ANTIKLIMAKS. Ungkapan itu bisa menggambarkan sepak terjang sejumlah tokoh Dewan Presidium Papua. Setelah menyampaikan hasil Kongres Rakyat Papua II kepada Presiden Abdurrahman Wahid, Selasa pekan lalu, mereka terkesan tidak galak lagi. Abdurrahman mereka puji sebagai demokrat sejati. "Beliau juga tidak pernah memelintir isu Papua menjadi isu politik," kata Thom Beanal, wakil ketua presidium.
Kesediaan Abdurrahman menerima para tamunya itu memang layak dipuji sebagai langkah untuk tetap membuka dialog yang beradab, bukan aksi kekerasan, dalam menyelesaikan soal Papua yang ingin menjadi negeri sendiri itu.
Sebelumnya, Abdurrahman tegas-tegas menolak apa pun keputusan yang dihasilkan kongres. Pemerintah menganggap rapat akbar itu tidak mewakili seluruh rakyat Papua. Sebab, pendukung integrasi dianggap tidak terwakili dalam kongres.
Sikap tegas itu bahkan ditindaklanjuti dengan memaklumatkan bahwa kongres itu adalah bentuk upaya makar. Sejumlah tokoh yang terlibat dalam kongres pun diperiksa polisi, termasuk Theys Eluay dan Thom Beanal. "Berkasnya sedang diperiksa dan segera diajukan ke pengadilan dengan tuduhan makar atau paling tidak percobaan makar," kata Kepala Kepolisian Daerah Papua, Brigjen Sylvanus Wenas, akhir Juni lalu.
Tapi benarkah sikap baru Abdurrahman itu telah membuat para tokoh Papua leleh dan menghentikan tuntutan merdeka? "Melemah bagaimana? Keputusan kami tetap merdeka, kok," ujar Beanal. Mereka memang tidak menggunakan kata-kata keras dalam menuntut. Kata Beanal yang juga salah satu komisaris PT Freeport Indonesia itu, mereka memang mengutamakan perjuangan damai dan lewat diplomasi.
Kendati demikian, sikap lunak sejumlah elite Papua mengundang kecurigaan. Tentara Pembela Nasional Organisasi Papua Merdeka (OPM), kelompok garis keras, melihat adanya kemungkinan tuntutan merdeka itu dipakai sebagai alat elite politik Papua. Tujuannya jelas, untuk mengeruk keuntungan pribadi. "Akan kami bunuh Theys Eluay dan Thom Beanal jika mereka tipu rakyat," kata Titus Murib, yang menjabat Kepala Staf Administrasi Komando Militer III Papua, kepada Kristian Ansaka dari TEMPO.
Menurut Thom Beanal, tuduhan itu mengada-ada. Selama ini, pihaknya tetap tidak kendur memperjuangkan aspirasi rakyat Papua untuk merdeka. "Siapa yang dipercayai rakyat? Kami atau mereka (OPM)?" katanya.
Di sisi lain, Presiden Abdurrahman juga melunakkan sikap. Presiden, kata Beanal, menerima hasil kongres dan tidak menolak tegas kemungkinan Papua merdeka. "Gus Dur bilang nanti kita rundingkan bagaimana baiknya," ujar Beanal.
Presiden Abdurrahman, kata Beanal, juga memberikan keleluasaan kepada Dewan Papua untuk memilih siapa tim perunding pemerintah yang sesuai dengan pilihan mereka. "Dialog akan dilakukan oleh enam orang wakil pemerintah Indonesia dengan pihak kami," katanya.
Selain itu, Presiden pun memberikan restu bagi beberapa permintaan Dewan Presidium Papua, seperti safari pelurusan sejarah Papua yang akan diadakan pada 14 Juli sampai 2 Agustus, bahkan juga pengibaran bendera Bintang Kejora, asalkan tingginya tidak melebihi Merah-Putih, di seluruh bumi Papua. "Presiden menyatakan tidak keberatan aspirasi apa pun dari rakyat Papua, asalkan dalam koridor yang berlaku," kata Theys.
Sikap akomodatif Presiden Abdurrahman Wahid terhadap tuntutan rakyat Papua itu mengundang kecaman. Ketua MPR Amien Rais melihat izin pengibaran Bintang Kejora bisa memicu semangat separatisme. Suara lebih tegas datang dari Ketua DPR Akbar Tandjung. "Kalau itu kebijakan pemerintah, dan bukan pribadi Gus Dur, jelas itu melanggar undang-undang," katanya.
Namun, Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, yang sangat dekat dengan Presiden, menepis dugaan bahwa pemerintah memberi Papua lampu hijau untuk merdeka. "Itu tindakan separatis. Mengatakan Gus Dur mendukung itu jelas merupakan salah kutip," katanya. Izin Presiden dalam pengibaran bendera Papua, menurut Alwi Shihab, sama derajatnya dengan izin untuk acara perayaan yang bersifat lokal.
Di sisi lain, keadaan di Papua sendiri setelah ada pertemuan itu relatif aman. Aksi pemerasan dan blokade jalan yang dilakukan oleh sejumlah orang yang menamakan diri Satgas Papua berangsur hilang. Kabar tentang adanya 12 ribu pucuk senjata yang diselundupkan ke provinsi paling timur Indonesia itu hingga kini belum terbukti. "Terakhir, kondisi keamanan di Papua memang aman dan terkendali," ujar Sylvanus Wenas.
Dalam jangka panjang, janji atau dialog saja tak akan cukup bisa menyelesaikan tuntutan Papua. Namun, untuk jangka pendek, tampaknya, hanya itu yang bisa membuat orang lega bahwa darah tak akan tumpah.
Johan Budi S.P., Wenseslaus Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini