Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"SAFARI" ke ruangan para hakim Mahkamah Konstitusi dilakukan Zainal Arifin Hoesein, Rabu dua pekan lalu. Mantan panitera Mahkamah ini bukan ingin bernostalgia, tapi sedang meminta dukungan para hakim konstitusi. Satu pekan sebelumnya, Markas Besar Kepolisian RI menetapkan Zainal sebagai tersangka dalam kasus pemalsuan surat Mahkamah tertanggal 14 Agustus 2009 mengenai perselisihan hasil pemilihan umum.
Pengacara Zainal, Achmad Rifai, kepada Tempo bercerita, hari itu ruang kerja empat hakim konstitusi disambanginya bersama Zainal. Kunjungan itu dimulai tengah hari. Ruangan Akil Mochtar yang pertama kali dikunjungi. Akil paling keras mempertanyakan penetapan Zainal sebagai tersangka. "Saya menilai fakta hukum sudah dijungkirbalikkan oleh polisi," kata Akil.
Zainal, kata Akil, adalah saksi yang melaporkan pemalsuan nama dan tanda tangannya dalam kasus surat palsu. Pada Februari 2010, Zainal melaporkan pemalsuan itu ke Markas Besar Kepolisian. "Kenapa saksi pelapor malah jadi tersangka? Tidak masuk akal."
Tak sampai setengah jam, kunjungan dilanjutkan ke ruang kerja hakim Maria Farida Indrati, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md., dan terakhir hakim Harjono. Menurut Rifai, ia dan Zainal meminta tiga hakim ini menjadi saksi ahli dalam proses hukum Zainal. Semuanya siap memberi kesaksian ke kepolisian.
Ditemui Tempo pada Selasa dua pekan lalu di kantor pengacaranya, Zainal masih kecewa telah dijadikan tersangka. Ia mengaku sudah menjelaskan semua persoalan ke penyidik. "Tapi saya terus dicecar seolah mengetahui proses pemalsuan surat," katanya.
KASUS ini bermula dari penetapan Dewi Yasin Limpo, calon anggota DPR dari Partai Hati Nurani Rakyat, di daerah pemilihan Sulawesi Selatan I. Komisi Pemilihan Umum menggunakan surat Mahkamah tertanggal 14 Agustus 2009 yang menyatakan suara Hanura bertambah di daerah pemilihan itu. Belakangan diketahui surat itu palsu dan Dewi batal dilantik.
Awal Juni lalu, Mahfud Md. melaporkan kasus ini ke polisi. Satu nama yang disebut Mahfud adalah Andi Nurpati Baharuddin, bekas anggota KPU yang kini menjadi Ketua Divisi Komunikasi Publik Partai Demokrat. Polisi kemudian menetapkan Masyhuri Hasan, bekas anak buah Zainal yang menjadi juru panggil Mahkamah sebagai tersangka.
Dalam berkas acara pemeriksaan Hasan yang diperoleh Tempo, Hasan yang mengaku mengirim surat palsu ke KPU menyebut sejumlah pihak terlibat dalam proses pemalsuan surat. Mereka adalah Andi Nurpati, Dewi Yasin Limpo, dan bekas hakim Mahkamah Arsyad Sanusi. Ketiganya aktif meminta Hasan segera mengirim surat penjelasan Mahkamah atas hasil keputusan perolehan suara Hanura di Sulawesi Selatan I. "Keterlibatan ketiganya jelas disebut Hasan kepada polisi," kata pengacara Hasan, Edwin Partogi.
Memang, Hasan juga menyebut Zainal ikut mengonsep surat palsu itu. Zainal mengaku mengonsep surat jawaban ke KPU. Tapi bukan seperti yang dikirim ke KPU pada 14 Agustus, melainkan seperti surat asli yang dikirim pada 17 Agustus 2009. "Saya tak pernah membuat dan menandatangani konsep surat seperti yang dikirim Hasan," katanya.
Malah, kepada polisi, Zainal menyebutkan Andi Nurpati mendesaknya mengirim surat penjelasan atas kasus Dewi ke KPU. Zainal juga menyebut hakim Arsyad menambahkan perolehan suara Dewi dalam surat penjelasan ke KPU. Zainal mengaku pernah didatangi Dewi di rumah dinasnya di Bekasi dan meminta suara Dewi ditambahkan agar bisa lolos ke Senayan.
Belakangan, Zainal juga menguak upaya suap dari seorang ajudan Arsyad. Ajudan itu mendatangi Zainal di ruangannya, lalu menyerahkan amplop cokelat. "Katanya, ’Ini dari Ibu Dewi’," kata Zainal mengutip ajudan itu. Menurut Zainal, ia langsung menolak amplop itu. Toh, polisi menganggap Zainal terlibat dalam pemalsuan surat. "Ia diduga ikut mengonsep surat," kata juru bicara Markas Besar Kepolisian RI, Inspektur Jenderal Anton Bachrul Alam, kepada Tri Suharman dari Tempo.
Mereka yang disebut Zainal dan Hasan membantah terlibat dalam pemalsuan surat. Andi Nurpati mengatakan adalah wajar ia meminta penjelasan atas keputusan Mahkamah. Penjelasan itu bersifat mendesak karena bakal dijadikan dasar penetapan calon terpilih. "Siapa pun di KPU tak pernah meminta surat palsu, tapi meminta penjelasan resmi MK," katanya.
Arsyad dan Dewi mengaku tak tahu proses pembuatan surat palsu. Justru mereka menuding Zainal dan Hasan bekerja sama menyusun surat palsu. "Sudah tepat jika keduanya ditetapkan sebagai tersangka," kata Arsyad. Keduanya juga membantah mencoba menyuap Zainal. "Kalau saya mau menyogok, kenapa tidak saya kasih langsung?" kata Dewi.
MENGAPA polisi belum menetapkan tersangka lain? Sumber Tempo di Markas Besar Polri menyebutkan sebenarnya bukti dan kesaksian yang dihimpun polisi cukup untuk menjerat ketiganya, terutama Andi Nurpati. Misalnya, Andi menggunakan surat palsu yang dikirim Hasan untuk menetapkan Dewi Yasin sebagai legislator terpilih. Selain itu, Andi menerima surat asli pada 17 Agustus. Bekas sopir Andi di KPU, Hari Alma Vintono alias Ario, mengaku meneken tanda terima surat asli yang dikirim saat itu.
Bekas anggota staf Andi lainnya, Matnur, mengaku disuruh atasannya menyimpan surat asli sehingga tak bisa digunakan menetapkan legislator terpilih dari Sulawesi Selatan I. Belakangan, sebelum Andi hengkang ke Partai Demokrat, surat itu diserahkan ke Biro Hukum KPU. "Dia menyerahkan surat asli itu ke saya," kata Kepala Biro Hukum KPU Sigit Joyowardono.
Sumber lain bercerita, meski bukti dan kesaksian sudah cukup, polisi berhati-hati menetapkan Andi sebagai tersangka karena jabatannya sebagai petinggi Partai Demokrat. Kasus pemalsuan surat ini dianggap bakal membebani Demokrat, yang juga tersandung kasus korupsi yang dilakukan bekas bendahara umumnya, Nazaruddin.
Andi Nurpati membantah kasus ini berkaitan dengan partainya sekarang. Pernyataannya didukung Khatibul Umum Wiranu, anggota Panitia Kerja Mafia Pemilihan Umum dari Partai Demokrat. Katanya, partai tak pernah melindungi Andi. Kasus pemalsuan surat tak ada hubungan dengan partainya. "Kejadiannya kan sebelum Andi bergabung dengan Demokrat," katanya.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Markas Besar Polri Brigadir Jenderal Ketut Untung Yoga Ana membantah lembaganya "tebang pilih" dalam kasus ini. Ia mengatakan polisi masih belum berhenti menelusuri kasus ini. "Polisi masih menyidik dan masih mencocokkan keterangan saksi-saksi," katanya. Selama bukti kuat belum didapatkan, Yoga melanjutkan, polisi tak bisa menetapkan status seseorang dari saksi menjadi tersangka.
Namun, menurut Yoga, tak tertutup kemungkinan kasus pemalsuan surat ini bakal dihentikan. Pasalnya, sampai saat ini surat palsu yang dikirim Hasan belum ditemukan oleh para penyidik. "Kalau ketemu suratnya, siapa yang menyimpan, dari situ kita bisa tahu dan dari situ bisa diungkap," katanya.
Wakil Ketua Panitia Kerja Mafia Pemilihan Umum DPR Ganjar Pranowo tak kaget jika polisi menghentikan kasus ini hanya pada keterlibatan Hasan dan Zainal. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menilai polisi setengah hati. Dia yakin Hasan atau Zainal tak mungkin memalsukan surat sendiri. Pasti ada jaringan dari pemesan, pengonsep, sampai pengguna surat palsu. "Polisi belum sampai pada super-tersangka," kata Ganjar.
Pramono, Riky Ferdianto, Ririn Agustia (Jakarta), Ardiansyah Razak Bakri (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo