DESA Semangat Bakti -- di kecamatan Alalak Berangas Kabupaten
Batola -- kini kehilangan makna namanya sendiri. Kenapa? "Sudah
lebih tiga tahun terakhu ini, desa ini tak menghasilkan apa-apa.
Padi yang ditanam selalu mati", kata Anjam Noor S, Kepala Desa
tersebut tanpa semangat. Padahal tahun-tahun sebelumnya, desa
tersebut merupakan penghasil padi terbesar di kawasan Kabupaten
Batola. Anjam Noor menuding bab pengairan yang jadi biang
musabab. "Andai saja handil Semangat Dalam dan Kuriding dikeruk,
tentulah tak ada lagi problim petani di sini", begitu kata
mereka.
Mereka menuturkan masa-masa tahun 70-an ke bawah. Waktu itu,
kata mereka, rata-rata per 1 borongan ( 1 ha 35 borongan)
menghasilkan 8 sampai 10 blek. Karena waktu itu keadaan sungai
Kuriding dan Semangat Dalam masih bagus, artinya tak dangkal
seperti sekarang ini. "Sekarang 3 blek saja susah diharap", ujar
Anjam. Itu terjadi karena air dari sungai yang dangkal itu
melimpah, lalu merendam padi yang masih sangat muda. Tentu saja
padi yang masih alit itu mati. "Banyu takandung, tak ada
pembuangan", keluh orang desa dalam bahasa daerahnya. Maksudnya
kira-kira: mubazirlah. Karena handil buatan tahun 1952 itu, yang
seharusnya bekerja mengatur air, sudah dalam keadaan sekarat
karena kurang taat. Hingga bila pemda tak segera melakukan
pengerukan pada handil tersebut menurut Anjam, "pelan-pelan desa
akan ditinggalkan penduduknya yang berjumlah 2 ribu orang itu".
Masih untung, tak ada penduduk yang terserang kelaparan, meski
panen gagal setiap tahun. "Kelaparan memang tak ada, tapi yang
setengah lapar ada". ujar Anjam Noor. Namun kurang jelas apa
maksud sang Kepala Desa. Yang terang penduduk yang 100 buruh
tani itu, selain menggarap sawah juga mengurus pohon rambutan
yang tahun kemarin menghasilkan (perkiraan Kepala Desa) Rp 30
juta. Tentu saja tak masuk kocek mereka. Sebab, seperti juga
halnya sawah ladang yang ribuan ha itu pemilik kebun rambutan
itupun adalah orang di kota. Banjarmasin. Penduduk Semangat
Bakti cuma buruh penggarap, yang cuma bisa menikmati upah yang
diterima dari tuan-tuan tanah di Banjarmasin itu.
Tak sampai di situ nasib warga Semangat Bakti. Masa depan
keturunan mereka pun tampak suram. Sebab SD Negeri satu-satunya
di sana, terdiri 3 lOkal dengan 4 kelas itu, nyaris ambruk.
Atapnya hancur. Bangku dan meja tampak mesum. Dan lantainya
berupa lumpur. "Bila hujan turun, anak-anak yang jumlahnya 84
orang terpaksa libur", tutur Sumargo, sang guru di sana. Di luar
mereka masih ratusan yang tak tertampung. Dan Sumargo yang
bersama seorang rekannya sudah menongkro ngi SD itu 8 tahun
lamanya setiap bulan menyisihkan Rp 2000 dari gaji buat
memperpanjang nafas "sekolah' kesayangannya. Buat membeli kapur
dan alat tulis menulis misalnya.
Dan jangan tanya bagaimana yang sudah tamat kelas IV. Tingkat
kelas mereka berakhir sampai di situ. Sebab meski di tahun 60-an
dari desa itu ke Banjarmasin bisa naik sepeda atau mobil (makan
waktu 1 jam), sekarang untuk jalan kaki pun tak ada. Sebab jalan
ke sana tak bisa lagi dipakai. Hingga bukan saja nasib anak-anak
tak bisa meneruskan sekolah, tapi desa jadi mundur dan
terpencil. Hubungan ke sana cuma bisa dengan klotok melalui
sungai Andai, lalu ke Alalak, belok kanan, masuk handil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini