Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melakukan transformasi penilaian kinerja guru dan kepala sekolah. Rencananya, transformasi tersebut akan dimulai per Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Yayasan Guru Belajar sekaligus Tim Tenaga Ahli Penyusun Pengelolaan Kinerja di Platform Merdeka Mengajar Bukik Setiawan mengungkapkan sederet poin yang berubah. Menurut dia, perubahan mekanisme penilaian kinerja ini akan menjawab keresahan guru dalam hal beban kerja yang sebenarnya tidak perlu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Alhamdulillah sekali, Desember lalu pengelolaan kinerja ini sudah diluncurkan. Percakapannya sangat panjang sekali, saya terlibat sejak tahun 2021. Saya mengerti komitmen Mas Menteri (Nadiem Makarim) yang selalu menekankan agar beban kerja guru berkurang,” kata Bukik dalam webinar Penilaian Kinerja Guru yang Berdampak, yang dikutip Tempo pada Rabu, 17 Januari 2024.
Menurut Bukik, tingginya beban kerja administratif profesi guru sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Hal ini karena hampir semua negara juga mengalami beban kerja serupa. Maka dari itu, transformasi kali ini bukan hanya terobosan skala nasional tapi juga global.
Tiga paradigma penilaian kinerja guru
Bukik menjelaskan ada tiga paradigma yang pernah dan baru akan digunakan dalam penilaian kinerja guru. Pertama, paradigma pengendalian. Paradigma ini memiliki ciri seperti membangun perilaku patuh, banyak prosedur dan administrasi, serta tujuannya adalah mengurangi penyimpangan.
"Semangatnya adalah kekeliruan itu aib, harus ditutup-tutupi. Semangat ini juga dialami oleh guru dan satuan pendidikan yang masih menggunakan paradigma kedua, yakni paradigma pencapaian,” ucap Bukik.
Kedua, penilaian kinerja guru berdasarkan paradigma pencapaian yang berorientasi pada hasil. Adapun cirinya adalah banyak indikator dan monitoring untuk memastikan pencapaian. Paradigma ketiga yakni penilaian kinerja guru dan kepala sekolah yang baru saja diluncurkan, tepatnya paradigma pembelajaran.
Paradigma pembelajaran memiliki lima ciri, yakni memastikan pertumbuhan, banyak kesempatan dan dukungan belajar, umpan balik menstimulasi pertumbuhan, membangun perubahan praktik, hingga kekeliruan dibuka sebagai kesempatan belajar. Dalam implementasi paradigma ini, kata Bukik, guru tidak dituntut untuk jadi serba sempurna dan harus selalu benar.
"Yang dinilai adalah kemampuan refleksi dan belajarnya. Ketika dilakukan observasi kinerja belum efektif, masih kesulitan, boleh. Justru itu sumber belajarnya, itu yang ditingkatkan,” kata Bukik.
Tiga ciri transformasi pengelolaan
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi ciri pengelolaan kinerja guru dan kepala sekolah saat ini. Ketiganya tercantum di dalam Platform Merdeka Mengajar, antara lain merdeka dari beban administrasi, merdeka memilih indikator yang relevan, serta merdeka unjuk kinerja yang berdampak.
Meski begitu, Bukik mengingatkan bahwa prinsip merdeka dalam hal ini bukan berarti bebas begitu saja. Artinya, tetap ada koridor yang harus diikuti, namun guru diberi ruang kemerdekaan untuk memilih.
“Misalnya merdeka dari beban administratif, bukan sama sekali tidak ada ada, tapi diusahakan tidak menambah pekerjaan yang administratif. Gunakan dokumen yang memang sehari-hari digunakan oleh guru, tinggal diunggah (ke Platform Merdeka Mengajar), karena ini juga sebagai pertanggungjawaban profesi,” kata Bukik.