SIDANG pengadilan peristiwa Tanjung - Priok memasuki babak lanjutan. Senin, pekan ini, Kejaksaan menyerahkan berkas perkara Letjen (pur) H.R. Dharsono, 60, ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dharsono, bekas panglima Kodam Siliwangi dan pernah menjadi sekjen ASEAN, oleh jaksa dituduh melakukan kegiatan subversi karena terlibat dalam rapat di rumah Ali Sadikin, l5 September 1984, dan di sebuah musala di samping rumah A.M. Fatwa, tiga hari sebelumnya. Perkara Dharsono, menurut rencana akan disidangkan 19 Agustus yang akan datang. Pada hari yang sama, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga menyidangkan perkara A.M. Fatwa, tertuduh yang lain, yang perkaranya sudah selesai diberkaskan kejaksaan Juni yang lalu. Mengenakan safari cokelat muda, Andi Mappetahang Fatwa, 46, tampak tenang mendengarkan Jaksa Susilo Oeripto membacakan surat tuduhan. Di antara pengunjung sidang yang tak lebih 100 orang, terlihat bekas gubernur DKI, Ali Sadikin. Fatwa, bekas kepala Subdit Pembinaan Masyarakat Pemda DKI, menurut Jaksa telah melakukan serangkaian perbuatan. Di antaranya dengan: H.R. Dharsono, Soeyitno Soekirno, Ali Sadikin, Hoegeng Iman Santoso, Syafruddin Prawiranegara, Ir. Slamet Bratanata, H.M. Sanusi, Dr. Anwar Haryono, dan Erlangga, yang masing-masing akan diajukan sebagai terdakwa dalam perkara terpisah. Perbuatan itu, kata Jaksa lagi berupa memutar balikkan, merongrong, dan menyelewengkan ideologi Pancasila atau haluan negara, merusakkan dan merongrong kewibawaan pemerintah yang sah, atau menyebarkan rasa perpecahan dan permusuhan di kalangan masyarakat. Tindakan seperti ini dianggap melanggar undang-undang no 11/ PNPS/1963, yaitu perkara subversi. Banyak ceramah Fatwa di berbagai tempat di Jakarta yang dicantumkan Jaksa di dalam surat tuduhan. Misalnya, di dalam suatu kesempatan di halaman sebuah masjid di Kemayoran, Jakarta Pusat, Juni 1984, Fatwa menuduh sistem kekuasaan Orde Baru adalah sistem kekuasaan Jawa. Di kesempatan lain, Mei tahun yang sama, ketika berceramah di sebuah masjid di Jakarta Barat, Fatwa - yang memang seorang mubalig - menuduh DPR yang ada hanya untuk menyalurkan keinginan orang yang berkuasa. Dia juga menuding banyak pejabat yang korupsi. "... banyak pejabat sekarang yang hamil dan melahirkan banyak mobil mewah, hamil dan melahirkan banyak rumah, ...." kata Fatwa di dalam pidatonya, seperti dikutip Jaksa di dalam surat tuduhan. Tiga hari setelah peristiwa huru-hara di Tanjung Priok, 15 September 1984, Fatwa menghadiri suatu pertemuan di rumah Ali Sadikin, di Jalan Borobudur, Jakarta Pusat. Di situ hadir H.R. Dharsono, Soeyitno Soekirno (pernah dubes di Australia), Ali Sadikin, Hoegeng Iman Santoso (bekas kapolri), Syafruddin Prawiranegara (bekas tokoh Masyumi), Ir. Slamet Bratanata (bekas menteripertambangan), Ir H.M. Sanusi (bekas menteri perindustrian tekstil dan kerajinan rakyat, belakangan dihukum 19 tahun karena dituduh membiayai peledakan BCA), dan Dr. Anwar Haryono. Pertemuan itu membahas peristiwa Tanjung Priok, dan menghasilkan sebuah pernyataan yang disebut, "Lembaran Putih Peristiwa September '84 di Tanjung Priok", yang mereka sebarkan kepada masyarakat, Pemerintah, dan DPR/MPR. Materi lembaran putih itu adalah tanggapan atas penjelasan Pangab Jenderal Benny Moerdani tentang peristiwa Tanjung Priok, yang di dalamnya terdapat kalimat-kahmat yang dianggap memojokkan Pemerintah, dan menyebarkan rasa permusuhan. Tiga hari setelah itu, terdakwa mengadakan pula pertemuan di musala di samping rumahnya, Jalan Kramat Pulo Gundul, Jakarta Pusat. Yang hadir dari peserta rapat pertama cuma H.R. Dharsono dan A.M. Fatwa sendiri selaku tuan rumah, sedangkan peserta lainnya adalah Rachmat Basuki (belakangan diketahui sebagai tokoh peledakan BCA dan sudah dihukum 17 tahun), Erlangga, Sarman Sugianto, Sofwan A.M, H. Harianja, dan N.P. Siregar. Setelah terdakwa membuka acara, pimpinan pertemuan diserahkannya kepada Erlangga (selaku moderator). Ternyata, pertemuan itu membicarakan berbagai kegiatan untuk menunjukkan tanggapan mereka terhadap Pemerintah sehubungan dengan peristiwa Tanjung Priok. Misalnya, melakukan teror mental melalui telepon umum kepada pejabat-pejabat instansi Pemerintah, Kodam, Kodim, Koramil, dan lain-lainnya, melakukan teror fisik, berupa pembakaran-pembakaran, peledakan tempat yang dianggap strategis, antara Pasar Senen, dan lapangan parkir Glodok, mengadakan aksi turun kejalan dan menyerahkan petisi ke DPR. Kepada TEMPO, setelah sidang selesai, Fatwa tak membantah pertemuan-pertemuan itu, tapi katanya, "Intinya, imbauan kepada Pemerintah agar mencari fakta tentang jumlah korban dalam peristiwa Tanjung - Priok." Sebelumnya, Rabu pekan lalu, pengadilan yang sama menyidangkan perkara Abdul Qadir Djaelani, 47, dosen PTDI Tanjung Priok. Seperti Fatwa, Qadir Djaelani dikenai tuduhan subversi, juga antara lain karena berbagai ceramahnya yang amat keras. Begitu kerasnya, sampai Rhoma Irama, penyanyi dangdut, sempat mengaku merinding bulu romanya, ketika suatu kali mengikuti ceramah Abdul Qadir Djaelani. Selain berbagai ceramah keras, Abdul Qadir dituduh menyuruh orang mencari bom, dan untuk itu ia memberikan biaya sekitar Rp 1,5 juta kepada Tasrif Tuasikal. Bom itu akhirnya diperoleh dan digunakan untuk meledakkan dua kantor BCA, dan jembatan Metro Glodok, Jakarta. Tasrif, 50, tokoh peledakan itu, Kamis pekan lalu, divonis dengan hukuman seumur hidup. Amran Nasution Laporan Agus Basri (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini