Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampai akhir pekan lalu, baru 11 penumpang bisa diselamatkan Tim Search and Rescue (SAR) Gabungan. Minggu siang dua pekan lalu, setelah tiga hari terapung-apung di laut lepas, 11 orang itu ditemukan sebuah kapal ikan. Seorang bocah 10 tahun ditemukan tak bernyawa.
Anilda Akona, anak 14 tahun yang lolos dari maut, bercerita tentang perjalanan nahas itu. Semula, di rakit penyelamat yang ditumpanginya ada 20 orang. ”Akhirnya, yang bisa bertahan hanya tiga orang,” katanya pilu kepada TEMPO. ”Saya menyaksikan ada ratusan orang di dalam kapal yang mulai miring,” ujar Robert Gana, 21 tahun, mahasiswa Sekolah Tinggi Teologia Tobelo. Ada puluhan penumpang yang nekat mencebur ke laut. ”Saya dan kakak saya melompat ke laut memakai pelampung,” kata Wilson Matayani, 12 tahun.
Malapetaka itu berawal pada Rabu, 28 Juni lalu. Saat itu, hampir 500 orang warga Galela panik dan segera berjejal naik ke kapal Cahaya Bahari untuk mengungsi ke Manado. Di bawah ancaman, awak kapal tak kuasa menolak. Maka, Bahari yang berbobot mati 426 ton dan berkapasitas 250 orang itu pun terpaksa mengangkat sauh dari Pelabuhan Tobelo, padahal kapal itu harusnya masuk dok. Penumpang penuh sesak, ditambah 650 karung kopra seberat 40 ton.
Dan laut ketika itu tengah ganas-ganasnya. Malang membayang. Benar saja, keesokan harinya, Kamis pagi pukul 07.30 Wita, lambung Bahari pun jebol didera badai ganas dan ombak setinggi tiga meter. Segala upaya membendung kebocoran sia-sia. ”Kami berusaha membuang air dan semua barang, tapi air terus masuk,” kata Robert Gana. Kontak terakhir berlangsung pukul 11.45, saat Bahari sudah berlayar sekitar 150 mil dari Tobelo. Untuk terakhir kalinya nakhoda melaporkan posisi kapal dan kondisinya yang nyaris tenggelam: miring sepuluh derajat, ruang mesin dan palka penuh air. Bahari lalu tenggelam dengan cepat. Pada pukul 12.00, seluruh badan kapal hilang dari permukaan laut.
Kini, kapal nahas itu telah dipastikan tenggelam. Harapan menemukannya kian tipis. Lokasi musibah berada di perairan berkedalaman 1.500 meter. Penyelaman biasa mustahil dilakukan. ”Di mana pun, penyelaman cuma bisa sedalam 30 meter,” kata Kepala Badan SAR Nasional, Laksamana Muda Setio Rahardjo. Jika lebih dari kedalaman itu, harus ada alat khusus yang, sialnya, belum ada di negeri ini. Arus laut yang kencang pun membuat area yang mesti disisir jadi begitu luas. ”Buktinya, korban ditemukan sekitar 130 mil dari lokasi kapal tenggelam,” kata Setio lagi.
Dari atas KM Karya Baru, wartawan TEMPO menyaksikan betapa tim SAR tak sanggup berbuat banyak di hadapan ombak yang menggulung-gulung setinggi tiga meter. Di titik koordinat hilangnya Bahari, tak sejumput jejak pun dapat ditemukan. Cuma ada sedikit potongan gabus, pakaian renang, dan botol air mineral. Hasil penyisiran tiga kapal Angkatan Laut tak banyak berbeda.
Tapi titik harapan bukan sama sekali tak ada. Bahari dilengkapi 300 pelampung dan rakit penolong. Karena itulah Komandan Gugus Keamanan Laut Armada Timur, Laksamana Pertama Djoko Sumaryono, masih berharap ada penumpang lain yang bertahan hidup. Juga ada kemungkinan mereka terdampar di puluhan pulau kosong di sekitar Sangir Talaud.
Setelah Bahari tenggelam, dan arus pengungsi kian deras karena keadaan makin panas, sekarang ini praktis hanya beroperasi satu kapal reguler untuk mengangkut pengungsi. Itu pun dengan kapasitas cuma 300 penumpang. Lalu, bagaimana menyelamatkan pengungsi Maluku?
Tambah kapal? ”Tak semudah yang dibayangkan,” kata Menteri Perhubungan Agum Gumelar. Gawatnya keamanan membuat pengusaha kapal enggan melayari perairan Maluku. Kapal besar juga tak mungkin merapat di pelabuhan Maluku Utara, yang tergolong kecil. Yang tengah diupayakan, kata Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Tjuk Sukardiman, mengerahkan kapal perang Angkatan Laut yang punya daya muat lebih besar dan stabil. Masalahnya, armada ini juga sudah amat kerepotan membentengi pertikaian di perairan Maluku.
Tak mudah mengatasinya, memang. Tapi sampai kapan azab di tanah bergolak itu terus terjadi tanpa pertolongan?
Karaniya Dharmasaputra, Rommy Fibri, Verrianto Madjowa (Manado)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo