Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Rendahnya penyerapan mahasiswa penyandang disabilitas di bidang ilmu pengetahuan alam, khususnya kedokteran, tidak hanya disebabkan hambatan fisik. Peneliti dari Bandung Independent Living Center (BILIC), Yuyun Yuningsih mengatakan, rendahnya serapan mahasiswa difabel di bidang kedokteran karena hambatan non-fisik berupa aturan yang melarang penyandang disabilitas mengambil pendidikan di bidang IPA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Ini karena stigma yang meng-underestimate penyandang disabilitas. Mereka dianggap tidak mampu belajar di sekolah kedokteran, mereka dianggap hanya pantas untuk menempuh pendidikan di sekolah luar biasa saja," kata Yuyun Yuningsih dalam webinar berjudul "Membangun Aksesibilitas Bagi Penyandang Disabilitas dalam Pembahasan Rancangan Undang-undang Pendidikan kedokteran" yang diselenggarakan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Kamis 30 September 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain dinilai hanya mampu mengenyam pendidikan di sekolah luar biasa, penyandang disabilitas juga selalu dianggap hanya pantas sebagai pasien. "Karena penyandang disabilitas dinilai sebagai pihak yang menerima tindakan rehabilitasi medik," kata Yuyun.
Faktor selanjutnya yang membuat penyandang disabilitas terhambat menempuh pendidikan kedokteran adalah aturan bahwa calon mahasiswa kedokteran harus sehat jasmani dan rohani atau "sempurna". Dokter dianggap sebagai profesi yang sakral karena berkaitan dengan keselamatan nyawa orang lain, sehingga butuh fisik yang sempurna.
Pandangan di lapangan yang banyak menganggap bahwa SMA luar biasa tidak berkualitas dan memiliki siswa yang berkompeten juga menjadi salah satu penyebab. "Sekolah luar biasa dianggap sebagai tempat penitipan saja untuk penyandang disabilitas," kata Yuyun.
Stigma yang terjadi di masyarakat seharusnya mulai dihapus. Pandangan terhadap individu dengan disabilitas, menurut Yuyun, harus diubah. Musababnya, pada kenyataannya ada individu dengan disabilitas yang menjadi dokter. Pertama, Dokter Gigi Juniati Effendi yang menyandang disabilitas pendengaran. Kedua, dokter gigi Romi Syofpa Ismail yang menyandang disabilitas fisik kursi roda.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai keadilan Sejahtera yang mengurus beleid pendidikan kedokteran ini, Ledia Hanifa Amaliah menyatakan, saat ini draf RUU Pendidikan Kedokteran sudah disepakati dan hampir jadi. Untuk menampung aspirasi penyandang disabilitas mengenai ketersediaan aksesibilitas dalam pendidikan kedokteran, Ledya menyarankan difabel langsung mengusulkan aspirasi tersebut ke dalam pasal di draf terakhir RUU Pendidikan kedokteran.
"Masukkan ke dalam pasal di draft terakhir melalui pemerintah dan sambil diusulkan ke fraksi-fraksi," kata Ledia. Cara ini supaya aspirasi tersebut bisa masuk ke pemerintah dan diusulkan kepada Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi serta Kementerian Kesehatan.
Baca juga:
51 Calon Anggota Komisi Nasional Disabilitas yang Lolos Seleksi Kualitas