Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

MUI dan NU Kabupaten Malang Tolak Ajakan People Power

MUI sangat menentang upaya maupun ajakan people power alias unjuk kekuatan rakyat yang direncanakan pendukung pasangan Prabowo.

15 Mei 2019 | 20.03 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penjual kaos "people power" mencoba meraup berkah di antara demo massa PA 212, GNPF dan FPI di Bawaslu, Jakarta Pusat, Jumat 10 Mei 2019 /TEMPO-TAUFIQ SIDDIQ

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Malang Kiai Haji Fadhol Hija mengatakan MUI sangat menentang upaya maupun ajakan people power alias unjuk kekuatan rakyat yang direncanakan pendukung pasangan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Masyarakat diingatkan jangan gampang terprovokasi dan sebaiknya menolak ajakan people power. Ajakan people power, kata Fadhol, bisa dinilai sebagai upaya merusak demokrasi serta mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.

“Kami sangat menentang people power dan kami mengimbau kepada masyarakat untuk menolak ajakan turun ke jalan atau people power,” kata Fadhol, Rabu, 15 Mei 2019.

Sebaliknya, MUI mengajak semua elemen masyarakat di Kabupaten Malang untuk menghormati hasil final pemilu yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Mei 2019. Ketidakpuasan terhadap hasil pemilu sebaiknya diselesaikan melalui Badan Pengawas Pemilu dan diajukan ke Mahkamah Konstitusi.

Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Malang Umar Usman sepaham dengan Fadhol. PCNU juga mengeluarkan pernyataan menolak upaya people power dengan dua alasan. Pertama, seruan people power sangat tidak edukatif bagi rakyat, tidak dewasa, dan menodai sikap fair play.

Reformasi telah menghasilkan ruang bagi kemerdekaan berpikir dan kebebasan berpendapat bagi rakyat. Namun, kata Umar, dalam konteks pemilu, kemerdekaan itu semestinya memberikan manfaat maupun maslahat bagi rakyat. Wacana people power justru menampakkan ketidakpercayaan terhadap pesta demokrasi yang baru saja usai.

“Pemilu adalah mekanisme yang terukur dan objektif yang bisa dipertanggungjawabkan dan bisa dijadikan parameter siapa yang menang, siapa yang mayoritas, dan siapa yang kalah. Jadi, kita hormati saja apa pun hasilnya nanti,” kata Umar, yang sehari-hari berprofesi sebagai dokter.

Kedua, kata Umar, wacana maupun ajakan people power usai pemilu bukanlah people power yang sesungguhnya seperti terjadi di masa awal gerakan reformasi, yang berujung pada pengunduran diri Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.

Umar menyatakan, people power pasca-pemilu 2019 yang disampaikan segelintir elite politik hanya merupakan ekspresi ketidakbesaran jiwa menerima kekalahan sehingga mencari segala cara untuk memaksakan menang. Seharusnya elite politik penyeru people power tetap menjaga sportivitas dan bersikap fair play.

Pemilu ia ibaratkan sebagai pertandingan sepak bola. “Marilah kita dukung sikap sportivitas untuk mendidik rakyat. Seruan people power itu sangat provokatif dan tidak bermanfaat,” ujar Umar.

Selebihnya Umar mengingatkan kepada kedua kubu untuk tetap saling memberi respek. Kubu yang kalah tetap berjiwa besar dengan mengucapkan selamat kepada kubu pemenang. Kubu yang menang tetap rendah hati untuk merangkul kubu yang kalah.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus