Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemecatan dua orang menteri, misalnya, begitu antusias ditanggapi oleh wakil rakyat dengan mengajukan hak interpelasi. Dugaan korupsi yang mengarah pada lingkar dalam Istana Presiden dalam kasus pembobolan dana Bulog dan sumbangan Hassanal Bolkiah juga tidak luput dari incaran mereka. Hak angket pun segera disiapkan. Setiap ucapan presiden, yang memang sering berbau kontroversial, menjadi bahan diskusi para wakil rakyat.
Kesibukan berpolitik jangka pendek itu membuat tugas utama DPR membuat undang-undang jadi kedodoran. Masih banyak rancangan undang-undang (RUU), yang memang menjadi tugas utama wakil rakyat itu untuk menggodoknya, belum kelar dibahas. Beberapa RUU sisa DPR semasa B.J. Habibie menjadi presiden belum juga tuntas dibahas (lihat tabel). RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hingga kini tidak jelas nasibnya. Padahal, undang-undang itu sangat dibutuhkan saat ini untuk menggantikan undang-undang lama yang sudah tidak bisa mengakomodasi berbagai persoalan pidana.
Tidak hanya itu. Draf RUU Nanggroe Aceh Darussalam, yang pernah diusulkan oleh Pemerintah Daerah Aceh, hingga kini juga tidak jelas kelanjutannya. RUU itu adalah aspirasi rakyat Aceh agar di daerah itu diberlakukan aturan hukum khusus untuk mengatur kehidupan mereka. Selain itu, draf peraturan perundangan itu juga dimaksudkan untuk meredam keinginan rakyat negeri Serambi Mekah itu untuk merdeka. Jelas, dilihat dari prioritas, undang-undang ini mendesak untuk dibahas.
Sistem peradilan, yang saat ini keadaannya sudah sangat mengkhawatirkan, juga tidak menjadi prioritas bahasan anggota dewan. Meski sejumlah calon hakim agung sedang diseleksi oleh DPR, menurut pengamat politik Arbi Sanit, upaya dewan mengubah citra peradilan belum sepenuhnya dilakukan. ''Bagi saya, ukuran DPR berprestasi adalah apabila menghasilkan undang-undang untuk mengubah birokrasi dan memperbaiki peradilan termasuk Mahkamah Agung," ia menegaskan.
Dan orang layak khawatir. ''Sekarang kontrol terhadap pemerintah menguat, tapi fungsi legislasinya terkapar karena sibuk berkonspirasi," kata Arbi Sanit. Tidak hanya itu. Saling balas dan kecam sesama anggota menjadi hal lumrah terdengar hampir tiap hari. Anggota DPR cenderung menjadi benteng aktivitas elite politik jagoan mereka ketimbang mengikuti aspirasi rakyat. Lembaga swadaya masyarakat yang peduli terhadap kinerja para anggota dewan, Parliament Watch, juga melihat hal yang sama. ''Saat ini memang terlihat yang muncul lebih untuk kepentingan partai daripada kepentingan nasional," kata ketuanya, Kemal Roemawi.
Lebih bernafsunya anggota DPR bersikap kritis terhadap presiden ketimbang mengurusi masalah undang-undang, menurut Arbi, lebih karena faktor gengsi kekuasaan DPR terhadap eksekutif. ''Mereka mau membalik tradisi Orde Baru, tetapi terjebak oleh nafsu berkuasa," tuturnya. Karena itu, fungsi kontrol yang dikedepankan sehingga fungsi legislasinya terbengkalai.
Aktivitas politik jangka pendek itu jelas menguras waktu dan tenaga para wakil rakyat. ''Semua pembahasan RUU molor dari yang dijadwalkan, kecuali masalah keuangan, APBN, dan perpajakan," kata anggota Komisi V asal Fraksi Reformasi, Alvin Lie. Selama sepuluh bulan bekerja, dari 36 RUU yang masuk ke DPR, baru 17 yang selesai dibahas. Di antara jumlah itu, 16 disahkan dan 1 ditolak. Sebagain besar RUU yang disetujui adalah tentang pembentukan kabupaten dan provinsi baru.
Ketua DPR Akbar Tandjung membantah anggapan bahwa DPR saat ini mengesampingkan tugas utamanya. Menurut Akbar, jumlah RUU yang telah dibahas sudah cukup banyak. Sedangkan interpelasi yang dipakai anggota dewan adalah bagian dari tugas mereka mengontrol presiden. ''Pendukung fanatik Gus Dur saja yang reaksinya sudah tidak proporsional dan mencari-cari kesalahan," ujarnya.
Meski mengaku pembahasan RUU agak tersendat, Alvin Lie mengatakan itu bukan disebabkan oleh aktivitas politik anggota dewan, melainkan oleh persoalan teknis belaka. ''Itu masalah bahasa hukum saja. Karena semua RUU itu harus nyantol ke Komisi II dahulu, beban mereka jadi cukup berat," ujarnya.
Selain itu, minimnya dukungan tenaga ahli dalam soal perundangan juga menjadi kendala DPR memproses undang-undang secara cepat. ''Memang ada Pusat Pengkajian dan Penyajian Informasi. Tapi karena mereka melayani semua komisi, jumlahnya tidak memadai," kata Alvin Lie. Idealnya, menurut Akbar Tandjung, harusnya staf ahli berjumlah ratusan, bukan puluhan seperti saat ini.
Mengontrol presiden memang sudah menjadi tugas DPR. Tetapi, jika tugas itu dipakai sebagai dalih menelantarkan tugas lain yang substansial, jelas jauh dari harapan rakyat yang memilih mereka. Seperti presiden, yang kini menjadi sorotan, anggota DPR tak bisa bersembunyi dari penilaian publik pemilihnya.
Johan Budi S.P., Adi Prasetya, Ardi Bramantyo
Nasib Rancangan Undang-Undang DPR
Sisa masa B.J. Habibie | |||
USULAN PEMERINTAH HAM dan Komnas HAM Minyak dan Gas Bumi | Telekomunikasi RUU Pengganti KUHP | Keselamatan dan Keamanan Negara/ Penang-gulangan Keada-an Bahaya (PKB) Ketentuan Pokok Peraturan Perundang-undangan | Perfilman Penyiaran Pemekaran Wilayah (11 buah) |
Era Presiden Abdurrahman Wahid | |||
USULAN PEMERINTAHPenetapan Perpu tentang Pengadilan HAM menjadi UU Status: Ditolak DPR Keterangan: Semua fraksi meminta pemerintah segera mengajukan RUU mengenai Pengadilan HAM. Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) (6 buah) Serikat Pekerja Konvensi ILO tentang Pelarangan dan Penghapusan "Kerja Paksa" Anak-Anak | APBN Tahun 2000 Pembuatan dan Pengesahan Perjanjian Internasional Perubahan atas UU No. 3/1999 tentang Pemilu Pengadilan HAM Perubahan UU Perpajakan (5 buah) | Perlindungan Varietas Tanaman Status: Dalam Proses Keterangan: Pem-bicaraan tingkat I. Pembinaan dan Perlindungan Ketenagakerjaan Penyelesaian Perselisihan Industrial Tentang Yayasan INISIATIF DPR Pemekaran Wilayah (3 buah) | RUU Kepresidenan Status: Belum diproses Keterangan: Pemerintah dan DPR sepakat untuk menggarap RUU Kepresidenan setelah MPR selesai melakukan amen-demen UUD 1945. USULAN PEMDA DI ACEH RUU Nanggroe Aceh Darussalam USULAN BPPN RUU Penyehatan Perbankan Nasional (PPN) |
Diolah dari berbagai sumber
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo