TAMU yang diterima Presiden Soeharto di tempat kediamannya, Jalan Cendana, Jakarta Pusat, Kamis malam pekan lalu itu cuma memakai sandal jepit. Pakaian serba putih yang dikenakannya juga tidak biasa: piyama, peci, surban, dan sarung. Toh Presiden menerimanya dengan ramah. Sang tamu adalah Kiai As'ad Syamsul Arifin, pimpinan Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur. Kiai As'ad, 86, dalam kepengurusan Nahdatul Ulama pusat tidak memegang jabatan apapun. Namun, tak disangsikan lagi, dialah yang dianggap ulama sesepuh yang paling berwibawa di NU saat ini. Keberhasilannya menjadi tuan rumah Munas Ulama NU Desember lalu makin mengukuhkan wibawanya. Kiai As'ad ke Cendana malam itu diantar Menteri Agama Munawir Sjadzali untuk melaporkan hasil Munas Ulama di Situbondo kepada Presiden. Kiai As'ad, dalam bahasa Indonesia, menyatakan "putusan Munas Situbondo akan dilanjutkan dan dilaksanakan dalam muktamar NU mendatang," kata K.H. Masjkur, menirukan ucapan Kiai As'ad kepada Presidn. Menurut Masjkur, As'ad juga menyampaikan kepada Kepala Negara," Panitia muktamar akan ditangani dua pihak". Maksudnya, kelompok Ali Ma'shum dan Idham Chalid. Menurut Masjkur, adanya pertemuan Kiai As'ad dengan Presiden Soeharto memberi gambaran yang jelas akan segera terselesaikannya kemelut di tubuh NU. "Keutuhan NU akan segera terwujud," kata bekas wakil ketua DPR ini. Benarkah? Kabar tentang akan segera rujuknya NU memang makin santer terdengar beberapa pekan terakhir ini. Rais Aam Ali Ma'shum dua pekan lalu juga mengisyaratkan bakal segera bersatunya kembali NU. "NU sekarang sedang dalam proses persatuan," katanya. Sejauh mana proses penyatuan NU telah berlangsung? Seusai bertemu dengan Presiden, Kiai As'ad sendiri mengadakan pertemuan di rumah Imron Rosyadi. Selain tuan rumah, hadir juga antara lain Kiai Masjkur Achmad Siddiq, Abdurrahman Wahid, Mahbub Djunaidi, Anwar Nurris, Syahrawi Musa, Zamroni, Saiful Mudjab, dan Said Budairi. Kabarnya, pembicaraan berkisar pada pelaksanaan hasil Munas Situbondo. Tatkala ditemui TEMPO sewaktu mampir ke Surabaya dua pekan lalu, Kiai As'ad menunjuk orang kepercayaannya, Syahrawi Musa, agar mewakilinya menjawab. Menurut Syahrawi, kemungkinan rekonsiliasi NU memang semakin dekat. "Tapi bentuknya bukan semacam islah, perdamaian kedua belah pihak," katanya. Menurut dia, Kiai As'ad tak melihat adanya perpecahan di tubuh NU. "Selama ini Kiai (As'ad) tetap menganggap NU tetap satu, yaitu yang dipimpin ulama. Maka, tak dianggap perlu adanya penengah untuk rekonsiliasi itu". Caranya? Syahrawi menolak mengungkapkan. Mungkin itu sebabnya tawaran Menteri Agama Munawir untuk membantu mengatasi masalah dalam NU belum ditanggapi. "Kami sudah menawarkan diri untuk ikut urun rembug (ikut berbicara) menyelesaikannya. Tapi sampai sekarang belum ada tanggapan," ujar Munawir, Senin lalu. Dasar tawarannya kata Munawir, karena NU dianggap ormas Islam yang terbesar potensinya. "Sebab itu, pemerintah menginginkan NU kembali bersatu. Kalau tetap pecah akan timbul kerawanan ketahanan nasional, dan berkurang partisipasi umat Islam dalam pembangunan," tuturnya. Lalu dengan cara apa persatuan kembali NU bisa tercapai? Muktamar? Saat ini ada dua panitia muktamar: kelompok Idham Chalid, yang diketuai Chalid Mawardi dengan ancar-ancar Muktamar pada April mendatang, sedang kelompok ulama telah membentuk suatu Tim Persiapan Muktamar di bawah koordinasi Kiai Masjkur dan Imron Rosyadi yang merencanakan Muktamar pada Juli 1984. Masalahnya, pemerintah tampaknya tak akan memberikan izin muktamar pada salah satu kelompok itu. "Muktamar NU baru bisa dilaksanakan kalau kedua pihak rujuk dulu," kata Menteri Munawir. Kelompok Idham sendiri menajukan beberapa syarat untuk bisa bersatu kembali. Antara lain: putusan Mutamar Semarang 1979 harus dijunjung tinggi dan anggaran dasar/anggaran rumah tangga harus ditegakkan dengan segala konsekuensinya. "Syarat tadi tak bisa ditawar-tawar. Kalau tak mau, ya, tidak usah rujuk saja," kata Chalid Mawardi, juru bicara kelompok Idham. Yang dimaksud Chalid tampaknya ketetapan Muktamar Semarang 1979, tentang kedudukan Idham Chalid sebagai ketua umum PB Tanfidziah NU, harus dipatuhi. Sedangkan pengunduran dirinya pada 1982 tidak dibenarkan karena tidak sesuai dengan prosedur dalam AD/ART. Atau, dengan istilah wakil ketua PB NU Imam Sofwan "untuk mempertemukan pendapat, harus dikembalikan suasana seperti sebelum perbedaan pendapat terjadi." Jika syarat itu dianggap mutlak, tampaknya pihak ulama tidak mungkin menerima. Sebab, mereka bersikukuh bahwa pengunduran diri Idham Chalid sah. Jadi, bagaimana cara mempertemukan kedua kubu tadi? Sebuah sumber TEMPO' menyebutkan bahwa telah ditemukan suatu kemungkinan rencana pemecahan. Yakni kesepakatan kedua pihak memberi kesempatan kepada Idham Chalid dengan resmi mengundurkan diri secara terhormat dalam muktamar. Untuk itu, pengunduran diri serta pembatalannya pada 1982 tak lagi akan disebut-sebut. Tentang kepanitiaan muktamar, antara kedua pihak kabarnya kini sedang dilakukan pendekatan, khususnya di antara generasi mudanya. Konon, ini berkaitan dengan rencana regenerasi dalam kepengurusan NU mendatang. Adapun hasilnya, baiklah kita tunggu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini