ROTAN-ROTAN gelondongan yang tertumpuk di antara kayu gembor dan kulit rotan itu tertata rapi dan cukup tersembunyi. Muatan yang memenuhi KM Indo Baruna II ini siap dikirim ke Hong Kong dari pelabuhan Balikpapan. Tapi sekali ini petugas Bea Cukai tak hanya melihat dari kertas dokumen. Secara fisik, muatan itu ditimbang ulang. Kecurigaan petugas ternyata ada hasilnya. Usaha penyelundupan sekitar 1.550 ton rotan mentah senilai sekitar Rp 2 milyar -- yang sejak Oktober 1986 dilarang diekspor itu akhirnya terbongkar. Kejelian petugas itulah yang agaknya bakal meruntuhkan "kekuasaan" Salim Lais dan Syukur Lais, pemilik rotan itu. Kedua pengusaha bersaudara ini sejak Minggu pekan lalu ditahan oleh Kejaksaan Tinggi Kal-Tim. Departemen Perdagangan juga mencabut izin ekspor rotan keempat perusahaan mereka di Sampit, Kal-Teng, dan Balikpapan, Kal-Tim. Pemeriksaan terhadap muatan KM Indo Baruna II, selama sebulan dari 18 Mei hingga 19 Juni lalu menunjukkan selisih timbangan antara rotan mentah dan kulit yang disebut sebagai barang antarpulau dari Sampit, Kumai, ke Balikpapan. Petugas juga menemukan modus operadi usaha penyelundupan rotan ke luar negeri itu. Caranya dengan memperalat dokumen. Rotan mentah yang akan diselundupkan itu, misalnya, biasanya diangkut dari Sampit dengan lindungan dokumen antarpulau menuju Balikpapan. Ketika sampai di Balikpapan, barang itu tak diturunkan. Lewat dokumen yang disiapkan dari darat, rotan mentah itu dengan bebas nyelonong ke luar negeri. "Pengusaha itu memanfaatkan sempitnya waktu dan kelemahan petugas Bea Cukai yang tak memeriksa secara fisik muatan itu," kata sumber TEMPO di Kal-Tim. Penyelundupan rotan mentah dari Kal-Teng dan Kal-Tim selama ini, menurut sumber TEMPO, sebenarnya didalangi oleh dua grup pengusaha besar. Grup pertama perusahaan yang dimiliki keluarga Salim dan Syukur. Grup kedua adalah perusahaan Kingkong Lais. Kedua grup ini bermuara pada satu kakek yang datang dari Cina dan tinggal di Sampit sejak 1939. Keduanya berkembang dengan pesat, hingga menjadi perusahaan besar, lalu tumbuh menjadi "orang kuat" di Kal-Teng dan Kal-Tim. Mereka ternyata tak akur. Malah masing-masing memasang intel untuk saling menjegal. Berkat laporan mereka pihak keamanan bisa mengetahui jalur penyelundupan kedua perusahaan besar ini. Grup Salim, misalnya, mempunyai jalur dari Sampit ke Pangkalan Bun, Balikpapan, terus ke Hong Kong. Sementara itu, Kingkong, melalui Tanjungbalai Karimun, Singapura, dan Hong Kong. Gara-gara keduanya tak akur inilah akhirnya petugas mampu membongkar kasus penyelundupan yang pernah mereka lakukan. Misalnya, terbongkarnya penyelundupan yang dilakukan Salim September dan November lalu di Balikpapan. Kelompok Kingkong pun juga pernah terjaring. Konon, Salim Juli lalu pernah memberi keterangan pada aparat Bea Cukai dan patroli laut di Kepulauan Riau bahwa kapal yang digunakan pengusaha Kingkong, PT Sri Ratanesia Pratama, membawa rotan selundupan ke Singapura melalui Riau. Ketika kapal itu dihentikan patroli Bea Cukai, anak buah kapal melepaskan tembakan. Terpaksa petugas membalasnya. Setelah kapal tersebut dihentikan, ditemukan 262 ton rotan senilai Rp 312 juta. "Bulan lalu Kingkong diperiksa di Kejaksaan Agung, tapi sampai saat ini belum ditahan," kata sumber itu. Menurut sumber tadi, tahun lalu, Kingkong pernah pula ketahuan menyelundup seperti itu. Tapi perkaranya tidak diteruskan ke pengadilan oleh kejaksaan. "Dia hanya kena denda damai sebanyak Rp 108 juta," kata sumber tadi. Konon, grup-grup ini mempunyai backing kuat dari pejabat di Jakarta, sehingga dengan mudah lolos dari penahanan. Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen, Nugroho, membantah. Selama ini pihaknya tak menemui kesulitan dalam mengusut kasus penyelundupan tersebut. "Jika pengurusannya lama, bukan karena ada orang di belakang penyelundup itu, tapi kasus ini perlu penanganan secara tuntas dan lengkap," kata Nugroho.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini