Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat tak pantas lagi menduduki jabatannya, bahkan sebagai hakim konstitusi. Dua tindakan yang dilakukannya tidak hanya menunjukkan “derajat” kepribadiannya, tapi juga telah mencoreng lembaga yang dipimpinnya: Mahkamah Konstitusi. Mahkamah yang sebelumnya pernah terpuruk karena dua ketuanya tersangkut kasus korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selasa lalu Dewan Etik Mahkamah Konstitusi yang dipimpin Achmad Roestandi dan beranggota Salahuddin Wahid serta Bintan R. Saragih menyatakan Arief telah melakukan pelanggaran etik sebagai hakim konstitusi. Tidak bulat putusan yang diambil Dewan Etik. Satu menyatakan yang dilakukan Arief pelanggaran etik berat, satu menyebut pelanggaran etik ringan, dan satu lain menyatakan perbuatan yang dilakukan Arief tak melanggar kode etik hakim konstitusi. Baca: Dewan Etik Beri Sanksi Ringan Kepala Arief Hidayat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arief dinyatakan melakukan pelanggaran kode etik ringan -dengan saksi teguran lisan- karena melakukan pertemuan dengan Komisi III DPR -Komisi yang membidangi hukum- tanpa undangan resmi kepada Mahkamah Konstitusi. Pertemuan itu membicarakan perihal uji kelayakan Arief sebagai calon hakim konstitusi periode kedua. Masa jabatan Arief sebagai hakim konstitusi akan berakhir pada April 2018 dan Arief berhasrat tetap ingin menjadi hakim konstitusi.
Pertemuan pertama dilakukan di sebuah hotel dengan dihadiri antara lain, sejumlah pimpinan Komisi III. Setelah itu, Arief juga menghadiri rapat dengan Komisi III membicarakan kesediaannya untuk menjadi hakim konstitusi kembali. Dewan Etik menyebut yang dilakukan Arief itu tak pantas. Ada pelanggaran karena mestinya acara atau undangan seperti ini melalui pemberitahuan secara resmi kepada lembaga Mahkamah Konstitusi. Dewan Etik, sebelum menjatuhkan putusan, juga telah meminta keterangan sejumlah anggota Komisi Hukum dan di antaranya mengaku memang terjadi lobi-lobi politik dalam pertemuan tersebut.
Walau beberapa anggota lain yang diminta keterangannya oleh Dewan Etik menyatakan tak ada lobi-lobi politik, tapi sulit untuk tidak menduga tak terjadi “lobi-lobi” atau “janji-janji politik” dalam pertemuan tersebut. DPR sebagai lembaga politik, anggota Dewan sebagai politikus, tentu memiliki kepentingan dengan menyetujui Arief menjadi hakim konstitusi lagi. Apalagi, tugas Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan produk politik yang dihasilan DPR, melakukan uji materi terhadap undang-undang yang dibuat DPR.
Karena itu pada pertemuan di sebuah hotel pada 23 Oktober 2017 tersebut -yang tentu saja pasti tertutup- sulit untuk tidak mencurigai telah terjadi deal-deal antara Arief dan DPR. Kita bisa menyebut, sebagai hakim, Arief telah “main mata” dengan lembaga yang akan menentukan terus-tidaknya ia sebagai hakim konstitusi.
Ini untuk kedua kalinya Arief melakukan tindakan yang membuat publik bertanya: ada apa dengan Ketua Mahkamah Konstitusi ini. Tindakan tercela pertamanya yang diketahui publik adalah saat ia membuat katabelece yang ditujukan kepada Jaksa Agung Pidana Khusus menyangkut seorang jaksa yang terhitung kerabatnya. Dalam kasus ini Jaksa Agung Pidana Khusus yang kemudian menjadi Jaksa Agung Muda Pengawasan, Widyo Pramono, telah mengklarifikasi tidak pernah menerima surat dari Arief. Ia menegaskan juga bukan kapasitasnya memindahkan seorang jaksa. Dalam posisi ini kita mencatat: Arief yang “aktif” melakukan tindakan itu. Tindakan yang bahkan sekadar “membantu” seorang keponakannya.
Hakim adalah jabatang agung. Hakim Konstitusi bahkan memiliki predikat yang jauh lebih berat ketimbang hakim agung. Ia, seperti dinyatakan Pasal 15 UU Mahkamah Konstitusi (UU No.24/2003), selain harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela juga memiliki sifat kenegarawan -hal yang tidak disyaratkan bagi hakim apa pun. Sifat seperti ini menuntut hakim konstitusi menjadi pribadi setengah dewa, sekaligus menjadi “mata air” panutan untuk bangsa. Negarawan tidak hanya dituntut bersih dan jujur, tapi tindakan dan yang dilakukan adalah demi kepentingan bangsa, bukan mengejar kepentingan pribadi.
Dalam hal yang dilakukan Arief, sesungguhnya ia telah tercela. Ia semestinya mundur dan meletakkan jabatannya,
LESTANTYA R. BASKORO