Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tokoh Katolik Franz Magnis Suseno mengenang Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai seorang tokoh persatuan. Dia mengatakan, Gus Dur mampu merangkul semua orang, tak terbatas hanya umat muslim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dia merangkul semua orang, senang dengan semua orang. Gus Dur itu seorang muslim 100 persen. Justru karena itu, dia terbuka terhadap agama-agama lain," katanya dalam agenda Silaturahmi Kebangsaan Mengenang Gus Dur di kompleks MPR, Senayan, Jakarta Pusat, pada Jumat malam, 13 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Romo Magnis menyebut, Gus Dur memberikan rasa aman kepada umat-umat minoritas, sehingga mereka merasa dihargai. "Karena itu, juga ia menambah Konghucu pada agama-agama yang diakui."
Menurut dia, Gus Dur adalah sosok yang punya kepedulian tinggi kepada para korban di Tanah Air. Baik korban intoleransi agama, korban pembantaian sesudah G30 S PKI, hingga warga Papua yang sampai kini masih diperlakukan sebagai suku terjajah.
"Ia yang mengakui bendera bintang kejora dan membuat orang Papua merasa bahwa mereka warga Indonesia tercinta. Tak terlupa, Gus Dur mendukung Timor Leste yang merdeka," tuturnya.
Bagi Romo Magnis, Gus Dur adalah orang paling mengesankan sepanjang hidupnya. Dia merasa terhormat bisa menjadi sahabat Gus Dur sejak akhir tahun 1970-an.
"Gus Dur itu saya kira manusia yang paling mengesan pada saya. Saya ketemu banyak orang yang mengesan, tapi dalam 88 tahun, kalau orang bertanya, ada satu orang yang saya bilang Gus Dur," katanya.
Guru besar filsafat STF Driyarkara itu menceritakan kenangannya ketika mengadakan forum demokrasi bersama Gus Dur. Forum itu, kata dia, membuat Presiden ke-2 RI Soeharto curiga, karena dulu ada Liga Demokrasi yang dilarang oleh Presiden pertama RI Sukarno.
"Kadang-kadang kalau kami ketemu setiap dua minggu sekali, polisi datang membubarkan, tapi kami ajak menghabiskan bakmi dulu bersama, sebelum kami bubar. Saya ingat, waktu itu ketemu juga selalu hanya omong-omong saja," tuturnya.
Gus Dur, kata dia, adalah orang yang begitu mantap dengan dirinya sendiri. "Gus Dur itu adalah seorang nasionalis Indonesia sekaligus humanis, yang mencintai bangsanya sendiri, bangsa Indonesia, dan sekaligus hormat pada bangsa-bangsa lain," ujarnya.
Menurut Romo Magnis, Indonesia patut bangga punya sosok seperti Gus Dur. Dengan sentuhan yang ringan, kata Romo, Gus Dur memberikan dampak yang berarti.
"Ia bagi saya adalah contoh bagi kita semua, bagi bangsa Indonesia. Mungkin juga contoh mengapa bangsa Indonesia yang begitu majemuk itu sampai sekarang mantap bersatu," ujarnya.
Adapun Gus Dur wafat pada 30 Desember 2009 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Gus Dur berpulang dalam usia 69 tahun.