SIANG itu Menlu Adam Malik kabarnya terpaksa membatalkan semua
acaranya. Menurut seorang pembantunya, pak Adam merasa kurang
enak badan. Sekalipun begitu, ia masih iuga memenuhi undangan
makan siang yang diadakan PWI Pusat di Press Club, jalan
Veteran, Jakarta 30 Januari lalu. Dan beberapa jam sebelum acara
makan siang yang juga dihadiri pers luar negeri dan para Atase
Pers berbagai Kedubes di sini, Menlu Adam Malik juga
menyempatkan untuk melakukan wawancara dengan team wartawan
TEMPO. Berikut ini adalah petikan-petikan penting dari wawancara
itu:
ASEAN
Tanya: Menjelang KTT ASEAN di Bali nanti, saling kunjung-
mengunjungi antara berbagai pembesar Asia Tenggara menyolok
sekali. Apa sebenamya yang terjadi?
Jawab: Kegiatan ini logis. Sebelum mereka berkumpul, tentu ingin
saling menjajaki kegiatan masing-masing. Apakah bahan-bahan yang
selama dipersiapkan oleh pejabat-pejabat tinggi itu sudah sesuai
dengan keinginan kepala negara-kepala negara itu. Kecuali Datuk
Hussein, itu kunjungan perkenalan. Dan yang ia bicarakan di sini
hanya melanjutkan hal-hal yang sudah dirintis oleh almarhum Tun
Razak.
T: Apa saja toh yang mereka bicarakan?
J: Yang di Singapura itu saya tidak tahu. Tapi kita tentu kenal
tokoh-tokoh itu masing-masing. Lee Kwan Yew itu "pedagang". Jadi
tentu ia ingin ASEAN ini nanti menonjol dagangnya. Dan kalau
demikian, tentu yang jadi mimpinya adalah free trade
(perdagangan bebas), supaya semua barangnya bisa masuk ke
Indonesia yang berpenduduk 130 juta, ke Muangthai, Malaysia dan
Pilipina. Ini logis, toh, modal mereka kan toko, jadi harus jual
barang.
T: Keinginan Singapura itu, berapa jauh didukung oleh anggota
ASEAN lainnya?
J: Kalau kita mau obyektif, pada pertemuan tingkat menteri yang
terakhir di sini, sudah dicapai kesepakatan bersama bahwa
perdagangan bebas itu adalah tujuan terakhir dari kemajuan ASEAN
nanti, pada suatu ketika. Di Eropa saja -- yang hampir segala
tingkatan hidupnya sama -- soal ini belum selesai. Kepada Lee
Khoon Choy (bekas Dubes Singapura di Jakarta) dulu saya jelaskan
bahwa ini hanya soal waktu. Kalau dipaksakan sekarang, hanya
akan merugikan negara anggota lainnya.
T: Kalau bukan perdagangan bebas itu, lalu apa yang harus jadi
pengikat antar negara ASEAN?
J: Kalau menurut saya bukan perdagangan, tapi bagaimana industri
dimajukan. Jangan maju sendiri saja dong. Apa yang bisa
dikerjakan bersama. Umpamanya pabrik baja yang besar untuk kita
berlima, boleh. Pabrik pupuk bersama sebagai penunjang pertanian
-- juga baik.
T: Bagaimana sikap Pilipina mengenai usul Indonesia ini?
J: Mereka ini nampaknya masih ragu-ragu. Waktu Presiden Marcos
ke mari itu dia masih tanya: apa yang baik untuk Indonesia? Saya
bilang: apa saja Indonesia mau. Pabrik kacang pun untuk 130 juta
orang Indonesia ini, boleh.
T: Jadi dalam KTT ASEAN di Bali ini akan ada dua pihak dengan
usul tak terdamaikan? Singapura dengan perdagangan bebasnya dan
Indonesia dengan kerja sama industri itu?
J: Tidak begitu. Itu konklusi dari artikel dalam Far Eastern
Economi Review (tulisan Harvey Stockwin, pada edisi 23 Januari
1976 -- Red) itu. Karena itu saya sebut artikel tersebut sebagai
suara Singapura, sebab dia tidak menyebutkan usul Indonesia
mengenai menaikkan industri di masing-masing negara ASEAN ini,
kalau perlu secara bersama. Dan mereka akan ketemu. Ini soal
waktu saja. Kita toh tidak menentang perdagangan bebas yang
diinginkan Singapura itu. Kalau sekarang tingkat industri dan
perdagangan kita sama, sudah tidak ada soal lagi.
T: Dalam artikel FEER itu disebut juga bahwa sikap Indonesia itu
hanya rumus Menteri Ekuin Prof: Widjojo. Apakah ini betul?
J: Tidak benar. Itu adu domba. Keputusan itu keputusan bersama,
dan Widjojo itu kan Menteri Ekonomi. Dialah yang harus bicara.
Secara sehat saja, bisakah kita berdiri bersama-sama dengan
pemilik toko, sementara kita belun punya apa-apa?
T: Apakah kerja sama ASEAN ini tidak terganggu oleh posisi
Muangthai yang sekarang -- kekalutan politik dalam negeri dan
ancaman komunis di sepanjang perbatasannya?
J: Problim itu timbul akibat dua hal normalisasi hubungan
Muangthai dengan Peking dan selesainya soal IndoCina. Dan
Muangthai ini sedang mencoba mengoreksi pemerintahan militer
dulu Tapi proses demokratisasi ini kan harus ada batasnya,
karena yang mau infiltrasi di sana juga mempergunakan proses
demokratisasi ini. Susah menolak infiltrasi yang juga
menggunakan semboyan demokrasi sekali komunis berada di dalam --
sebagai yang kita alami dulu -- mereka akan meluas. Ini yang
kita takutkan dengan Muangthai yang kini kelihatannya mencoba
mengambil hati pihak komunis setelah kemenangan mereka di
Indocina.
T: Lantas apa yang bisa dilakukan ASEAN?
J: Dalam pertemuan nanti, perlu dijelaskan kembali pengalaman
kita dan bagaimana sebaiknya sikap menghadapi ASEAN ini. Mereka
ini masih berpendapat bahwa dengan bersahabat dengan Peking
mereka aman dari Hanoi dan sebaliknya. Menurut kita, ini tidak
betul. Muangthai harus bersandar pada kekuatannya sendiri. Untuk
itu mereka di sana harus bersatu. Jadi menurut saya, proses
demokratisasi di Muangthai harus disertai dengan penggunaan
Angkatan Bersenjata secara efektif serta mobilisasi kekuatan
rakyat.
T: Apakah posisi Muangthai yang sekarang ini tidak akan malah
mendekatkannya dengan tetangganya di Utara itu? Dan ASEAN
nantinya akan kembali jadi Maphilindo?
J: Yah, kalau begitu lebih cepat lagi ia akan digulung. Dan kita
akan kehilangan Muangthai. Ini yang harus kita cegah. Untuk itu
harus diberikan kepada mereka ini pengalaman kita menghadapi
komunis itu.
T: Kelihatannya Indonesia terlalu bersemangat menyelenggarakan
KTT Asean ini.
J: Kita malah yang paling tidak bersmangat. Yang minta KTT ini
dari luar, bukan kita. Desakan itu sejak 2 tahun lalu. Kita
selalu katakan, siapkan aja. Sekarang sudah di ambang pintu,
sebagai tuan rumah, yah, kita harus bersemangat.
T: Apakah karena kurang bersemangat itu maka berita rencana
kehadiran Perdana Menteri Jepang, Australia dan Selandia Baru
tersebar di luar negeri tanpa setahu kita?
J: Itu soalnya lain lagi. Fraser itu ingin menunjukkan bahwa dia
lebih dekat terhadap ASEAN dari pada Whitlam. Dan dia mau
ekonomis, sekali datang, ketemu semua. Juga ia mau memberikan
kesan -- barangkali kepada Amerika atau sahabatnya -- bahwa
"saya udah pengaruhi ASEAN". Sebenarnya, dari semula saya
bilang bahwa tuan-tuan tidak bisa hadir pada pertemuan ASEAN.
Kalau saya mengundang mereka, tentu saya undang juga Indo Cina,
MEE dan AS yang membantu kita. Mereka boleh datang, tapi setelah
pertemuan itu.
T: Sementara PM Fraser ingin berbaik-baik dengan ASEAN, dia toh
mengumumkan dukungannya pada perlunya pangkalan Amerika di
Samudra Indonesia. Bagaimana ini?
J: Itu tidak mengejutkan, sebab sudah ia kemukakan ketika masih
menjadi pihak oposisi.
PBB & TIMOR
T: Dewan Keamanan PBB secara aklamasi menyalahkan Indonesia
dalam kegiatan di Timor Timur itu. Sementara Ahmad Subardjo
menilai hal tersebut akibat kurangnya lobbying, sebagian orang
lagi menilainya sebagai akibat kurang mesranya hubungan kita
sekarang dengan negara-negara Non-Blok. Bagaimanakah sebenarnya?
J: Coba sebutkan satu per satu anggota Dewan Keamanan PBB biar
saya terangkan latar belakang sikap mereka terhadap kita.
Aljazair tidak menyokong kita, karena kita menyokong Maroko dan
Mauritania dalam konflik Sahara dan ini amat tidak menyenangkan
Aljir. Pakistan juga tidak menyokong kita sebab dalam soal
Kashmir kita juga tidak menyokong mereka. Juga Amerika, kenapa
dia tidak menggunakan vetonya untuk menolong kita, misalnya? Eh,
memangnya kita ini budak Amerika? Lagi pula Portugal itu kan
anggota NATO juga. Jadi kita harus obyektif. Soal lobby,
lobbylah itu negara-negara Komunis biar mereka pro kita. Apa
bisa?
T: Timor Timur 'kan bukan soal baru. Dulu India juga mengambil
Goa.
J: Itu soalnya lain. Waktu itu anggota Dewan Keamanan PBB
siapa? Saya kira waktu itu Indonesia di PBB, dan kita diam saja.
Faktor anggota Dewan Keamanan ini juga perlu diperhatikan. Lagi
pula, meskipun sama-sama Non Blok jika kepentingan nasional kita
berlainan dalam suatu hal. yah, kita tidak bisa memberikan
bantuan. Pakistan itu saudara kita, tapi kalau dia bantu kita di
Dewan Keamanan, sama saja kalau mereka bunuh diri.
T: Bagaimana dengan Singapura?
J: Singapura ini rupanya merasa takut di-Timor-kan oleh
Indonesia atau Malaysia. Begitu psikologinya. Pada hal kita ini
-- boleh dibelah dada kita -- sama sekali tidak ada ambisi untuk
mengambil Timor Timur itu. Kenyataannya adalah bahwa rakyat di
sana yang memerlukan bantuan kita. Di mana harga diri kita ini
jika orang meminta bantuan kita lalu kita diam saja. Dan jangan
lupa, orag-orang Fretilin ini berkali-kali melanggar perbatasan
kita, masuk mencuri dan membunuhi rakyat. Apa kita harus diam?
T: Apakah bukan karena debat di PBB berputar-putar antara soal
sukarelawan atau bukan sukarelawan?
J: Bukan. Tapi dengan sukarelawan atau bukan, pokoknya kita
harus memberikan bantuan.
T: Kalau memang begitu, mengapa terlambat?
J: Yah, seperti saya katakan tadi, karena kita memang tidak
punya ambisi memperluas wilayah. Kita akhirnya ke Timor Timur
karena terpaksa. Karena diminta oleh rakyat sana.
NON BLOK
T: Bagaimanakah cara pengambilan keputusan dalam bidang politik
luar negeri kita?
J: Kita ada Panjatap (Panitia kerja tetap antara Deparlu dan
instansi pemerintah lainnya) dan sidang Dewan Stabilisasi
(politik), kabinet terhatas itu. Hal ini juga berlaku dalam
keadaan darurat. Dalam hal ini kita teratur, tidal boleh lewat
begitu saja. Dulu di zaman Orde Lama kebijaksanaan ini
diputuskan antara presiden dengan menlu. Barangkali karena
banyaknya menteri pada zaman Soekarno itu. Sekarang hal itu
dianggap tidak tepat lagi, meskipun pada awal Orde Baru, cara
seperti itu memang masih terjadi.
T: Sebagian orang menilai politik luar negeri kita sudah
beranjak jauh dari politik Non-Blok.
J: Definisi Non-Blok itu apa? Ini yang mereka lupa. Non-blok itu
artinya kita melihat sesuatu tanpa menyangkutkannya dengan
kepentingan imperialis. Tapi sekarang ini kalau kaum komunis mau
mempersatukan kepentingannya dengan kita, mau apa tidak kita?
Ini terjadi pada Non-Blok sekarang. Korea Utara masuk Non-Bok,
Kuba juga masuk. Lalu apa ukurannya sekarang? Itu sama sekali
melanggar prinsip Non-Blok. Karena itu maka saya keluar dari
pertemuan di Georgetown (ibukota Guyana, Amerika Selatan, tahun
1973 -- Red) dulu. Akhirnya soal prinsip ditinggalkan dan sistim
senang sama senang saja. Jadi kalau menurut saya, Non-Blok itu
sudah jauh meninggalkan prinsil-prinsipnya.
T: Apakah hak hidup Non-Blok itu sekarang ini memang sudah
tidak ada lagi?
J: Kalau saya bilang tidak ada, salah juga. Masih perlu, cuma
harus dikembalikan pada proporsinya kalau kita mau
mempergunakannya untuk melawan penjajahan dan kemiskinan.
T: Melihat kenyataan bahwa dana-dana di negara Barat mulai
berkurang dan adanya kegiatan ke arah tata baru perekonoman
dunia di PBB, apakah akan ada perubahan tekanan pada politik
luar negeri kita nantinya?
T: Tergantung kita. Melihat resesi yang melanda dunia, kita
tentu tidak bodoh untuk tetap meminta pada IGGI. Kita tentu
berusaha ke Timur Tengah dan ke negara-negara Sosialis. Soalnya,
apakah kita sudah siap menampungnya. Yang harus kita lakukan
sebenarnya adalah memobilisir kemampuan ekonomi rakyat kita
sendiri. Kalau dapat bantuan dari luar, ya, sukur. Lagi pula
orang-orang itu 'kan bukan nabi yang suka membantu. Menurut saya
mereka baru mau membantu kalau melihat keuntungan yang besar.
Karena itulah harus kita jaga agar kerja sama dan bantuan luar
negeri ini jangan sampai pada suatu kali dipergunakan untuk
menikam kita.
T: Apakah kita telah menggunakan minyak kita dalam diplomasi,
setidak tidaknya dalam lingkungan ASEAN?
J: Sudah, Umpamanya sekarang ini kita mempergunakan minyak kita
untuk menolong beberapa negara ASEAN. Momentumnya memang sudah
ketinggalan sedikit. Waktu mereka membutuhkan itu kita suruh
tunggu, baru sekarang kita kasih tapi mereka sudah kekurangan
uang. Tapi itu sudah kita kompensir dengan perlakuan khusus
--saya tidak bilang harga khusus, ini bisa bikin marah OPEC.
T: Sudahkah ada kesatuan bahasa antara politik dalam negeri dan
luar negeri bahwa bahan mentah kita bisa dipergunakan dalam
diplomasi.
J: Sekarang sudah ada, meski pun terlambat. Padahal sejak di
Aljir dulu saya tekankan kepada Ibnu Sutowo agar memberikan
bantuan minyak kepada ASEAN, supaya mereka tidak lari minta ke
Peking.
T: Mengapa terlambat?
J: Saya kira karena waktu itu mereka berfikir bahwa dengan uang
yang banyak kita bisa pula berbuat banyak dalam pembangunan,
sementara faktor-faktor lain dilupakan. Misalnya saja faktor
persenjataan. Baru setelah kita sibuk di Timor disadari bahwa
kita kekurangan senjata. Mestinya, ada tidak ada perang, senjata
kita selalu harus diperbaharui. Semuanya harus terencana.
T: Setelah 10 tahun pemerintahan Orde Baru, sudah berapa
jauhkah kita melakukan pemikiran kembali politik luar negeri
kita? Selama ini mendapatkan bentuknya sebagai reaksi terhadap
Komunis ....
J: Apakah sudah begitu luas rakyat kita mengetahui bahaya
komunis itu sekarang? Saya kira sudah lupa lagi orang itu.
Aksentuasi politik luar negeri kita seperti yang ada sekarang
ini disebabkan karena belum banyak negara Sosialis yang
memberikan bantuan. Terhadap pembangunan kita sekarang ini,
tidak ada perhatian kecuali dari Amerika, Jepang dan Eropa
Barat.
T: Dengan makin kuatnya suara Dunia Ketiga di PBB --yang
menyebabkan Amerika Serikat tidak enak -- bagaimana sikap kita
di situ, terutama terhadap Tata Baru Ekonomi Internasional?
J: Tata Baru Ekonomi Internasional ini sebenarnya masih
merupakan semboyan saja. Masing-masing setuju, tapi
masing-masing juga tidak setuju. Masing-masing ingin
melaksanakan keinginannya. Titik keseragaman antar negara kaya
dan miskin, masih makan waktu. Posisi kila tidak begitu sulit.
Sebab apa yang mereka inginkan tidak perlu kita tolak.
TIMUR TENGAH
T: Dapatkah hubungan kita dengan Timur Tengah dikembangkan
sebagai suatu sumber dana yang baru?
J: Sebetulnya kalau kita mau mempelgunakan kesempatan, baik.
Umpamanya dengan Abu Dhabi atau Oman. Mereka memerlukan
instrukturr polisi. Kita kan bisa kirimkan. Jadi kita jangan
tahunya minta saja. Mereka kekurangan tenaga ahli, kirim dong,
ini orang-orang yang baru selesai sekolah.
T: Siapa sebenarnya yang harus memulai? Pemerintah atau
swasta?
J: Saya kira yang memulai harus Pemerintah. Bappenas bisa
melakukan ini dengan minta bahan-bahan dari Deplu.
T: Ada pendapat veteran diplomat kita yang menyebut politik luar
negeri kita terhadap Timur Tengah sebagai "politik terhadap
modin" Jadi urusan haji sajalah Bagaimanaini?
J: Soalya karena dulu kita tidak menganggap daerah ini penting,
kecuali untuk berhaji tiap tahun. Dengan perkembangan minyak,
baru kita sadar. Dengan menjadi kayanya mereka, baru kita ingin
mendekatkan diri. Mulai sekarang kita koreksi sikap yang dulu
itu. Apa yang dibutuhkan mereka kita kasihlah. Kecil-kecil
sajalah: instruktur polisi? tukang bikin es, ahli pertanian.
Kalau kita sebagai orang Islam bisa kenapa mereka harus
datangkan dari Eropa, atau Korea? Pakistan yang sejak lama
memberikan sejumlah tenaga kini menikmati mengalirnya bantuan
keuangan dari negara-negara Arab itu. Jadi bagimana orang mau
datang pada kita, kalau kita tidak memberikan jasa?
B.M. DIAH
T: Bagaimana penyelesaian polemik dengan'B.M. Diah?
J: Saya pribadi tidak ada apa-apa. Dia sudah minta maaf. Tapi
bagi saya kalau minta maaf tidak di koran, bukan minta maaf
namanya.
T: Berapa jauh argumentasi B.M. Diah yang pak Adam tidak
setujui?
J: Cara Diah mengemukakan pendapatnya tidak obyektif. Caranya
menghasut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini