DUA bom M1 (military one) itu dijepitkan pada pipa kamar mandi lantai 3 Gedung Bundar, Kejaksaan Agung. Pengatur waktu ditetapkan: Selasa pukul 00.00. Blaarrr! Senin pukul 18.05, sebuah ledakan terjadi. Bukan dari bom itu, melainkan peledak lain yang dipasang satu lantai di bawahnya. Dan orang boleh mengucap syukur. Sebab, jika si M1 tadi ikut meledak, bukan cuma ruang Kepala Subdirektorat Tindak Pidana Korupsi, yang penuh tumpukan dokumen pemeriksaan bekas presiden Soeharto, yang akan berkeping-keping. Separuh Gedung Bundar akan luluh-lantak.
Siapa pelaku tindakan laknat ini? Dan untuk motif apa? Polisi kini tengah memburu orang dengan ciri-ciri seperti yang digambarkan oleh dua orang saksi mata yang melihat orang itu mondar-mandir di dekat titik ledakan dua jam sebelum bom tadi menyalak. Orang itu juga mondar-mandir secara mencurigakan saat Tommy Soeharto diperiksa. Dan selebihnya adalah kegelapan.
Siapa dia? Siapa pun sang pelaku, jelas ia memiliki akses "sangat tinggi" sehingga bisa memperoleh bom yang dipesan oleh Departemen Pertahanan dan Markas Besar TNI dari Perindustrian Angkatan Darat (Pindad). Bom kedua yang belum meledak terdiri atas bahan peledak TNT 160 gram dan detonator buatan pabrik senjata Pindad di Turen, Malang. Berdasarkan nomor serinya, diketahui bahwa bom tadi dikirim dari Pindad pada 30 Desember 1996 ke Gudang Pusat Amunisi Angkatan Darat, Saradan, Madiun. Temuan polisi atas adanya tumpukan sidik jari pada bom di lantai tiga mengindikasikan pemiliknya lebih dari satu orang.
Jelas bahwa ini milik tentara. Namun, Kepala Pusat Penerangan TNI Marsda Graito Usodo membantah kemungkinan personelnya terlibat. "Ada banyak kemungkinan. Mungkin saja bom itu dimiliki orang sipil yang membelinya dari oknum TNI," katanya.
Graito boleh jadi benar. Bahwa bom itu milik TNI, memang tidak otomatis pelaku ledakan ini adalah tentara. Namun, fakta bahwa senjata mematikan TNI bisa beredar di masyarakat luas, seperti yang diisyaratkan oleh pernyataan Graito tadi, menggambarkan betapa seriusnya masalah ini.
Sulit menemukan pelaku, polisi bisa menelusurinya lewat motif. Opini publik belakangan ini cenderung mengaitkan teror itu dengan pemeriksaan Tommy Soeharto. Aksi itu seperti ingin memberikan konfirmasi terhadap pernyataan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono bahwa kroni Cendana menciptakan kerusuhan setiap kali sang mantan presiden atau keluarganya diperiksa. Belum lama lalu, teror penembakan di Gedung MPR/DPR, Senayan, terjadi bersamaan dengan pemeriksaan Tommy.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Rusdihardjo menandai gerak-gerik yang mencurigakan dari para pengawal pribadi Tommy pada hari pemeriksaan itu: lebih banyak dari biasanya. Seorang pegawai Kejaksaan Agung juga mengatakan bahwa para pengawal Tommy sudah berkeliaran sejak pukul 7 pagi, beberapa jam sebelum pemeriksaan.
Namun, sumber TEMPO di Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) mengatakan bahwa pihak Tommy tak akan melakukan hal sebodoh itu, mengingat adanya pernyataan Juwono tadi. Dan Cendana sendiri sudah membantah kemungkinan itu. "Sepertinya Cendana itu tong sampah," kata Anton Tabah, sekretaris pribadi Soeharto, "Semua dikambinghitamkan ke sana." Bukan tak mungkin, memang, ini justru dilakukan oleh orang yang ingin mencelakakan Tommy atau setidaknya hendak menimbulkan kesan bahwa Cendana terlibat.
Ada banyak kemungkinan motif. Dan itu mustahil dipersempit pilihannya kecuali dengan kerja keras dan profesionalisme polisi. Bukan tak mungkin itu dilakukan oleh anggota masyarakat yang kecewa dengan kinerja kejaksaan sendiri dalam mengusut kasus korupsi pejabat tinggi. Teror ini juga mungkin saja tidak ditujukan kepada siapa-siapa, tapi untuk menimbulkan atmosfer ketegangan, atau untuk sekadar menguji kelihaian polisi, yang baru saja resmi lepas dari TNI, dalam mengemban tugasnya.
Sementara itu, Jaksa Agung Marzuki Darusman sendiri memastikan bahwa peledakan itu merupakan upaya untuk memperlambat kerja kejaksaan. Padahal, Agustus nanti, pihaknya harus menuntaskan perkara Soeharto.
Menarik bahwa sumber TEMPO di Bakin justru menduga ada keterlibatan orang dalam kejaksaan. Ia percaya bahwa orang dalamlah, yang tahu seluk-beluk gedung, yang membantu menempatkan posisi bom. Dari sini bisa muncul satu spekulasi motif lagi: tidakkah kejaksaan berkepentingan untuk mengubur perkara yang tidak bisa diselesaikannya tepat waktu tapi membutuhkan dalih yang elegan?
Ada seribu motif. Dan selebihnya kegelapan.…
Seno Joko Suyono, Edy Budiyarso, Andari Karina Anom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini