Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Nasehat Sederhana untuk Pemerintah, Jangan Pernah Menyusahkan Hidup Rakyat

Cerita Revolusi Perancis, Revolusi Amerika, Revolusi Kemerdekaan, dan Revolusi lainnya, berawal dari rasa bosan dan jijik rakyat kepada kekuasaan yang sudah mulai melupakan akarnya.

12 September 2022 | 13.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Polisi berjaga saat sejumlah mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa di Kawasan MH Thamrin, Jakarta, Kamis, 8 September 2022. Aksi unjuk rasa tersebut dilakukan untuk menolak kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM subsidi serta mereka menuntut agar pemerintah menstabilkan harga bahan pokok karena imbas kenaikan BBM tersebut. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perancis dilanda krisis keuangan yang akut setelah mendukung kemerdekaan Amerika atas Inggris. Kas negaranya defisit. Mereaksi itu, Louis XVI mengumpulkan tiga estate yang dibentuknya,  untuk mengajukan kenaikan pajak. Estate adalah dewan konsultatif untuk raja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Estate pertama untuk clergy. Estate kedua untuk nobility. Dan estate ketiga untuk majority alias rakyat. Satu estate satu suara. Clergy dan nobility ada di pihak Raja pastinya. Jadi kalaupun diadakan voting, mayoritas pasti kalah suara. Dua lawan satu. Jadi upaya pembagian tiga estate hanya akal-akalan Raja Lous XVI seolah-olah sudah mewakili suara rakyat
 
Karena komposisi itu,  Louis XVI tentu saja berhasil menerapkan penambahan pengenaan pajak kepada rakyat Perancis, mulai dari pajak kepala sampai pajak pintu. Hasilnya pasti dua lawan satu. Louis XVI menang. Sesumbarnya, hal itu telah melalui proses yang demokratis.
 
Inilah perkara fundamental revolusi Perancis. Kas defisit, pajak menggila, lalu ekonomi berantakan,  kelangkaan roti dan makanan, merebak aksi unjuk rasa, lalu dihentikan oleh polisi. Demonstrannya melawan, lalu menggasak Benteng Penjara Bastiles untuk mencari gunpowder, agar bisa membalas tindakan polisi. Fakta itu dikenal sebagai peristiwa Bastile, yang terjadi pada 14 Juli 1789.
 
Namun jika ditanya Thomas Jefferson, perwakilan Amerika Serikat untuk Perancis kala itu, terkait penyebab terjadinya Revolusi Perancis,  jawabannya adalah Madame Deficit. Jefferson menyalahkan istri Louis XVI yang hidupnya glamor supermewah bernama Maria Antonaite alias madam deficit.
 
Padahal tidak signifikan secara fiskal. Perancis defisit justru karena membantu Amerika Serikat menang perang atas Inggris. Tapi saat ditagih, Amerika Serikat tidak mau membayar. Jefferson mengalihkan isunya. Dan pecahlah revolusi itu, Revolusi Perancis.  
 
Bak revolusi Iran, Eropa was-was, dan mendeklarasikan perang atas Perancis. Revolusi Perancis berpeluang jadi komoditas ekspor Perancis ke negara-negara monarki lainnya yang mengkuatirkan bagi raja-raja lain. Kalau tidak dideklarasikan perang,  nanti mereka yang dihajar revolusi.  Kata raja-raja lainnya.

Namun seorang perwira pangkat rendah senang dengan terjadinya Revolusi Perancis. Karena dengan adanya kejadian itu dia bisa naik pangkat.  Naik jabatan tidak lagi atas pertimbangan keturunan, tapi prestasi,  secara ia berasal dari keluarga biasa, sehingga dalam kondisi biasa karirnya mentok dan tidak akan bisa naik lagi. 
 
Dengan revolusi,  dia bisa naik pangkat,  punya pasukan,  dan mengudeta revolusi itu sendiri. Mengklaim revolusi sudah selesai,  karena dia adalah revolusi itu sendiri. Dialah Napoleon Bonaparte. Si lelaki dengan postur tubuh pendek, lucu, lugu, dan jago taktik perang, yang mengakhiri Revolusi Perancis dan mengangkat dirinya sebagai emperor baru. Begitulah Revolusi Perancis. Bermula karena kenaikan pajak dan mahalnya harga barang-berang kebutuhan pokok, lalu berakhir dengan hadirnya tangan besi Napoleon Bonaparte. 
 
Berbeda dengan Amerika Serikat yang dibantu oleh Perancis. George Washington berkeinginan sekali ingin jadi tentara imperial Inggris. Saat pertama kali dipercaya memegang pasukan di koloni Inggris, Virginia, Washington sudah tidak tahan ingin membuktikan prestasinya. Pucuk dicinta ulam tiba. Dalam sebuah operasi rutin, pasukan Washington bertemu sekelompok utusan Perancis yang dikira sekelompok pasukan. 
 
Tanpa ragu, Washington menyikat mereka. Hancur pasukan Perancis itu. Namun naas bagi sang calon presiden negara baru itu, rombongan tersebut bukanlah rombongan militer, tapi rombongan diplomatik. Otomatis apa yang dilakukan Washington dan pasukannya menyalahi kode etik peperangan. Washington pun dikeluarkan dari pasukan. Tapi peristiwa kecil itu menjadi awal perang tujuh tahun antara Inggris dan Perancis di tanah koloni Amerika Serikat. 
 
Walhasil, imperium Inggris menang. Tapi kas negara menjadi cekak gegara perang. Salah satu jalan adalah menaikkan pajak di negara koloni. Pajak pertama berupa stamp tax untuk beberapa produk impor dari Inggris. Secara negara baru isinya aktifis krisis semua, menolak patuh diatur-atur, apalagi dipajaki.  
 
Adigium terkenalnya saat menolak kala itu adalah: “Taxation without representation is tirany”. Pajak tanpa perwakilan adalah tirani. Bisa dibayangkan, Perancis saja yang sudah memberi satu estate untuk mayoritas, mengalami revolusi saat pajak-pajak dinaikkan. 
 
Apalagi Amerika Serikat. Mereka lebih memilih merdeka dari Inggris, ketimbang harus membayar pajak. Perang Revolusi Amerika Serikat pun dimulai. Di tengah jalan, Washington cs pada akhirnya harus berbalik ke Perancis demi mendapatkan bantuan. Walhasil, Amerika Serikat menjadi negara merdeka dengan 13 negara bagian sebagai teritorial pertama. 
 
Tapi proses politik terlalu dinamis di Virginia yang membuat Washington harus kembali ke sana dan disambut secara aklamasi oleh semua kubu yang berbeda sebagai presiden pertama negara negeri Paman Sam. Sejak saat itu,  tidak ada yang berani mengganggu proses demokrasi di sana. Kata Mark Brewer dan Sandy Maisel dalam buku wajib para mahasiswa pascasarjana ilmu politik di unibersitas di Amerika Serikat,  “Parties and Elections in America. The Electoral Process”, konsistensi berdemokrasi adalah salah satu ciri politik Amerika.  Mau hujan, badai,  atau banjir, mau krisis,  normal,  stagnasi, resesi, perang, damai, dan apapun keadaannya, pemilihan umum tetap dijalankan di waktu yang telah ditentukan.
 
Demokrasi memang memberi ruang yang luas. Mau pilih jadi George Washington atau Napoleon Bonaparte, bebas saja.  Mau berkuasa sendiri,  selama tiga atau empat periode,  karena takut polarisasi akut,  bebas saja,  asal sekedar aspirasi.  Walaupun alasan tak mampu mengelola konflik bukanlah alasan yang tepat untuk menyembunyikan konflik tersebut di bawah tikar. 
 
Pelajaran saat hari kemerdekaan ini, kita memang harus lebih serius belajar tentang menjadi merdeka. Jangan sampai di negara lain yang ribut, kita yang babak belur. John F. Kenedy yang bertarung dengan Allen Dulles, Soekarno yang lengser keprabon, karena JFK sebagai pembela Soekarno disikat di Amerika Serikat sana, Soekarno tersisa tanpa “shield” di sini. Begitu kata Greg Poulgrain dalam buku barunya “JFK vs Allen Dulles. Battleground Indonesia”, terbit dua tahun lalu, 2020. 
 
Jadi, biar Xi Jinping dan Joe Biden tonjok-tonjokan, Presiden Indonesia mestinya tetap menikmati kopi enak saja di sini. Strategi “strategic hedging”-nya, sebagaimana disematkan sebagai strategi negara-negara ASEAN dalam menyikapi perang dingin AS-China, harus benar-benar terukur. Semoga Presiden Jokowi bisa melihat embrio-embrio yang ditanam oleh kedua negara di jajaran-jajarannya, dan dibasmi secara halus dalam perjalanan menuju 2024. 
 
Dan lebih dari itu, harga BBM boleh naik, harga komoditas pokok boleh saja gagal dikendalikan, atau dana pensiun para mantan ASN boleh saja diprivatisasi pengelolaannya, tapi rakyat tidak boleh dibuat menderita. Demokrasi adalah satu-satunya sistem yang bisa meletakkan kepentingan rakyat di  barisan pertama, karena itu, janganlah diutak-atik.  
 
Jangan ada aspirasi penundaan pemilu, aspirasi tiga periode, aspirasi perpanjangan masa jabatan,  apalagi berbarengan dengan kenaikan harga ini itu, pencabutan subsidi ini itu, karena akan menyusahkan hidup rakyat biasanya berujung tak baik. Cerita Revolusi Perancis, Revolusi Amerika, Revolusi Kemerdekaan, dan Revolusi lainnya, berawal dari rasa bosan dan jijik rakyat kepada kekuasaan yang sudah mulai melupakan akarnya yaitu kekuasan yang sudah mulai menyusahkan rakyatnya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus