Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Letjen TNI (Purn.) M. Jasin
Saya bertanya-tanya, kenapa sewaktu Panglima ABRI mengundang tokoh-tokoh Aceh, saya tak diundang. Mungkin itu karena Ketua Persatuan Rakyat Aceh di Jakarta adalah Bustanil Arifin. Kalau diundang, saya pasti akan memberikan nasihat kepada Wiranto agar mencontoh pengalaman saya dulu saat memadamkan pemberontakan Daud Beureuh. Waktu itu, pasukan saya ultimatum, "Tidak boleh ada satu peluru pun dalam menghadapi pemberontak." Hanya bersama 10 prajurit dengan laras senjata diarahkan ke bawah, saya pergi menemui Daud Beureuh di sarangnya. Saat itu, kepala staf saya menyiapkan pasukan berkekuatan 200 prajurit, tapi saya tolak. Perjalanan empat jam menembus hutan Lhokseumawe itu menegangkan. Ratusan pasukan pemberontak bersenjata lengkap--termasuk empat bazoka, yang TNI pun saat itu belum memilikinya--mengepung dari segala arah. Tapi apa yang terjadi? Daud Beureuh luluh hatinya dengan keberanian dan ketulusan itu. Akhirnya, mereka menyerah dan musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh bisa dilaksanakan.
Karena itulah saya tidak setuju dengan Operasi Wibawa '99. Model operasinya harus diubah. Tarik mundur prajurit, pemimpinnya maju. Saya sedih melihat, belum apa-apa prajurit sudah disuruh ke depan. Komandan resor militer (danrem) di sana harus berani turun. Apalagi kalau dia orang Aceh. Lakukan pendekatan persuasif dengan tata cara setempat. Kalau perlu, panglima kodam, KSAD, atau Pangab datang dan menanyakan apa yang diinginkan. Mungkin mereka akan luluh. Kalau gagal, harus berani mundur. Memang risikonya besar, tapi begitulah caranya. Jangan serta-merta diselesaikan dengan kekerasan. Masalahnya tak akan bisa selesai. Militer tidak harus selalu menggunakan senjata dalam menghadapi pemberontakan. Senjata baru dipergunakan dalam keadaan perang. Dalam situasi damai, mulut dan wibawa itu lebih dari peluru. Penyergapan prajurit itu adalah cermin dari kepemimpinan ABRI yang tidak baik.
Letjen TNI Fachrul Razi
Niat baik ABRI untuk menarik semua satuan non-organik dimanfaatkan gerombolan pengacau liar sisa Hasan Tiro untuk membangun kekuatan. Dalam operasi lalu, ditemukan ratusan ribu senjata yang berasal dari luar negeri dan tidak tertutup kemungkinan dipasok dengan tujuan tertentu. Sebenarnya, tidak ada yang berniat memisahkan diri. Pada pertemuan dengan Pangab beberapa hari lalu, para tokoh masyarakat menyatakan Aceh Merdeka tidak akan pernah terjadi. Tuntutan mereka, misalnya tentang pembagian pendapatan pusat dan daerah, wajar di era reformasi ini, asal jangan diikuti konflik bersenjata. Kalau sudah begitu, sah mengategorikannya sebagai pemberontakan, yang dilawan dengan kekuatan bersenjata juga.
Aceh tidak akan dijadikan daerah operasi militer (DOM) lagi. Dulu, yang dilakukan adalah prosedur bantuan militer atas permintaan kepala daerah. Komandonya langsung dipegang oleh komandan militer tertinggi di daerah itu. Sekarang tidak. Sesuai dengan UU Kepolisian, polisi meminta bantuan kekuatan dari luar. Komando operasi tetap di tangan kepala kepolisian daerah (kapolda). Prosedur pengamanan sesuai dengan tertib sipil dan berdasarkan peraturan hukum pada situasi normal. Dulu, kalau mencurigai seseorang, kita bisa langsung menangkap dan menginterogasinya. Sekarang tidak bisa. Harus ada bukti awal dulu, baru diserahkan ke polisi.
Sampai saat ini, masih ada dua prajurit yang belum ditemukan. Meski demikian, ABRI tetap menegaskan kepada prajurit di lapangan supaya jangan terpancing emosi. Di suatu daerah operasi, acap terjadi balas-membalas. Kalau sudah begitu, bisa seperti Aceh di masa lalu. Menurut beberapa teman yang pernah bertugas di sana, anggota menjadi emosi melihat temannya dianiaya. Itu persis dengan kejadian sekarang. Tujuh anggota ABRI sampai dicincang. Beberapa organ tubuhnya dipotong. Bayangkan jika mereka keluarga atau teman Anda. Tentu ada keinginan membalas.
Karaniya Dharmasaputra, Andari Karina Anom, Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo