Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ilmuwan herpetologi dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) Institut Teknologi Bandung (ITB) Djoko T. Iskandar bergabung dengan tim ilmuwan dunia untuk melakukan penelitian mengenai kepunahan reptil.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bahwa usaha konservasi tetrapoda kepada reptil secara menyeluruh perlu dilakukan. Selain hanya berfokus pada konservasi reptil, usaha konservasi seluruh kelas tetrapoda dianggap akan memberikan dampak positif yang lebih signifikan.
Hasil analisis mengungkapkan bahwa skema ini efektif untuk melawan ancaman kepunahan. Laporan penelitian yang dilakukan oleh tim ini telah dipublikasikan pada jurnal ilmiah Nature dengan judul A global reptile assessment highlights shared conservation needs of tetrapods.
Tetrapoda adalah klasifikasi superclass dari hewan vertebrata yang mencakup kelas amfibi, reptilia, aves (burung), dan mamalia. Analisis risiko kepunahan untuk amfibi, burung, dan mamalia yang telah dilakukan sebelumnya dinilai cukup komprehensif, namun lain halnya dengan reptil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keberadaan Hewan Vertebrata Terancam Punah
Data menunjukkan bahwa sebanyak 40,7 persen amfibi, 25,4 persen mamalia, dan 13,6 persen burung terancam punah. Oleh karena itu, kebijakan konservasi selama ini seringkali mengacu kepada International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List yang merupakan suatu koleksi data mengenai spesies yang terancam punah, dan daftar-daftar lainnya untuk ketiga kelas tersebut.
Penulis pertama dalam studi ini, Neil Cox dari Biodiversity Assessment Unit IUCN, mengatakan, “Di sini kami menyediakan analisis risiko kepunahan yang komprehensif untuk reptil, menimbang kurangnya usaha penelitian global mengenai reptil dari sudut pandang usaha konservasi.”
Faktor-faktor utama yang mengancam reptil dan tetrapoda lainnya meliputi agrikultur, penebangan, perkembangan area urban, dan spesies invasif. Jika dibandingkan dengan tetrapoda lainnya, reptil memiliki keanekaragaman yang tinggi di daerah kering dan di beberapa pulau atau kepulauan (seperti Antilles, Kaledonia Baru, dan Selandia Baru). Maka, para ilmuwan menyimpulkan bahwa reptil memerlukan strategi konservasi dan prioritas geografis yang berbeda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melibatkan 52 Institusi dari Penjuru Dunia
Penelitian yang melibatkan 52 institusi dari berbagai penjuru dunia ini melakukan penilaian terhadap hasil penelitian yang dilakukan oleh Red List untuk reptil dan menguraikan implikasinya terhadap kebutuhan konservasi reptil.
“Kami melakukan penilaian global terhadap reptil dengan mengacu kepada kriteria IUCN Red List dengan masukan dari 961 ilmuwan yang dikumpulkan melalui 48 workshop. Dari 10.196 spesies yang dinilai, 21,1 persen terancam punah (termasuk dalam kategori rentan, terancam, atau sangat terancam,” terang Bruce E. Young dari organisasi konservasi NatureServe.
Angka ini didasarkan pada ketidakpastian status kepunahan dari spesies-spesies dengan data kurang baik, berkisar antara 18,0 persen (dengan asumsi spesies dengan data kurang baik tidak terancam) sampai 32,8 persen (dengan asumsi terancam).
Pada sebagian besar daerah di Asia Tenggara, Afrika Barat, Madagaskar Utara, Andes Utara, dan Karibia, konsentrasi dari reptil terancam punah selaras dengan proporsi tetrapoda terancam punah lainnya. Berbanding terbalik, pada beberapa daerah di Asia Selatan dan timur laut Amerika Serikat, reptil terancam punah memiliki proporsi yang lebih tinggi dibandingkan tetrapoda lainnya.
Lebih spesifik mengenai reptil, buaya dan penyu adalah reptil yang paling terdampak oleh perburuan liar, sementara itu squamata adalah reptil yang paling terancam oleh agrikultur. Proporsi jumlah penyu (57,9 persen) dan buaya (50,0 persen) yang terancam punah jauh lebih tinggi dibandingkan squamata (19,6 persen) dan tuatara (0 persen).
Perubahan Iklim Ancam Keberadaan Reptil
Faktor lain yang mengancam reptil adalah perubahan iklim. Sayangnya, kurangnya studi jangka panjang membatasi dokumentasi perubahan iklim sebagai ancaman terhadap reptil. Selain itu, beberapa penyakit telah tercatat mengancam 11 spesies reptil, yang mana berjumlah kurang dari 1 persen spesies yang bertahan hidup saat ini. Terlebih lagi, eksploitasi reptil untuk konsumsi dan perdagangan memberikan ancaman terhadap keberadaan 329 spesies, terutama penyu laut.
Tim penelitian juga menemukan bahwa lebih dari setengah spesies reptil yang ada saat ini menjadikan hutan sebagai habitatnya. Dikarenakan penebangan hutan, dapat disimpulkan jika spesies yang tinggal di hutan memiliki ancaman yang lebih tinggi terkait kerusakan habitat.
Hal ini juga berlaku pada tetrapoda lainnya. Ekosistem hutan optimal dalam mendukung keanekaragaman hayati yang tinggi, dan hal ini menjadikan kerusakan hutan sebagai ancaman yang menyeluruh.
“Walaupun beberapa reptil termasuk sebagian besar spesies buaya dan penyu memerlukan perlindungan mendesak dan spesifik, usaha untuk melindungi tetrapoda lainnya mungkin akan menguntungkan juga bagi banyak reptil,” tutup para illmuwan dalam kesimpulannya.