Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Meski tidak mengenal istilah oposisi, mekanisme checks and balances harus tetap ada.
Ketiadaan oposisi dalam sistem presidensial akan menyuburkan mentalitas otoritarian presiden.
Hal yang tidak bagus jika tidak ada oposisi yang tangguh untuk checks and balances di parlemen.
MANUVER pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, yang berupaya merangkul rival politiknya, berpotensi membentuk koalisi gemuk tanpa pengawasan. Koalisi yang nantinya berujung bagi-bagi kekuasaan ini dikhawatirkan membuat eksekutif berjalan tanpa kontrol parlemen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Pusat Studi dan Kajian Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan sistem presidensial yang dianut Indonesia tidak mengenal istilah oposisi, melainkan mekanisme checks and balances harus tetap ada dalam pemerintahan. Menurut dia, makna oposisi seharusnya tidak dipersempit hanya pada istilah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Charles menjelaskan, jika tidak ingin menyebutnya sebagai oposisi, sistem presidensial tetap harus membutuhkan kekuatan penyeimbang yang berada di luar pemerintah. “Kenapa butuh kekuatan penyeimbang? Agar pemerintahan ini ada kontrol,” ujarnya saat dihubungi Tempo pada Jumat, 22 Maret 2024.
Petugas KPPS menunjukkan surat suara pemilihan calon presiden dan wakil presiden yang sudah tercoblos saat penghitungan suara pilpres pada Pemilu 2024 di TPS 03 Braga, Sumurbandung di Bandung, Jawa Barat, 14 Februari 2024. ANTARA/M. Agung Rajasa
Seakan-akan Jadi Tradisi Politik
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas itu heran lantaran praktik merangkul partai politik oleh presiden seakan-akan menjadi tradisi politik Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat seharusnya menjadi lembaga penyeimbang kekuasaan eksekutif. Dengan tiga fungsi yang dimiliki, yakni pengawasan, legislasi, dan anggaran, seharusnya DPR bisa menjadi kekuatan penyeimbang presiden.
Charles menyebutkan koalisi gemuk—merangkul rival politik menjadi kawan—memang kerap menjadi perdebatan sejak era reformasi. Alih-alih membuat oposisi sebagai kekuatan penyeimbang, pemerintah dan pendukungnya justru berdalih kehadiran oposisi sebagai penghambat kebijakan.
“Praktiknya, setelah reformasi, selalu lahir koalisi yang gemuk, dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sampai Presiden Joko Widodo. Ini hanya taktik bagi-bagi kekuasaan untuk berdalih agar pemerintah bisa berjalan tanpa pengawasan,” tuturnya.
Charles menuturkan alasan politikus di Indonesia suka merangkul lawan politiknya. Sistem partai politik Indonesia berbeda dari negara lain yang juga menganut sistem presidensial, yakni tidak mengacu pada ideologi, melainkan pada pragmatisme. Fenomena ini bahkan tak jarang terjadi pada partai politik yang berideologi agama.
Dibanding di Indonesia, kata Charles, ideologi partai politik negara lain cenderung lebih tegas sehingga sikap politik mereka lebih jelas. Artinya, partai politik di Indonesia dipertemukan hanya oleh kepentingan. "Basis partai politik kita itu tidak mempunyai ideologi yang tegas,” ujarnya. “Seolah-olah, siapa pun yang menang, yang penting bergabung. Jadi, ini sekadar seremonial, yang menang nanti mengajak yang kalah.”
Dihubungi secara terpisah, pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan ketiadaan oposisi dalam sistem presidensial akan menyuburkan mentalitas otoritarian presiden. Sebab, semua keputusan ditentukan berdasarkan selera subyektif presiden karena oposisi sebagai penyeimbang terhadap kebijakan presiden dianggap telah mati.
Menurut Herdiansyah, sistem presidensial bukan tidak mengenal konsep oposisi, melainkan oposisi tidak boleh terlalu kuat sehingga membatasi presiden dalam mengambil keputusan. Sebaliknya, koalisi pemerintah juga tidak boleh terlalu gemuk karena akan melumpuhkan pengawasan terhadap presiden. Apalagi godaan kekuasaan presiden dalam sistem presidensial begitu tinggi. Ia menyebutkan presiden dalam sistem presidensial sebagai raja yang dibalut dengan legitimasi konstitusi. “Ketiadaan oposisi akan merusak desain sistem checks and balances,” katanya.
Ketua Umum Partai PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri didampingi Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani menyampaikan orasi politiknya saat kampanye akbar capres-cawapres Ganjar Pranowo-Mhafud Md. di Benteng Vastenburg, Solo, Jawa Tengah, 10 Februari 2024. ANTARA/M. Risyal Hidayat
Dalam kesempatan terpisah, pakar politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan, meski sistem presidensial tidak mengenal istilah oposisi, partai politik yang berada di luar pemerintahan dianggap oposisi. Menurut dia, hal yang sama terjadi di Amerika Serikat, yang juga menganut sistem presidensial. Partai Demokrat akan selalu menjadi oposisi apabila Partai Republik menang dan sebaliknya. “Kalau kita ini terlalu dinamis. Tergantung kepentingan,” katanya.
Ujang mengatakan manuver Prabowo yang mencoba mengajak NasDem masuk koalisinya lantaran Prabowo memerlukan kekuatan di parlemen. Menurut Ujang, pemerintahan Prabowo-Gibran tidak akan kuat dan stabil apabila hanya bersandar pada partai politik Koalisi Indonesia Maju. Sebab, perolehan kursi Koalisi Indonesia Maju tidak akan mencapai 50 persen.
Walhasil, mau tak mau, Prabowo mesti merangkul partai lain yang kalah, misalnya NasDem, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, atau Partai Keadilan Sejahtera. “Agar Prabowo bisa memiliki kekuatan parlemen mayoritas. Artinya, kebijakan Prabowo-Gibran yang dijanjikan selama kampanye akan mudah direalisasi,” kata Ujang.
Meski Prabowo membutuhkan mayoritas parlemen agar pemerintahannya kuat, pada saat yang sama juga harus ada oposisi yang kuat di parlemen. Ujang mengungkapkan tidak bagus apabila tidak ada oposisi yang tangguh untuk checks and balances di parlemen. Apalagi jika semua partai politik menjadi pendukung presiden. “Mesti ada pihak-pihak yang kuat dan tangguh menjadi oposisi. Kita lihat saja siapa yang kuat dan tangguh menjadi oposisi,” katanya.
Adapun pengamat politik Trias Politika Strategis, Agung Baskoro, menjelaskan bahwa merangkul lawan politik dalam tradisi politik di Indonesia lazim karena politikus terbiasa membangun konsensus. Faktor lain adalah sumber daya negara yang besar membuat penguasa tidak optimal apabila mengelolanya sendiri.
“Karena banyak dan beragam resources-nya, lebih baik power sharing, supaya ada keseimbangan, ada kestabilan, ada harmoni di antara kekuatan-kekuatan,” kata Agung kepada Tempo.
Kendati demikian, Agung melihat PDIP bisa menjadi oposisi yang kuat di luar pemerintahan apabila semua partai Koalisi Perubahan dirangkul Prabowo-Gibran. Sebab, dari partai politik pesaing yang lolos ke parlemen, PDIP-lah yang paling mungkin lantaran pengalaman menjadi oposisi selama dua periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004-2014.
Untuk PKB dan PKS, Agung melihat masih ada kemungkinan kedua partai itu bergabung dengan Prabowo. Menurut dia, kedekatan PKS bisa menjadi faktor mereka bergabung dengan Prabowo. PKS dekat dengan Prabowo ketika mendukungnya sebagai calon presiden dalam Pilpres 2014 dan 2019. Sedangkan PKB pernah masuk pemerintahan Jokowi meski sampai saat ini belum ada arahan untuk bergabung. Agung menduga kedekatan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dengan Anies Baswedan menjadi penghalang bergabungnya PKB.
Menurut dia, hubungan politik Anies-Muhaimin terlalu dekat. Muhaimin sendiri masih berfokus lewat gugatan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi atau jalur lain DPR lewat angket. “Muhaimin ingin semaksimal mungkin memanfaatkan semua kanal demokrasi agar dia dianggap sudah berjuang dan akhirnya memang tidak ada pilihan lain.”
Partai politik Koalisi Perubahan juga memiliki konstituen yang cukup besar, yakni hampir 40 juta pemilih. Setiap manuver partai pengusung Anies-Muhaimin yang tiba-tiba merapat ke Prabowo-Gibran akan membuat basis pemilih mereka kecewa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo