutan Tri selama ini bergerak secara swadaya. Sekarang komunitas itu memiliki 25 orang pengurus dengan anggota 498 penyandang disabilitas. Semua desa di Kecamatan Sedayu juga sudah membentuk kelompok disabilitas di bawah naungan Keluarga Disabilitas Pinilih Sedayu. “Sekarang kami selalu dilibatkan dalam musrebang (musyawarah perencanaan pembangunan),” kata Tri.
Perjuangan dalam pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas juga konsisten dilakukan Yayasan Rawinala di Jakarta Timur. Yayasan ini mengupayakan penyandang disabilitas ganda atau multiple disability with visual impairment (MDVI) untuk mendapatkan pendidikan. Sebab, belum semua sekolah luar biasa (SLB) menyediakan tempat untuk anak-anak MDVI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di bawah bimbingan Yayasan Rawinala, anak MDVI dipacu untuk membangun kemandirian. Kepala Yayasan Rawinala, Budi Prasodjo, berharap masyarakat tidak menjadikan penyandang disabilitas sebagai obyek charity. “Charity justru membuat penyandang disabilitas bergantung dan bikin malas,” kata dia. “Dukungan masyarakat tetap dibutuhkan untuk pemberdayaan dan pemberian akses agar mereka mandiri.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena itu, kata Budi, penyandang disabilitas semestinya mendapat akomodasi dalam pelayanan di sektor publik sehingga tidak didiskriminasi. Apalagi untuk anak MDVI. Mereka butuh simbol nyata untuk bisa beraktivitas di luar. Misalnya, keberadaan piring untuk menunjukkan tempat makan. Akses ini yang belum bisa mereka dapatkan sehingga aktivitas di luar terhambat.
Penyandang disabilitas Yayasan Rawinala menjual telur asin hasil produksinya. Dok Rawinala
Budi mengatakan kesetaraan untuk penyandang disabilitas sebenarnya mungkin untuk dicapai. Kuncinya terletak pada kerja sama lintas sektoral. “Kementerian yang membawahkan bidang kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, dan lainnya harus lebih peduli kepada anak-anak MDVI,” katanya. Dia ingin penyandang disabilitas mendapat hak yang sama dengan non-disabilitas.
Khusus bidang pendidikan, Budi berharap pemerintah bisa menghadirkan lebih banyak lembaga pendidikan yang mampu melayani anak MDVI. Termasuk mengembangkan sumber daya manusia sehingga anak MDVI bisa tertangani.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan pemerintah terus berupaya mewujudkan pembangunan inklusif. Tujuannya agar tidak ada seorang pun tertinggal dalam pembangunan, termasuk penyandang disabilitas. Saat ini pemerintah tengah mendata dan mengidentifikasi masalah yang dihadapi penyandang disabilitas. Pendataan ini menjadi dasar perumusan dan implementasi kebijakan. “Penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas harus mendapat perhatian,” kata Muhadjir.
RIRI RAHAYUNINGSIH | ANT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo