Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Cawe-cawe Penguasa dalam Pilkada 2024 Menghambat Reformasi TNI-Polri

Reformasi TNI dan Polri yang menjadi cita-cita reformasi terhambat lantaran ada upaya cawe-cawe aparat dalam pilkada 2024.

9 Desember 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Penjabat Gubernur DKI Jakarta Teguh Setyabudi (kiri), didampingi Pangdam Jaya/Jayakarta Mayjen TNI Rafael Granada Baay (tengah), dan Kapolda Metro Jaya Irjen.Pol. Karyoto (tiga kiri), memeriksa pasukan usai memimpin Apel Gabungan TNI - Polri untuk pengamanan tahapan pemungutan dan penghitungan suara operasi Mantap Praja-2024, di Jakarta, 25 Novembner 2024. TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Lokataru menemukan tujuh jenis dugaan pengerahan aparat TNI dan Polri dalam pilkada 2024.

  • Tudingan cawe-cawe aparat Polri dan TNI dalam pilkada 2024 makin menjauhkan cita-cita awal reformasi.

  • Keterkaitan kepolisian dengan politik juga tidak bisa dipisahkan dalam pengangkatan Kepala Polri.

KANTOR Distrik Yapen, Papua, mencekam pada Kamis malam, 5 Desember 2024. Puluhan aparat kepolisian meminta masyarakat dan pemantau pemilihan kepala daerah atau pilkada 2024 keluar dari halaman kantor distrik itu. Suasana gelap. Hanya ada cahaya dari senter yang disorot petugas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suasana itu terekam dalam satu video yang diterima Tempo. “Keluar, keluar...,” kata seorang polisi dalam video tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Lokataru Delpedro Marhaen yang mengirim video tersebut menjelaskan, polisi itu meminta masyarakat yang mengawal penghitungan suara keluar dari tempat rekapitulasi.

Delpedro mengatakan masyarakat sebelumnya bertahan untuk menghindari penggelembungan suara dalam pilkada Papua. Ketika mereka bertahan, listrik dipadamkan. Kemudian anggota kepolisian membubarkan massa.

"Dugaannya, pembubaran itu supaya ada jeda waktu. Kami menduga itu untuk membuat perubahan dan penggelembungan suara," katanya kepada Tempo, Ahad, 8 Desember 2024.

Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Agus Subiyanto (kiri) bersama Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo (kedua dari kiri) menginspeksi pasukan dalam apel kesiapan pengamanan pilkada serentak di Kepolisian Daerah Jawa Timur, Surabaya, Selasa, 19 November 2024. ANTARA/Didik Suhartono

Delpedro menyatakan massa melakukan pengawasan karena khawatir terhadap isu dugaan penggelembungan suara. Sebelumnya, isu tersebut muncul di salah satu kantor distrik di Jayapura Utara pada Sabtu, 30 November 2024.

Delpedro menyebutkan masyarakat dan saksi di distrik itu diduga mengalami intimidasi serupa ketika sedang mengawal suara.

Temuan itu merupakan dua dari tujuh kasus dugaan pengerahan aparat Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI yang dihimpun Lokataru. Pada kasus lain, Lokataru menemukan dugaan keterlibatan petinggi Kepolisian Resor Keerom dalam pilkada Papua 2024. 

Petinggi itu diduga menginstruksikan petugas pengamanan tempat pemungutan suara (TPS) mendukung salah satu kandidat dalam pilkada Papua. Lokataru mendapat rekaman pertemuan tiga petinggi Polres Keerom yang meminta petugas pengamanan TPS mendukung salah satu calon. Pertemuan itu dilakukan di Distrik Arso, Kabupaten Keerom, Papua, 22 November 2024.

Peristiwa tersebut menjadi salah satu sorotan dalam pelaksanaan pilkada 2024 yang digelar serentak pada 27 November 2024 di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Temuan Lokataru dihimpun dari tahapan kampanye, masa tenang, penghitungan suara, hingga rekapitulasi suara. Temuan itu berasal dari pemantauan di lapangan, media arus utama nasional dan lokal, media nasional, serta laporan dari posko pada November-Desember 2024 di enam wilayah Papua.

Tempo sudah meminta konfirmasi mengenai hal ini kepada Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Papua Komisaris Besar Ignatius Benny Ady Prabowo dan Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho. Namun keduanya tak merespons pesan Tempo.

Selain di Papua, dugaan pengerahan anggota TNI dan Polri untuk memenangkan salah satu kandidat terjadi di Jawa Tengah. Majalah Tempo edisi 10 November 2024 melaporkan bahwa kepala desa di sejumlah daerah di Jawa Tengah diduga ditekan kepolisian dengan ancaman kasus hukum yang berhubungan dengan dana desa dan dana bantuan provinsi.

Para kepala desa diminta membuat alat peraga kampanye untuk mendukung pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Ahmad Luthfi-Taj Yasin Maimoen. Kepala desa yang tidak menurut mendapat panggilan polres setempat untuk wawancara klarifikasi perkara. Dua kepala desa memenuhi undangan itu, tapi lagi-lagi ada permintaan untuk mendukung Luthfi.

Ribut Hari Wibowo, yang menggantikan Luthfi sebagai Kepala Polda Jawa Tengah, tak mau menjawab pertanyaan Tempo ketika dihubungi pada 8 November 2024. Ia mempersilakan Tempo datang ke Jawa Tengah dan melihat keadaan di sana. "Nanti datang, lihat, dan rasakan atmosfernya. Saya enggak akan mengarahkan," ujarnya.

Pilkada dan Pilpres 2024 Hambat Reformasi Polri?

Tudingan cawe-cawe aparat Polri dan TNI dalam pilkada 2024 makin menjauhkan cita-cita awal reformasi agar kedua institusi tersebut tak terlibat urusan politik.

"Semangat reformasi ingin menciptakan aparat keamanan dan pertahanan yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi serta hak asasi manusia," kata Wakil Direktur Imparsial Hussein Ahmad saat dihubungi, Ahad, 8 Desember 2024.

Hussein mengatakan elite politik nasional dalam pilkada tahun ini masih melihat potensi TNI dan Polri yang memiliki jaringan kuat, bahkan kemudahan akses ke pendanaan.

Potensi itu misalnya TNI memiliki fungsi menjaga wilayah dan komando teritorial. Dari komando teritorial, TNI bisa mendapat jaringan politik dan bisnis.

"Jejaring politik itu secara tidak langsung melekat pada fungsinya," ujar Hussein.

Hal serupa dimiliki Polri. Kepolisian memiliki kewenangan di daerah dengan kehadiran polda. Dari situlah kepolisian mendapat jaringan politik.

Dengan keadaan itu, Hussein menilai, peluang penyimpangan yang dilakukan TNI dan Polri akan selalu ada. Dalam pemilihan presiden 2024, misalnya, 15 anggota TNI diduga menganiaya sukarelawan calon presiden dan wakil presiden Ganjar Pranowo-Mahfud Md. di Boyolali pada Desember 2023.

"Tidak pernah terdengar ada tindak lanjut kasus ini," ucapnya.

Mobilisasi tentara pun dilakukan dalam pilpres 2024, misalnya ketika Mayor Teddy Indra Wijaya, ajudan Prabowo Subianto saat masih menjadi Menteri Pertahanan, ikut dalam debat calon presiden. Ia datang ke acara debat dan menggunakan baju pendukung Prabowo. Padahal Teddy kala itu masih anggota TNI aktif.

Masalahnya, menurut Hussein, ada pembiaran terhadap dugaan pelanggaran tersebut. Karena itu, perlu ada lembaga pengawasan yang kuat untuk memantau kedua institusi tersebut. Apalagi selama ini TNI tidak memiliki lembaga pengawasan. Sedangkan lembaga pengawas Polri, seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), tidak punya taji.

Petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara di TPS 15 Medan Selayang menghitung suara dalam pemilihan kepala daerah 2024 di Medan, Sumatera Utara, Rabu, 27 November 2024. ANTARA/Yudi Manar

Sementara itu, kata Hussein, Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat yang bermitra dengan TNI lebih banyak menyetujui keinginan Panglima TNI. Sedangkan Komisi III DPR yang bermitra dengan Polri tidak mengevaluasi dengan serius. Evaluasi tersebut tak menyentuh akar masalah.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia Julius Ibrani mengatakan pemilu dan pilkada merupakan salah satu hambatan untuk mereformasi Polri.

Sebab, Polri selama ini dilibatkan secara khusus untuk kegiatan politik. Kepolisian bahkan mendapat kenaikan anggaran setiap menjelang pemilu. Alasan kenaikan itu adalah menjaga keamanan pesta demokrasi. Padahal tidak ada kerusuhan pemilu atau pilkada sejak 1999. "Semua kekisruhan justru karena ada kepentingan politik," tutur Julius saat dihubungi, Ahad, 8 Desember 2024.

Keterkaitan kepolisian dengan politik juga tidak dapat dipisahkan dalam pengangkatan Kepala Polri. Pengangkatan Kapolri dipenuhi nuansa kepentingan politik. Akibatnya, Julius menilai, Polri tidak menjalankan fungsi penegakan hukum. Justru yang terjadi adalah depolitisasi penegakan hukum. 

Menurut Julius, ada dua pendekatan yang dapat dilihat dalam mereformasi Polri, yaitu pendekatan sejarah serta penegasan kembali tugas dan fungsi kepolisian dalam konstitusi.

Selama ini fungsi kepolisian sangat luas: menyentuh hampir semua aspek kehidupan masyarakat, termasuk politik. Musababnya, kata Julius, Indonesia masih menerapkan model kepolisian era penjajahan Hindia Belanda (masa sebelum kemerdekaan Indonesia).

Waktu itu pemerintah Hindia Belanda selalu menerapkan kondisi kedaruratan pertahanan dan keamanan. Kondisi itu memberikan keleluasaan kepada polisi Hindia Belanda menangkap tokoh politik yang dianggap berbahaya. Polisi Hindia Belanda juga memiliki kewenangan membubarkan rapat.

"Sedangkan tentara untuk berperang, misalnya dengan Portugis," ucap Julius.

Dalam situasi itu, polisi Hindia Belanda mendapat ruang dalam berbagai aspek kehidupan. Demikian pula ketika era Orde Baru, kepolisian bergabung dengan TNI dan menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Dari sejarah itu, polisi tampak memiliki kaitan dengan kehidupan sosial-politik masyarakat.

Karena itu, Julius menilai, fungsi Polri seharusnya dipertegas. Kepolisian seharusnya bekerja untuk hal-hal teknis saja. Untuk mempertegas fungsi Polri, perlu ada perincian Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945 mengatur tentang hak dan kewajiban warga negara dalam pertahanan serta keamanan negara.

"Ditegaskan bahwa fungsi Polri adalah penegakan hukum saja. Perlu ada batasan juga bagi Polri untuk bekerja di luar penegakan hukum," kata Julius.

Soal reformasi kepolisian, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional, Sarah Nuraini Siregar, mengatakan Polri memiliki fungsi penegakan hukum. Dalam menegakkan hukum, Polri harus memiliki kemandirian. Tidak boleh ada intervensi atau manipulasi dalam penegakan hukum.

Sarah menyebutkan dugaan pengerahan polisi untuk kepentingan elektoral hanya akan mencederai semangat reformasi Polri. Semangat yang dimaksudkan itu adalah profesionalitas dalam politik, yaitu netralitas.

"Hal ini menjadi masalah. Problem utamanya terletak di elite politik sipil yang ingin menggunakan polisi sebagai alat kepentingan politik," ujarnya saat dihubungi, Ahad, 8 Desember 2024.

Sarah menjelaskan, reformasi Polri merupakan bagian dari reformasi sektor keamanan pada 1997. Tujuan utamanya, mendorong aktor keamanan yang profesional dalam kerangka negara demokrasi.

Profesionalitas Polri dalam kerangka ini sebagai penegak hukum. Selain itu, penjaga supremasi hukum sebagai salah satu indikator negara demokrasi, yaitu memastikan perlindungan HAM dan kebebasan demokrasi individu.

"Dalam mewujudkan reformasi Polri, masyarakat sipil tidak boleh menggunakan polisi sebagai alat kepentingan politik. Untuk mencegah itu, perlu ada pengawasan terhadap Polri," ucap Sarah.

Menurut dia, Polri tidak bisa menjalankan program-program reformasi ataupun transformasi sendiri. Polri membutuhkan dukungan para pemangku kepentingan, termasuk elite politik sipil, dalam mengawal program-program reformasi ataupun transformasi. Dalam upaya reformasi, perlu ada tolok ukur atau indikator capaian yang jelas. "Selain itu, pemantauan dan pengawasan yang makin terlembaga, baik dari Kompolnas maupun parlemen," kata Sarah.

Sebelumnya, muncul usul dari berbagai kalangan, termasuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, agar Polri ditempatkan di bawah Kementerian Dalam Negeri atau TNI. Usul itu disampaikan berkaitan dengan isu netralitas dan untuk memperkuat keamanan nasional.

Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Sitorus menduga ada keterlibatan aparat kepolisian dalam pemenangan beberapa calon kepala daerah pada pilkada 2024, yang ia sebut sebagai "partai cokelat".

Deddy menilai aparat kepolisian, bukan hanya satu orang, telah merusak demokrasi dan menganggap ini masalah garis komando. Ia juga menuding Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bertanggung jawab atas masalah ini, meskipun tidak merinci temuan kecurangan yang melibatkan polisi.

Sarah menilai usul agar Polri tidak lagi di bawah presiden perlu dipertimbangkan dengan hati-hati bila alasannya untuk mencegah intervensi politik. Sebab, belum tentu Kementerian Dalam Negeri bebas nilai karena menteri adalah jabatan politik dan merupakan pembantu presiden dalam sistem pemerintahan. "Logika-logika ini harus kita kritik juga," ujarnya.

Sarah menilai, untuk mencegah intervensi, justru sistem pengawasan Polri harus makin kuat dan makin terlembaga. Salah satunya dengan memperkuat kelembagaan Kompolnas. "Kedua, mengatur ulang kewenangan Polri agar tidak makin meluas," ucapnya.

Meski ada dugaan ketidaknetralan anggota TNI dalam pilkada 2024, Wakil Ketua Komisi I DPR Dave Laksono yakin TNI akan mengambil tindakan tegas dan berani mencopot anggota yang melanggar netralitas dalam pilkada.

Dave juga menilai kandidat yang merupakan prajurit dipastikan tertib dan berdisiplin mengikuti aturan TNI serta taat kepada undang-undang.

Komisi I DPR sebagai mitra TNI juga berkomitmen menjaga netralitas tentara dalam pemilu dan pilkada. Hal tersebut dilakukan dengan menggelar rapat dengar pendapat ataupun kunjungan kerja ke markas TNI.

"Fakta lainnya, TNI bersama Polri justru bersinergi untuk mengawal serta memastikan pemilu berjalan aman dan kondusif sejak pendistribusian logistik hingga penghitungan suara selesai," kata Dave saat dihubungi, Ahad, 8 Desember 2024.

Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Hariyanto menyatakan lembaganya netral dalam pilkada 2024. Sebab, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia mengatur bahwa prajurit harus netral dalam kehidupan politik. Mereka tidak boleh melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis.

Guna menjamin netralitas, TNI rutin memberikan pengarahan kepada semua prajurit mengenai aturan dan sanksi atas pelanggaran netralitas. "Sosialisasi ini dilakukan di semua tingkat satuan melalui pelatihan, apel, dan komunikasi langsung dari pimpinan TNI," ujar Hariyanto saat dihubungi, Ahad, 8 Desember 2024.

TNI juga melakukan pengawasan ketat untuk memastikan tidak ada keterlibatan prajurit ataupun penggunaan fasilitas TNI dalam kegiatan politik praktis selama pilkada. Pengawasan ini melibatkan jajaran inspektorat dan komando atas di setiap matra.

"Bagi prajurit yang terbukti melanggar netralitas, TNI akan menindak tegas sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku, baik melalui disiplin militer maupun peradilan militer," ucap Hariyanto.

Tempo sudah meminta konfirmasi kepada Kadiv Humas Polri Irjen Sandi Nugroho. Namun ia tak merespons pesan Tempo.

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengklaim telah memerintahkan bawahannya di daerah menjaga netralitas dalam pilkada serentak 2024. Sigit mengakui masalah netralitas Korps Bhayangkara pasti disorot di tengah pelaksanaan pilkada serentak tahun ini.

"Karena itu, semua personel harus berhati-hati terhadap isu netralitas karena menyangkut kredibilitas di lapangan," tuturnya kepada Tempo melalui jawaban tertulis, Ahad, 10 November 2024.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Hendrik Yaputra

Hendrik Yaputra

Bergabung dengan Tempo pada 2023. Lulusan Universitas Negeri Jakarta ini banyak meliput isu pendidikan dan konflik agraria.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus