Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Irma Hikmayanti memegang siku seorang perempuan yang berada di depannya ketika berjalan dari rumahnya di Kelurahan Duren Seribu, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat, ke tempat pemungutan suara terdekat. Penyandang tunanetra ini sadar akan hak politiknya dan ingin menyalurkan suara dia pada Pilkada 2018 yang berlangsung Rabu, 27 Juni 2018. Sesampainya di tempat pemungutan suara, Irma mendaftar untuk mendapatkan nomor antrean.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca juga:
Begini Cara Tunanetra Menonton Piala Dunia 2018
Kisah Daniel Kish, Seorang Tuna Netra yang Melihat Melalui Suara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak lama menunggu, namanya kemudian dipanggil untuk mencoblos di salah satu bilik suara yang tersedia. Irma kemudian diantar hingga sampai bilik suara oleh asisten yang tadi menuntun dia sampai ke TPS dan seorang petugas pemungutan suara. Mereka membantu membuka surat suara untuk memilih calon kepala daerah Provinsi Jawa Barat.
"Saya punya referensi dan tahu siapa yang bakal saya pilih di Pilkada ini," kata Irma Hikmayanti kepada Tempo. Asisten tadi kemudian mengarahkan tangan perempuan 45 tahun itu ke area pencoblosan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Barat yang ingin pilih Irma. Supaya hakul yakin, Irma menanyakan kepada petugas pemungutan suara apakah dia sudah melubangi kertas dengan benar di calon kepala daerah yang dipilih. "Setelah petugas mengkonfirmasi kebenarannya, barulah surat suara itu dimasukkan ke kotak suara."
Sulit bagi Irma Hikmayanti dan pemilih dengan disabilitas netra lainnya untuk menjaga kerahasiaan siapa pasangan calon yang mereka pilih setiap kali pesta demokrasi berlangsung. Sebab, selalu ada pendamping yang membantu mencoblos, dan orang itu tentu tahu siapa yang dipilih. Sejatinya, pemilih tunanetra bisa mencoblos sendiri jika panitia pemungutan suara menyediakan template kertas suara.
Photo booth Instagram di TPS 01 Kelurahan Duren Seribu, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat di Pilkada serentak 2018, Rabu 27 Juni 2018. Pemilih yang usai menyalurkan suaranyaa dapat berfoto dengan latar bingkai Instagram buatan panitia pemungutan suara. TEMPO | Cheta Nilawaty
Template yang dimaksud adalah alat untuk menempatkan kertas suara di titik yang tepat, sehingga pemilih dengan disabilitas netra dapat mencoblos tepat di gambar pasangan calon yang dia pilih. Dengan begitu, suara para penyandang disabilitas ini tetap sah. Tapi, kalaupun panitia menyediakan template kertas surat suara, Irma tak ingin menggunakannya.
Perempuan yang pernah menempuh pendidikan master di Amerika Serikat ini menjelaskan salah satu kelemahan dari template surat suara. Menurut Irma, template tersebut akan memperlambat proses pencoblosan karena pemilih tunanetra harus membaca keterangan dalam huruf Braille. "Meraba keterangan pada template tersebut membutuhkan waktu cukup lama. Tentu kasihan pemilih lain jadi terlalu lama menunggu untuk mencoblos," ujar Irma di TPS. Karena itu, Irma memutuskan mengajak asisten sendiri agar memudahkan pencoblosan.
Ketua Panitia Pemungutan Suara Kelurahan Duren Seribu, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok, Jawa Barat, Wenny Diah Rusanti mengakui tidak menyediakan template surat suara bagi pemilih tunanetra. "Tapi kami menyediakan pendamping untuk pemilih dengan jenis disabilitas apapun," ujar Wenny. "Pemilih dengan disabilitas netra akan kami antar sampai ke bilik suara. Lalu kami membacakan pasangan calon yang akan dicoblos."
Wenny juga menjelaskan alasan petugas pemungutan suara tetap mendampingi Irma ke bilik suara meski sudah diantar oleh asistennya. "Kami sekadar memastikan pemilih disabilitas tidak diintervensi oleh siapapun," kata Wenny. Dia mengaku cara tersebut belum sempurna dalam menjamin kerahasiaan pilihan pemilih disabilitas. Pendamping disabilitas dan petugas PPS jadi mengetahui siapa calon kepala daerah yang dipilih oleh pemilih tunanetra.