Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Agar Murah Ongkos Demokrasi

Setelah 2014, pemilihan umum digelar serentak. Partai-partai setuju, tapi menolak usul pemerintah agar gubernur dipilih parlemen daerah.

3 September 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETIAP melantik gubernur atau bupati, Djohermansyah Djohan selalu menyelipkan pesan dalam pidato pengukuhan agar para calon terpilih itu segera membubarkan tim sukses. "Mereka salah satu yang menjadi pengganggu kerja gubernur, bupati, atau wali kota," kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri itu, pekan lalu.

Dalam kajian Kementerian, setidaknya ada tiga pihak yang membebani kerja para kepala daerah hasil pemilihan langsung: konstituen, tim sukses, dan cukong. Para cukong akan menagih utang budi dengan pelbagai privilese, tim sukses menjadi makelar pelbagai proyek, dan konstituen menagih sumbangan. Walhasil, para kepala daerah sibuk melayani mereka.

Karena itu, setiap calon kepala daerah mengeluarkan uang tak sedikit untuk bertarung di pemilihan dan setelah menjabat. Menurut Djohan, setiap kepala daerah minimal harus mengeluarkan Rp 100-200 miliar. Belum lagi pengeluaran kas negara untuk membiayai pemilihan kepala daerah yang terjadi sepanjang tahun.

Untuk satu kabupaten di Jawa yang punya 1,2 juta pemilih, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah rata-rata mengalokasikan Rp 15 miliar per pemilihan. Sejak otonomi berlaku, pada 2001, ada 491 kabupaten/kota plus 33 provinsi. Karena wilayahnya lebih luas, setiap Komisi Pemilihan Umum Provinsi mendapat sangu APBD untuk logistik sebesar Rp 250-300 miliar sekali pemilihan.

Menurut Djohan, ongkos besar pemilihan langsung membuat kepala daerah terdorong korup. Data Kementerian menunjukkan, sepanjang Oktober 2004-Juli 2012, ada 277 kepala daerah yang masuk bui atau berurusan dengan hukum—83 persen kasus korupsi. Belum lagi anggota parlemen yang tersangkut kasus serupa. Sejak 2008 saja, dari total 16.267 orang, ada 431 anggota dewan perwakilan rakyat daerah provinsi dan 2.553 anggota parlemen daerah yang berurusan dengan pengadilan.

Ongkos besar dan tak efektifnya pemerintahan di daerah membuat Kementerian Dalam Negeri mengusulkan agar Dewan Perwakilan Rakyat merevisi aturannya. Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dipisahkan dari Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Hari-hari ini DPR sedang membahas revisi dua beleid itu berbarengan dengan Rancangan Undang-Undang Desa.

Banyak aturan baru yang diusulkan. DPR, misalnya, mengusulkan agar pemilihan umum dilakukan serentak hanya dua kali dalam lima tahun. Menurut anggota Komisi Pemerintahan, Khatibul Umam Wiranu, para politikus masih terbelah di antara dua opsi. Opsi pertama pemilu daerah dan pemilu nasional, opsi kedua pemilu legislatif dan pemilu eksekutif. "Dua-duanya pilihan bagus," kata politikus Demokrat itu.

Pemerintah malah punya tiga opsi. Selain yang disebut Khatibul, dua lainnya pengelompokan pemilihan dan percepatan atau penundaan pemilihan, karena habis masa jabatan tiap kepala daerah berbeda-beda. Untuk mengisi masa jabatan yang kosong sebelum waktu pemilihan, ditempatkan penjabat sementara yang ditunjuk pemerintah. Menurut Djohan, setidaknya butuh dua tahap pemilihan hingga pemilu serentak bisa mulai digelar bersamaan secara nasional, yakni pada 2023.

Pemerintah juga mengusulkan agar gubernur dipilih oleh DPRD saja. Alasannya, kata Djohan, gubernur adalah kepanjangan tangan pemerintah pusat yang perannya lebih banyak sebagai koordinator, pengawasan, dan pembinaan kepada bupati. "Sebab, otonomi sesungguhnya ada di kabupaten dan kota," katanya.

Dengan alasan efisiensi, Demokrat setuju usul ini. Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera meminta usul itu dikaji dulu untung-ruginya. Tapi Partai Amanat Nasional, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, dan Partai Persatuan Pembangunan masih menolak. Menurut Hakam Naja dari PAN, pemilihan oleh DPRD akan membuat posisi politik gubernur tak sekuat dulu lagi. "Padahal revisi ini justru ingin menambah peran dan kewenangan gubernur."

Menurut Khatibul, Demokrat dicurigai mendukung pasal 11 dalam RUU Pemilihan Kepala Daerah karena ingin mengisi jabatan gubernur dengan kader-kadernya. Sebagai pemenang Pemilu 2009, Demokrat menguasai parlemen di daerah, dan suaranya cukup untuk mengusung calon gubernur. "Kami tawarkan agar aturan ini berlaku setelah 2014, agar semua partai mulai dari nol lagi," ujarnya.

Maka fraksi yang awalnya menolak kini mulai setuju dengan usul ini. Wakil Ketua DPR, Priyo Budi Santoso dari Golkar, misalnya, meminta pemerintah tak tergesa-gesa memberlakukan aturan ini. "Pemilihan gubernur langsung sudah baik, tak perlu buru-buru diubah," katanya. Fraksi lain masih menunggu lobi-lobi antarfraksi yang akan dilakukan empat pekan lagi, setelah mendengar masukan pakar dan lembaga swadaya.

Aturan lain yang mencolok dari revisi ini adalah syarat calon gubernur atau bupati dan wali kota. Pasal 12 mengatur para calon harus tak punya hubungan langsung ke atas, samping, dan bawah dengan pejabat gubernur atau bupati. Ini untuk membendung anak, istri, atau suami gubernur/bupati bertahan mencalonkan diri, seperti banyak terjadi di daerah sekarang.

Seseorang juga dilarang menjadi calon bupati/wali kota jika saudaranya masih menjabat gubernur. Ini, misalnya, terjadi di Banten dan Lampung. Wali Kota Tangerang Selatan adalah adik Gubernur Banten dan Wali Kota Bandar Lampung adalah adik Gubernur Lampung. Sedangkan di Bekasi, istri wali kota mencalonkan diri pada pemilihan 2012 untuk menggantikan suaminya yang masuk bui karena korupsi.

Khatibul Umam sadar, pasal ini rawan digugat ke Mahkamah Konstitusi karena menjegal hak politik seseorang. Ia memperkirakan pembahasannya pun akan alot karena partai-partai punya kepentingan melanggengkan kekuasaan. "Secara etika politik, ini memang salah," ujarnya.

Meski suara parlemen belum bulat, Djohan menargetkan pembahasan dua rancangan itu selesai awal 2013 supaya bisa diberlakukan setelah 2014. "Agar kerja kepala daerah segera efektif dan ongkos demokrasi kita murah," katanya.

Bagja Hidayat, Ira Guslina

Wajah Baru Otonomi Daerah

RANCANGAN Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah akan mengubah pemilihan gubernur, wali kota, dan bupati secara drastis. Selain gubernur dipilih parlemen daerah, ada larangan seseorang yang punya hubungan darah dengan inkumben ikut mencalonkan diri. Revisi ini juga menutup kesempatan calon gubernur dari jalur perseorangan. Setelah terpilih, kepala daerah menunjuk wakil dari jalur karier birokrat dengan jabatan tertinggi yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah.

Pasal 2
Gubernur dipilih oleh anggota DPRD provinsi secara demokratis berdasarkan asas langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Pasal 12p
Tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur, kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan.

Pasal 12q
Berhenti sementara dari jabatannya bagi gubernur/wakil gubernur petahana.

Pasal 41
Pemilihan bupati/wali kota dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Pasal 93 (2)
Pejabat negara yang menjadi calon bupati/wali kota dalam melaksanakan kampanye tidak menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya.

Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah

Pasal 41

(3)Wakil kepala daerah adalah jabatan negeri setingkat eselon IB untuk wakil gubernur dan eselon IIA untuk wakil bupati/wakil wali kota.

Wakil kepala daerah berhenti bersama-sama dengan berhentinya kepala daerah.Daerah provinsi dengan jumlah penduduk:
a. sampai tiga juta jiwa tidak memiliki wakil gubernur
b. di atas tiga juta sampai sepuluh juta jiwa memiliki satu wakil gubernur
c. di atas sepuluh juta jiwa memiliki dua wakil gubernur.

(4) Daerah kabupaten/kota dengan jumlah penduduk:
a. sampai seratus ribu jiwa tidak memiliki wakil bupati/wali kota
b. di atas seratus ribu jiwa memiliki satu wakil bupati/wali kota.

Pasal 42
(1) Wakil gubernur diangkat oleh presiden dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.
Gubernur mengajukan wakil gubernur dua kali dari jumlah wakil gubernur kepada presiden melalui menteri.
Wakil bupati diangkat oleh menteri dari pegawai negeri sipil.
Bupati mengajukan nama wakil bupati dari jumlah wakil bupati/wali kota kepada menteri melalui gubernur.

Pasal 70
(1) Dalam hal bupati/wali kota berhenti atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan sisa masa jabatan kurang dari dua tahun, menteri menetapkan pejabat bupati/wali kota sampai berakhirnya masa jabatan bupati/wali kota atas usul gubernur
Dalam hal bupati/wali kota berhenti atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan sisa masa jabatan lebih dari dua tahun, menteri menetapkan pejabat bupati/wali kota atas usul gubernur sampai terpilihnya bupati/wali kota yang baru.
Apabila sisa masa jabatan bupati/wali kota berhenti atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan sisa masa jabatan lebih dari dua tahun, pemilihan dilakukan melalui DPRD. l

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus