Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Brahma Aryana menggugat putusan MK No. 90 tahun 2023 tentang batasan usia capres-cawapres.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie memuji gugatan yang dilayangkan mahasiswa Unusia tersebut. "Ini menarik yang diajukan mahasiswa Unusia ini. Jadi ya, ini kasus pertama undang-undang yang sudah diputus oleh MK diuji lagi. Ini bisa nebis in idem, tapi saya sudah dapat ini, ini sudah diregistrasi oleh MK," katanya dalam sidang di Gedung 2 Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Kamis, 2 November 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Brahma Aryana. TEMPO/Subekti
Mahasiswa Unusia tersebut mengajukan judicial review terhadap Pasal 169 huruf q UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) sebagaimana telah dimaknai MK dalam Putusan No. 90/PUU-XXI/2023. Putusan tersebut memungkinkan seseorang berusia di bawah 40 tahun yang berpengalaman menjadi kepala daerah dapat mencalonkan diri sebagai presiden maupun wakil presiden.
"Ini kreatif. Mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama perlu kita apresiasi," kata Jimly.
Profil Unusia
Berdirinya Unusia tak lepas dari komitmen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pada 1998. Saat itu, PBNU berkomitmen mengembangkan pendidikan tinggi. Dilansir dari unusia.ac.id, PBNU kemudian membentuk sebuah yayasan yang diberi nama Yayasan Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (YPTNU) melalui SK PBNU Nomor 929/A.II.03/6/1998.
Dilansir dari unusia.ac.id, setahun berselang, YPTNU bekerja sama dengan para tokoh-tokoh NU lainnya untuk merencanakan berdirinya Universitas Nahdlatul Ulama. Harapannya, universitas tersebut bertaraf internasional. Gagasan tersebut mulai direalisasikan secara bertahap pada 2003 dengan berdirinya Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama.
Berdasarkan hasil Rapat Pleno di Wonosobo PBNU pada 2010, mewajibkan pengelolaan perguruan tinggi langsung menggunakan badan hukum Perkumpulan Nahdlatul Ulama. Untuk merespons hal tersebut dan dalam rangka penyelenggaraan perguruan tinggi, PBNU membentuk Badan Pelaksana Penyelenggara Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama. Badan tersebutlah yang menjadi perpanjangan tangan dari Perkumpulan Nahdlatul Ulama dalam menjalankan tugas teknis penyelenggara pendidikan yang mengusahakan berdirinya Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia di Jakarta.
Pada tahun 2015, Izin Penyelenggaraan Universitas diberikan melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 557/E/O/2014 dengan 10 (sepuluh) Program Studi.
Melalui Rekomendasi Kementerian Agama RI dan Rekomendasi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi maka pengurus Besar Nahdlatul Ulama mengeluarkan Surat Keputusan penggabungan STAINU Jakarta ke Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Melalui SK Dirjen Diktis No. 4814 Tahun 2017 tentang Izin Perubahan Nama Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama Jakarta menjadi Fakultas Agama Islam pada Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Konsekuensinya, STAINU Jakarta resmi menjadi Fakultas Agama Islam pada Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia. Kini Unusia memiliki 16 program studi dalam 6 fakultas.
Fakultas dan Prodi Unusia
Universitas yang dipimpin Juri Ardiantoro ini memiliki 6 fakultas dan 16 prodi yang terakreditasi.
1. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Fakultas ini memiliki tiga prodi tingkat strata-1, yaitu S1 Pendidikan Agama Islam, S1 Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, dan S1 Guru Paud.
2. Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Di fakultas ini, Unusia menyediakan dia program studi, yaitu S1 Akuntansi dan S1 Ekonomi Syariah.
3. Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer
Fakultas ini merupakan penyumbang prodi terbanyak di Unusia. Total ada empat prodi yang bernaung di fakultas ini, yaitu S1 Teknologi Agroindustri, S1 Teknik Industri, S1 Teknik Informatika, dan S1 Sistem Informasi.