Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pegiat Demokrasi Minta DPR Tak Distorsi Putusan MK Hapus Presidential Threshold

Mahkamah Konstitusi menghapus aturan presidential threshold 20 persen dalam putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024.

3 Januari 2025 | 16.54 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Situasi ruang sidang pleno 1 MK ketika pembacaan 25 putusan MK, Jumat, 3 Januari 2025. TEMPO/Vedro Imanuel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pegiat demokrasi mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan perkara gugatan Nomor 62/PUU-XXII/2024 pada Kamis, 2 Januari kemarin. Mahkamah menghapus aturan presidential threshold 20 persen dalam putusan tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI Muhammad Isnur mengimbau seluruh pihak menghormati putusan MK. Alasannya, selain bersifat final dan mengikat, putusan tersebut merupakan preseden baik bagi demokrasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kami meminta DPR dan pemerintah segera merevisi regulasi yang sejalan dengan putusan Mahkamah Nomor 62/PUU-XXII/2024 ini," kata Isnur melalui pesan suara singkat, Jumat, 3 Januari 2025.

Ia mendesak agar DPR maupun pemerintah tak melakukan manuver terhadap putusan Mahkamah. Sebab, putusan tersebut secara prinsip menjadi suatu keuntungan juga bagi partai politik, tidak hanya masyarakat. "Ini harapan baru untuk perbaikan sistem demokrasi dan negara hukum," ujar dia.

Pengajar hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengimbau agar DPR dan pemerintah tak melakukan upaya untuk mendistrosi putusan Mahkamah.

Alasannya, ia menjelaskan, putusan tersebut telah memberikan keadilan kepada seluruh pihak, terutama bagi perbaikan demokrasi di Indonesia. "Justru partai harus menyambut baik putusan ini karena bisa lebih mudah untuk mengusung kadernya menjadi calon presiden atau wakilnya," ujar Titi.

Adapun MK mengabulkan perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang menguji Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang berkaitan dengan syarat persentase presidential threshold.

Dalam pertimbangannya, Wakil Ketua Mahkamah Saldi Isra mengatakan syarat presidential threshold berapa pun besaran persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Menurut MK, mempertahankan ketentuan aturan ambang batas hanya akan memberikan dampak minimnya pengusungan calon presiden dan wakil presiden. Apabila dibiarkan, kemungkinan potensi pemilu diikuti calon tunggal juga amat besar.

Sehingga, kata Saldi, jika hak tersebut terjadi makna hakiki dari Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi.

"Agar pelaksanaan kedaulatan rakyat dan partisipasinya meluas sesuai perkembangan demokrasi," ujar Saldi.

Ketua Komisi bidang Pemerintahan DPR, Rifqinizamy Karsayuda, mengatakan DPR bersama pemerintah akan menindaklanjuti putusan tersebut dalam pembentukan norma yang merujuk pada undang-undang terkait pencalonan presiden dan wakil presiden.

Dia menilai putusan Mahkamah menjadi babak baru dalam lanskap demokrasi konstitusional Indonesia. Sebab, Mahkamah membuka ruang bagi calon dari partai mana pun untuk menjadi presiden dan wakil presiden.

Nantinya, kata dia, putusan Mahkamah ihwal penghapusan Presidential Threshold bakal menjadi bahan bagi Komisinya untuk menyusun draf wacana RUU omnibus law politik.

Sebab, putusan Mahkamah hadir manakala terdapat keinginan DPR untuk merancang RUU omnibus law politik. "Nanti dimasukkan kalau memang revisi menganut model omnibus law dilakukan," kata Rifqinizamy, Kamis, 2 Januari kemarin.

Nabilla Azzahra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus