Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Egi Primayogha
Anggota Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perhelatan pemilihan umum kita masih dicemari oleh praktik politik uang. Lebarnya jurang ketimpangan ekonomi akan memicu praktik politik uang. Praktik ini semakin marak oleh kehadiran elite kaya sebagai pemberi materi dan pemilih yang berada di bawah garis kemiskinan sebagai penerima.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketimpangan di Indonesia terus berada pada titik mengkhawatirkan. Badan Pusat Statistik menyatakan, per September 2018, rasio Gini berada pada angka 0,384. Semakin dekat pada angka 1, ketimpangan semakin lebar. Kendati mengalami penurunan dari 0,389 pada Maret 2018, kenyataan bahwa tingkat ketimpangan begitu tinggi tak bisa ditutupi.
Rasio Palma, alternatif pengukuran yang berangkat dari kritik atas rasio Gini, memberikan angka 1,8 kepada Indonesia. Ketimpangan semakin lebar ketika menjauhi angka 0. Angka ini didapat dari pengukuran pada 2010-2017. Rasio ini dihitung dengan membagi pendapatan nasional bruto dari 10 persen penduduk terkaya dengan 40 persen penduduk termiskin.
Kedua pengukuran ini menunjukkan masih tingginya tingkat ketimpangan di Indonesia. Ketimpangan inilah yang turut menyuburkan praktik-praktik koruptif dalam kontestasi elektoral yang makin marak setelah pemilihan umum langsung pertama kali digelar pada 2004.
Mulanya para kandidat mencoba merayu pemilih untuk memilih mereka dengan memberikan sejumlah uang. Praktik tersebut kemudian terus dilakukan pada hampir setiap pemilu hingga tak lagi bersifat sukarela, melainkan menjadi permintaan para pemilih. Ia menjadi sesuatu yang wajib disediakan oleh kandidat dan dinanti-nanti oleh pemilih. Hal inilah yang membuat pemilu kita menjadi berbiaya mahal. Praktik ini sekaligus menunjukkan bahwa konsekuensi logis dari pemilu langsung adalah maraknya politik uang.
Politik uang sendiri belum memiliki definisi yang jelas. Daniel Bumke (Ade Irawan, 2018) menyebutkan bahwa politik uang berkenaan dengan segala jenis praktik korupsi dalam pemilu, dari korupsi politik hingga klientelisme, dari jual-beli suara hingga kecurangan. Edward Aspinall menyebutkan praktik-praktik politik uang yang sering muncul di antaranya adalah pemberian hadiah, donasi kepada kelompok sosial, dan jual-beli suara.
Pemilu berbiaya mahal membutuhkan sumber daya pemenangan dalam jumlah yang besar. Mesti ada pihak yang memiliki kekayaan luar biasa untuk menutupi kebutuhan tersebut. Di sinilah ketimpangan ekonomi menjadi relevan dengan pemilu. Ketimpangan yang ekstrem melahirkan elite-elite kaya atau ultra-rich yang dapat unjuk taring dalam pemilu. Elite-elite itu disebut ilmuwan politik Jeffrey A. Winters sebagai oligark.
Winters mendefinisikan oligark sebagai aktor yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar atas sumber daya material (wealth concentration). Sedangkan oligarki adalah politik pertahanan kekayaan oleh aktor dengan kekayaan material tersebut. Kehendak oligark untuk mempertahankan kekayaan (wealth defense) menjadi pemicu mereka menggunakan instrumen demokrasi.
Dalam pemilu berbiaya mahal, oligark dapat memberi pengaruh signifikan. Dengan kekayaan yang berlimpah, ia dapat menjawab kebutuhan kandidat dan partai politik. Bagi partai, masalah pendanaan sampai pemenangan pemilu dapat diatasi dengan limpahan sumber daya dari oligark. Pada titik ini, campur tangan oligark dalam pemilu menjadi tak terhindarkan.
Praktik yang serupa terjadi pada candidacy buying, yakni pemberian mahar kepada partai politik agar seseorang dapat maju menjadi kandidat dalam pemilu, juga dapat dilakukan oleh oligark. Oligark yang telah memberikan sumbangsih sumber daya melimpah kepada partai politik dapat menentukan pilihan siapa kandidat yang akan dipilih oleh publik.
Praktik jual-beli suara dilanggengkan oleh oligark melalui sumbangsih kekayaannya. Praktik ini membutuhkan sumber daya yang tak sedikit. Pemberian uang atau barang, baik melalui individu maupun organisasi tertentu, menjadi sesuatu yang lazim. Dalam praktik ini, pemilih miskin akan mudah memberikan suara guna mendapatkan uang. Praktik ini menunjukkan bahwa ketidaksetaraan ekonomi berujung pada ketidaksetaraan politik.
Dalam ketimpangan ekonomi yang ekstrem, politik uang dalam pemilu akan terus langgeng. Ia lantas membentuk sistem pemilu yang oligarkis. Praktik politik uang perlu dihentikan dengan turut memikirkan ketimpangan sebagai faktor signifikan.