Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat, Zainuddin, meminta pemerintah mengevaluasi penanganan wabah difteri. Sebab, selain jumlah penderita yang bertambah, wilayah dengan status kejadian luar biasa (KLB) difteri meluas menjadi 28 provinsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami semua prihatin, wabah ini belum juga berkurang. Karenanya, penanganan difteri harus terus dievaluasi agar semakin baik dan efektif," ucap politikus Partai Keadilan Sejahtera ini dalam keterangan tertulisnya, Selasa, 26 Desember 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zainuddin mengatakan upaya pemberantasan wabah difteri selama ini belum efektif karena terkesan hanya dilakukan Kementerian Kesehatan. Padahal semua pemangku kepentingan seharusnya terlibat aktif.
"Lembaga negara, baik kementerian maupun non-kementerian, institusi swasta, dan tokoh-tokoh masyarakat secara terintegrasi harus ikut serta dalam pemberantasan difteri," ujarnya.
Zainuddin mencontohkan, pemberian vaksin antidifteri domain dari Kementerian Kesehatan, sementara upaya sosialisasi, mobilisasi masyarakat, dan pencegahan bisa dilakukan pihak lain.
Ia pun menyayangkan sikap presiden yang menurut dia kurang berfokus pada kasus ini. Padahal, tutur Zainuddin, Indonesia adalah negara terbanyak kedua penderita difteri di dunia setelah India. Selain itu, kasus tersebut merupakan yang terbesar dalam sejarah negara ini sejak 1945.
Selain itu, menurut Zainuddin, pemerintah harus mengevaluasi maraknya sikap anti-imunisasi di masyarakat. Jika sikap ini terus meluas, bukan tidak mungkin semua provinsi di Indonesia akhirnya berstatus KLB difteri dan bisa muncul wabah lain.
Salah satu pemicu anti-imunisasi di masyarakat, menurut dia, munculnya persepsi ketidakhalalan vaksin. Karena itu, Zainuddin meminta sertifikasi halal setiap vaksin harus diperhatikan. "Pemerintah harus mengakomodasi suara masyarakat agar sikap anti-imunisasi tidak terus meluas. Bukankah pemerintah menilai wabah terjadi karena maraknya antivaksin?" katanya.