Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Polemik RUU HIP, Sekjen PBNU: Pancasila Titik Temu Perbedaan

Terkait polemik RUU HIP, Sekjen PBNU menegaskan Pancasila merupakan titik temu semua perbedaan

27 Juni 2020 | 08.47 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi Pancasila. ANTARA FOTO/BPMI Setpres/Handout

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nadhlatul Ulama Helmy Faizal Zaini mengatakan Indonesia bukanlah negara agama atau negara sekuler. Hal ini disampaikan Helmy menyikapi polemik Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila atau RUU HIP.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"PBNU telah menegaskan bahwa Indonesia bukan negara agama tetapi juga bukan negara sekuler," kata Helmy dalam webinar, Jumat, 26 Juni 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Helmy mengatakan, dalam dokumen sejarah bertanggal 1 Juni 1945, Soekarno pernah pidatonya menyitir 'What is Nation' karya Ernest Renan. Helmy mengatakan kala itu Soekarno menyatakan lahirnya sebuah bangsa karena kehendak. Yakni kehendak untuk bersatu di tengah perbedaan etnisitas, agama, ras, golongan.

Setelah pidato 1 Juni, lahir Piagam Jakarta oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Namun ketika itu terjadi perdebatan dan ancaman dari Indonesia timur.

Jika Piagam Jakarta diterapkan, masyarakat Indonesia timur menyatakan memilih tidak ikut dengan negara Indonesia. Sebab, sila pertama Piagam Jakarta itu berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.

Atas peran KH Wahid Hasyim, kata Helmy, kemudian diambil jalan tengah dengan menjadikan sila pertama menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka dari itu, bagi PBNU Pancasila adalah titik temu dari berbagai macam perbedaan. "Proses lahirnya Pancasila luar biasa panjang sekali," kata Helmy.

Helmy juga menyinggung pernyataan Gus Dur bahwa dalam sejarah bangsa dan negara akan selalu muncul perdebatan tentang relasi agama dan negara. Gus Dur, kata dia, menyebut ada tiga paradigma yang selalu tarik-menarik.

Pertama adalah paradigma universalistik, di mana hubungan negara dan agama sama. Kemudian paradigma sekularistik, yang memang tak ada hubungan antara agama dan negara. Ketiga adalah paradigma simbiotik yang meletakkan hubungan negara dan agama secara berkesesuaian.

Pertanyaan terkait bentuk negara ideal pun muncul dalam Muktamar NU tahun 1936 di Banjarmasin. Merujuk dokumen historis, Helmy mengatakan ada yang mengusulkan bentuk negara agama atau darul Islam.

Ada pula yang mengusulkan negara darurat perang lantaran masih berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Namun ketika itu para alim ulama memutuskan konsep darussalam atau negara bangsa.

"Di mana kita dapat memadupadankan antara kebangsaan di satu sisi dan keberagamaan di sisi lain," ujar mantan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal ini.

Helmy mengimbuhkan, menjalankan peraturan perundangan sebagai warga negara pada hakikatnya sama dengan menjalankan syariah di dalam beragama. "Maka konsep NKRI bersyariah itu sudah tidak perlu lagi," ujar dia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus