DI teras rumah sederhana di depan Masjid Al-Hilal di Dusun Kandongan, Desa Donorejo, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Khotijah sedang menampi beras. Ibu setengah baya itu seorang diri. Suaminya, H.M. Bastho, wafat lima tahun silam. Empat anaknya yang sudah menikah tak lagi tinggal serumah, sedangkan si bungsu, M. Anwar al-Sadaqi, 21 tahun, menuntut ilmu di Pakistan.
Namun, sejak dua bulan lalu, Khotijah tak bisa tenang pikirannya. Anwar, yang baru tiga bulan di negeri Musharraf itu, ditangkap bersama lima mahasiswa asal Indonesia lainnya di Universitas Islam Abu Bakar, Karachi. Tuduhan intelijen Pakistan lumayan seram: Anwar terlibat aksi teror serta terkait dengan jaringan Al-Qaidah dan Jamaah Islamiyah.
Atas lobi pemerintah Indonesia dengan Pakistan, enam mahasiswa itu dideportasi ke Indonesia pada 11 Desember lalu. Namun, selama sepekan, mereka menjalani pemeriksaan para petugas di Markas Besar Kepolisian RI. Anwar lebih mujur dibandingkan dengan empat rekannya. Alumni level SMP di Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Solo, itu bersama David Pintarto dilepas polisi sejak Selasa pekan lalu. ”Saya enggak percaya dia neko-neko,” ujar Khotijah.
Berbeda dengan Anwar dan David, Gun-Gun Rusman Gunawan, Muhammad Saefuddin, Furqon Abdullah, dan Ilham Sofyandi masih harus mendekam di tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya. Bahkan statusnya naik menjadi tersangka, atas tuduhan memberikan bantuan kepada pelaku tindak pidana terorisme. Surat penahanan mereka diteken Direktur IV Anti-Terorisme Mabes Polri, Brigjen Pranowo, beberapa jam sebelum batas akhir penahanan mereka, Kamis malam lalu.
Muhammad Saefuddin adalah kakak kelas Anwar di Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Solo, dan Pondok Pesantren Darus Sa’adah. Di Pondok Pesantren Al-Mukmin, yang didirikan oleh Ketua Majelis Mujahidin Indonesia Ustad Abu Bakar Ba’asyir, Saefuddin, yang termasuk siswa cerdas, kemudian meneruskan jejak alumni pondok pesantren tersebut, mendapat beasiswa mendalami agama Islam di Pakistan sejak 2001 lalu. Ayah Saefuddin, Abu Amar, sama sekali tak percaya anaknya terlibat jaringan teror. ” Enggak, saya enggak percaya. Dia orangnya tidak seperti itu,” kata Abu dengan nada yakin ketika ditemui di Desa Sumberagung, Moyudan, Sleman.
Adapun Gun-Gun, adik kandung Encep Nurjaman alias Hambali, pentolan Jamaah Islamiyah yang ditangkap polisi dan agen intelijen Amerika, CIA, disebut-sebut banyak merekrut kader baru Jamaah Islamiyah. Ia juga disebut membantu Hambali selama dalam pelarian. Kakak Gun-Gun, Hindun, ketika ditemui TEMPO di Cianjur, tak banyak bicara. ”Mengapa polisi sibuk ngurus Gun-Gun, sementara masih banyak korupsi yang melibatkan pejabat negara tak tuntas kasusnya?” kata sarjana ilmu agama itu.
Sampai saat ini, tudingan polisi belum terang benderang. Koordinator Kontras, Munarman, yang bolak-balik ke Polda Metro Jaya menemani keluarga mereka, geleng-geleng kepala atas sikap polisi. Pada pertemuan Selasa lalu, Munarman sudah mengantongi surat kuasa membela Furqon dan Ilham Sofyandi. Namun, lantaran ada janji akan dibebaskan, oleh keluarga mereka surat tersebut ditarik. ”Sekarang mereka minta surat kuasa diaktifkan kembali,” kata Munarman.
Munarman mencurigai aksi polisi memperpanjang penahanan hanya lantaran mereka terkait dengan Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Solo. ”Kita tunggu saja bukti yang akan diajukan polisi di pengadilan,” katanya.
Edy Budiyarso, Bobby Gunawan (Cianjur), Syaiful Amin (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini