Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berbagai Sebab Kalah-Menang KIM Plus dan PDIP di Pilkada

Sejumlah faktor menjadi penyebab kekalahan pasangan calon dalam pilkada 2024. Dari urusan logistik hingga mesin partai.

3 Desember 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kemenangan Koalisi Indonesia Maju dalam sejumlah pilkada 2024 disebut sebagai kemenangan logistik.

  • Ada pula faktor lain, yakni kejenuhan masyarakat terhadap rezim yang sudah lama bercokol.

  • Mesin partai tidak bekerja dan tidak solidnya koalisi adalah penyebab kekalahan KIM plus di pilkada Jakarta.

KEMENANGAN pasangan calon yang diusung Koalisi Indonesia Maju atau KIM plus di banyak daerah tak terlepas dari sokongan logistik yang kuat. Firman Noor, peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), menyebut kemenangan KIM plus dalam sejumlah pemilihan kepala daerah atau pilkada 2024 sebagai kemenangan logistik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KIM plus, di antaranya, ditengarai menggalang logistik dari jaringan pengusaha di lingkungan mereka. Selain itu, sebagai pemenang pemilihan presiden 2024, koalisi ini berpeluang menang dengan memanfaatkan birokrasi. Hal itu diperparah oleh kondisi masyarakat yang dinilai minim pendidikan politik. "Ini memang kombinasi yang tajam," ujar Firman saat dihubungi Tempo pada Jumat, 29 November 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KIM plus terdiri atas 10 partai politik. Awalnya, KIM terdiri atas empat partai yang lolos ke Dewan Perwakilan Rakyat, yakni Golkar, Gerindra, Partai Amanat Nasional, dan Demokrat, serta enam partai nonparlemen. Koalisi berubah menjadi KIM plus dengan bergabungnya Partai NasDem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, dan partai nonparlemen lain. Meski begitu, di sejumlah pilkada, beberapa partai anggota koalisi membentuk aliansi sendiri untuk mengusung pasangan calon yang dijagokan.

Firman menjelaskan, ada faktor lain yang mempengaruhi kemenangan KIM, salah satunya kejenuhan masyarakat terhadap rezim yang sudah lama bercokol. Ia mencontohkan, dalam pilkada Banten terjadi anomali antara hasil hitung cepat atau quick count dan hasil survei. Pasangan Airin Rachmi Diany-Ade Sumardi kalah oleh Andra Soni-Dimyati Natakusumah. Padahal hasil sigi sejumlah lembaga survei sebelum pencoblosan menunjukkan elektabilitas Airin mencapai 70 persen. 

Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Banten nomor urut 2, Andra Soni (kiri) dan Achmad Dimyati Natakusumah, saat mengikuti debat ketiga di Jakarta, 20 November 2024. ANTARA/Galih Pradipta

Firman mengatakan, selain faktor logistik, Indeks Pembangunan Manusia di Banten selama di bawah pemerintahan dinasti mantan Gubernur Atut Chosiyah tidak meningkat. Airin memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga Atut. Sebab, ia menikah dengan Chaeri Wardana, adik Atut. Walhasil, kondisi ini sangat mudah didekati dengan manuver logistik. 

Menurut Firman, situasi demokrasi yang sedang sakit dan masyarakat yang mudah dipengaruhi pendekatan logistik menjadi kombinasi yang mumpuni. "Airin mungkin rajin turun ke lapangan menemui masyarakat dan lebih terkenal. Tapi itu sepertinya tidak mampu menahan gempuran logistik di kantong kemiskinan di Banten," ujarnya.

Kondisi serupa terjadi di Jawa Tengah, yang dikenal sebagai kandang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Namun, kata Firman, masyarakat yang berada di garis kemiskinan secara umum akhirnya mencari alternatif. Kondisi ini juga dimanfaatkan KIM plus dengan menggelontorkan logistik berupa bantuan sosial secara masif.

Namun manuver KIM plus gagal di Jakarta. Firman menilai salah satu penyebabnya adalah koalisi tidak solid. Dia menyebutkan beberapa partai anggota koalisi tidak menggerakkan mesin politiknya untuk memenangkan pasangan calon Ridwan Kamil-Suswono. Warga Jakarta juga lebih teredukasi secara politik dan memiliki tingkat penghasilan yang tinggi sehingga sulit diintervensi dengan logistik. Selain itu, faktor Anies Baswedan, Gubernur Jakarta periode 2017-2022, berperan menggalang dukungan bagi pasangan Pramono Anung-Rano Karno.

Dalam kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Para Syndicate Virdika Rizky Utama menilai faktor yang berpengaruh terhadap kemenangan pasangan calon KIM plus adalah endorsement atau dukungan Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo.

Menurut Virdika, masyarakat di sejumlah daerah tidak sadar atau tak terlalu peka terhadap narasi dinasti politik ataupun oligarki. "Dukungan Prabowo dan Jokowi juga mempengaruhi netralitas aparatur sipil negara," ujarnya. Namun situasi tersebut berbeda dengan masyarakat Jakarta yang terlihat lebih rasional dalam memilih pemimpin.

Pemungutan suara pilkada 2024 di Lapas Wanita Klas IIA, Semarang, Jawa Tengah, 27 November 2024. ANTARA/Makna Zaezar

Ihwal kekalahan PDIP di Jawa Tengah, Virdika menuturkan, penyebabnya adalah rekam jejak pasangan calon yang diusung. PDIP mengusung mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia, Andika Perkasa; dan mantan Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi. Pasangan calon ini dinilai sulit menarik dukungan dari basis Nahdlatul Ulama karena tidak memiliki rekam jejak sebagai nahdliyin. Berbeda dengan pasangan calon yang diusung KIM plus, Ahmad Luthfi-Taj Yasin Maimoen. Sebab, Taj Yasin adalah anggota NU. "Taj Yasin itu kiai dan jejaring pesantrennya kuat," kata Virdika.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus