Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja menelurkan kebijakan uang muka nol persen kredit kendaraan bermotor yang tertuang dalam Peraturan OJK Nomor 35 Tahun 2018. Peraturan tersebut memberi ruang yang amat mudah bagi masyarakat untuk memiliki kendaraan bermotor dengan cara kredit. Peraturan itu seakan-akan berpihak kepada kepentingan publik (konsumen). Siapa yang tak akan senang dengan uang muka nol persen dan mobil baru pun sudah bisa dibawa pulang?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun waspadalah. Jika ditelisik lebih jauh, peraturan itu menyimpan berbagai persoalan laten yang sangat kontraproduktif. Hal ini tidak hanya dari sisi manajemen transportasi, tapi juga dari aspek lain, seperti subsidi energi, ekonomi, dan dampak lingkungan. Berikut ini beberapa poin kritis mengenai peraturan OJK itu.
OJK berdalih bahwa uang muka nol persen diberikan dengan syarat khusus, yakni bagi pihak leasing dengan tingkat kredit macet atau non-performing loan (NPF) kurang dari 1 persen. Namun, berdasarkan pengalaman, "syarat khusus" itu pada praktiknya sangat mudah dimanipulasi dan dilanggar tanpa sanksi apa pun. Selama ini, syarat uang muka 20-30 persen dari harga jual untuk kredit mobil atau sepeda motor saja dengan mudah dimanipulasi.
Fasilitas uang muka nol persen untuk kendaraan pribadi adalah salah kaprah. Uang muka nol persen hanya layak diberikan untuk kredit angkutan umum, bukan kendaraan pribadi. Selama ini, syarat kredit untuk kendaraan umum malah memberatkan perusahaan. Kebijakan baru OJK itu sesat pikir yang sangat serius.
Selain itu, uang muka nol persen hanya layak diberikan untuk kendaraan bermotor yang ramah lingkungan, seperti mobil atau sepeda motor listrik, bukan kendaraan bermotor yang berbasis energi fosil. Apalagi kendaraan bermotor di Indonesia masih dominan menggunakan bahan bakar minyak jenis Premium yang berdampak sangat buruk terhadap lingkungan. Peraturan baru OJK itu akan mengakselerasi polusi udara, bahkan polusi suara, yang lebih masif, tidak hanya di perkotaan, tapi juga pedesaan.
Yang lebih tragis lagi, uang muka nol persen akan memicu kemiskinan di rumah tangga miskin. Terbukti, sejak booming kredit sepeda motor, banyak rumah tangga miskin terjerat iming-iming kredit sepeda motor. Akibatnya, banyak sekali rumah tangga miskin yang semakin miskin karena pendapatannya tersedot untuk mencicil sepeda motor, bahkan mengalami kredit macet (gagal bayar). Dengan demikian, uang muka nol persen untuk kredit sepeda motor adalah "jebakan Batman" yang amat mematikan bagi rumah tangga miskin. Seolah-olah mendukung orang miskin, padahal itu merupakan instrumen efektif untuk makin memiskinkan mereka. Uang muka nol persen justru akan mencekik leher konsumen karena alokasi uang muka akan diakumulasikan dalam cicilan per bulan.
Tegasnya, kebijakan OJK tersebut sangat kontraproduktif terhadap upaya pemerintah memberantas kemiskinan dan kontraproduktif terhadap lingkungan hidup, yang saat ini makin tercemar oleh penggunaan bahan bakar fosil yang digunakan kendaraan pribadi. Kebijakan OJK juga sangat kontraproduktif bagi lalu lintas di kota-kota besar di Indonesia, khususnya Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Kemacetan di Jakarta akan semakin parah lantaran nafsu untuk membeli kendaraan pribadi semakin tinggi berkat insentif nol persen. Buntutnya, pembangunan infrastruktur transportasi massal, seperti MRT atau LRT dan TransJakarta, akan mati suri. Masyarakat akan makin gandrung dengan kendaraan pribadi dan tidak berminat menggunakan angkutan umum massal.
Tragisnya, uang muka nol persen menjadi karpet merah untuk makin maraknya kecelakaan lalu lintas. Ingat, data Korps Lalu Lintas Kepolisian RI dan PT Jasa Raharja menunjukkan bahwa 75 persen kecelakaan lalu lintas melibatkan pengguna sepeda motor.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mendesak dengan sangat OJK membatalkan peraturan baru tersebut. Salah satu tugas utama OJK adalah melindungi konsumen jasa finansial, bukan malah menjerumuskannya. Jika OJK tak membatalkannya, YLKI dan Jaringan Lembaga Konsumen Nasional berencana melakukan judicial review ke Mahkamah Agung.