MUSIM unjuk rasa belum berakhir di pengujung tahun 1993 ini. Sejak pekan lalu, gelombang demo masih terus bergulir dari kampus ke kampus. Temanya, tentu, bukan lagi SDSB seperti bulan lalu. Yang lagi ngetrend kali ini adalah tuntutan pembebasan 23 mahasiswa yang ditahan gara-gara melakukan unjuk rasa di DPR, 11 Desember lalu. Di Bandung, misalnya, aksi solidaritas itu berlangsung di beberapa tempat. Suatu hari mereka berkumpul di lapangan Gasibu, lalu bergerak ke arah Gedung DPRD, yang jaraknya hanya sekitar 200 meter, dengan membawa spanduk. Pengunjuk rasa yang jumlahnya sekitar 100 mahasiswa itu sempat mengadakan dialog dengan Fraksi ABRI. Hari lain, Senin pekan lalu, mereka berkumpul di Unisba. Kali ini, jumlahnya 200 orang. Spanduk-spanduk yang mereka gelar antara lain "Cabut pendekatan keamanan" dan "Bebaskan dari penindasan". Mereka kemudian ke DPRD, yang jaraknya sekitar lima kilometer. Esoknya, giliran Unpad jadi tuan rumah, dan hari lainnya ITB. "Pemerintah harus membebaskan kawan-kawan kami yang ditahan, tanpa syarat," kata seorang peserta demo. Sampai Kamis pekan lalu, belum ada kabar baru tentang mahasiswa yang "dimintai keterangan". "Kami memang belum mengambil tindakan. Tapi indikasi akan adanya penangkapan sudah ada karena ada di antara mereka yang menghina kepala negara," kata seorang pejabat ABRI kepada TEMPO. Sementara itu, aksi serupa juga terjadi di Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta. Hanya saja, bentuknya sporadis dan terbatas di sekitar kampus. Jumlahnya pun lebih sedikit. Tampaknya, ada yang menghubungkan, aksi solidaritas ini menjadi kempes di kota-kota itu setelah Presiden Soeharto mengingatkan adanya pihak yang ingin mengganggu stabilitas. "Kita harus waspada, jangan kemudian dibumbui terus. Itu akan mengganggu stabilitas nasional," kata Pak Harto dalam penerbangan New DelhiJakarta dua pekan lalu. Hingga Kamis pekan lalu, pihak aparat keamanan tampaknya belum akan melepas ke-23 mahasiswa itu. Mereka kini ditahan di enam tempat terpisah. Di antaranya ada yang ditahan di Polres Jakarta Selatan. "Mereka diperlakukan dengan baik," kata seorang pengurus Yayasan Pijar, sebuah lembaga swadaya masyarakat di Jakarta, yang pernah membesuk mereka. Kondisi moral mereka juga beragam. Ada yang kapok tak mau lagi ikut demo, ada juga yang biasa-biasa saja. Mereka yang jeri, menurut seorang pengurus Yayasan Pijar, kebanyakan adalah mahasiswa baru yang kadarnya hanya ikut-ikutan alias penggembira, sedangkan mereka yang bersikap biasa saja memang sudah langganan keluar-masuk tahanan gara-gara demo. Tapi kini mereka tampaknya bakal menghadapi ancaman yang lebih berat daripada pengunjuk rasa untuk urusan tanah atau SDSB, misalnya. Dalam waktu dekat, menurut Deputi Operasi Kapolri Mayjen Koesparmono Irsan, mereka akan diadili. Menurut sumber di Bakorstranasda Jakarta, mereka bakal didakwa melanggar pasal penghinaan kepada kepala negara. Nasib ke-23 mahasiswa ini tak berbeda dengan Nuku Soleman, pemimpin Yayasan Pijar, yang sudah lebih dulu menginap di tahanan Salemba. Ia dituduh menghina kepala negara karena mengedarkan stiker "pelesetan SDSB" saat terjadinya demo anti SDSB di DPR, 25 November lalu. Kini, selama pemeriksaan berlangsung, Nuku dan ke-23 mahasiswa itu didampingi oleh tim pengacara dari LBH. "Kenapa mengkritik presiden tidak boleh?" kata Rachland S. Nashidik, Ketua Pelaksana Harian Yayasan Pijar.AKS dan Ahmad Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini