Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Hutan tanpa Kicauan Burung

Pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Daftar Jenis Flora-Fauna Dilindungi.

28 September 2018 | 07.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kawasan Hutan Lindung Tawangmangu Karanganyar Jawa Tengah (Jateng) akan disulap menjadi Taman Sakura di Lawu (Sakral).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fachruddin M. Mangunjaya
Dosen Fakultas Biologi Universitas Nasional

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah baru saja mengeluarkan Peraturan Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Daftar Jenis Flora-Fauna Dilindungi. Peraturan ini merupakan revisi dari daftar tahun 1999. Dalam daftar terbaru tersebut, jumlah fauna dan flora yang dilindungi berlipat tiga kali, dari 294 menjadi 921.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penambahan itu dapat ditafsirkan dalam dua hal. Pertama, peningkatan jumlah fauna dan flora yang dilindungi menunjukkan makin langkanya hidupan liar tersebut di alam. Ini juga pertanda bahwa satwa dan tumbuhan makin sedikit. Habitatnya telah hilang dan kehidupannya terancam.

Negara perlu memberikan proteksi dan perhatian agar tidak terjadi kepunahan, terutama untuk jenis-jenis yang ada di alam. Indonesia adalah negara penanda tangan Konvensi Keanekaragaman Hayati Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kepunahan satwa dan tumbuhan itu dapat menuai kecaman dunia. Mekanisme perlindungan pun sudah diatur oleh Undang-Undang Konservasi Alam.

Kedua, dari segi konservasi, keluarnya peraturan ini akan menambah kepastian bagi dua pihak. Ahli konservasi dapat terus mempertahankan fauna dan flora hidup bebas di alam. Adapun penggemar burung makin yakin tentang status burung yang mereka pelihara adalah burung yang dilindungi pemerintah, kecuali dengan sertifikat dan izin atau diperoleh dari hasil penangkaran yang sah. Selama ini, banyak burung yang tidak masuk daftar sehingga tidak dilindungi, tapi tidak ada basis ilmiah kuota izin tangkap yang dikeluarkan.

Alam Indonesia yang kita cintai memang membuat keunikan budaya yang berbeda-beda. Keperluan untuk selalu dekat dengan alam menyebabkan banyak orang punya hobi merawat burung, menikmati keindahan corak warna bulu, dan ingin mendengarkan kicauannya. Menangkap burung dan membawa ke rumah merupakan tabiat dominionistik dalam hipotesis Biofilia (Kellert & Wilson, 1993), sama halnya dengan orang Jepang yang punya hobi membonsai pohon. Mendekat ke alam ini dapat menjadi bisnis yang menggiurkan, tapi alam memerlukan penjaga keseimbangan untuk mempertahankan eksistensi dan keberlanjutannya.

Keluarnya peraturan ini memicu kontroversi, terutama untuk burung berkicau, yang konon telah banyak ditangkar tapi masuk daftar di peraturan tersebut. Para pedagang dan penggemar burung menilai peraturan itu akan mengganggu perekonomian dan upaya penangkaran. Mereka meminta tiga jenis burung berkicau-kucica hutan, jalak uren, dan cucak rawa-dikeluarkan dari daftar.

Peraturan tentu saja ditetapkan berdasarkan studi ilmiah. Tanggung jawab pemerintah adalah menegakkan peraturan tersebut. Maraknya pemeliharaan burung di Indonesia menyebabkan burung-burung di alam makin berkurang dan bahkan punah di alam.

Saat saya kembali ke Kalimantan, setelah 20 tahun saya tinggalkan, desa dan kampung telah menjadi sunyi. Burung-burung berkicau di sana, selain habitatnya berubah, ditangkap dan dijual ke Jawa. TRAFFIC (2016) mencatat, 28 dari 241 jenis burung yang diangkut dari Sumatera dan Kalimantan adalah hewan yang dilindungi undang-undang.

Investigasi Yayasan Terbang Indonesia menunjukkan bahwa 70-80 persen burung yang ditangkap di alam dan dibawa dari Sumatera, Kalimantan, dan Maluku kemudian mati karena stres, terluka, atau teraniaya selama perjalanan. Jadi, kalau kita lihat di pasar burung ada 200 burung yang dijual, sebenarnya mereka adalah bagian dari 800 burung yang ditangkap di alam. Malangnya, pasar menjual segala jenis burung, baik yang dilindungi maupun tidak. Pada 2015, TRAFFIC menemukan 206 spesies burung di tiga pasar burung terkemuka, yakni Jalan Pramuka, Jatinegara, dan Jalan Barito.

Burung-burung kemudian menghilang di alam. Lalu terjadi sindrom hutan yang sunyi. Tidak ada kicauan burung di hutan. Padahal, di antara burung-burung itu, ada yang bertugas menyebar biji-bijian, ada pula yang memangsa ulat dan menjadi pembasmi hama alami.

Di Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya, masyarakat baru sadar bahwa ratusan hektare pohon pala mereka, yang telah berusia puluhan dan bahkan ratusan tahun, kini tiba-tiba mati karena diserang ulat penggerek batang. Pemerintah daerah kemudian melarang perburuan burung pengendali hama, tapi sudah terlambat.

Fachruddin M. Mangunjaya

Fachruddin M. Mangunjaya

Ketua Pusat Pengajian Islam Universitas Nasional, Dosen S3 Fakultas Ilmu Politik Universitas Nasional

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus