Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa tahun terakhir, pemerintah tampak serius menggenjot mutu perguruan tinggi agar setara dengan kampus terkemuka dunia. Salah satu caranya dengan memperbanyak publikasi di jurnal internasional bereputasi, yang sering kali dimaknai sebagai jurnal terindeks Scopus—basis data pustaka komersial yang populer di dunia akademik—agar peringkat perguruan tinggi dalam negeri dapat naik secara global.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2023, misalnya, hanya ada lima perguruan tinggi Indonesia yang masuk top 500 dalam daftar peringkat Quacquarelli Symonds (QS) yang menjadi rujukan pemerintah. Dua dari enam bobot terbesar dalam penilaiannya berhubungan langsung dengan publikasi, yakni reputasi akademik dan sitasi per fakultas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain sebagai indikator pemeringkatan perguruan tinggi, penerbitan di jurnal bereputasi terikat dengan proses promosi jabatan dosen di Indonesia.
Di satu sisi, semangat publikasi ini bisa baik untuk mendorong kualitas akademikus di Indonesia, dari membuat dosen lebih terbiasa menulis hingga mendorong mereka berkontribusi membangun wawasan keilmuan di tingkat global.
Berdasarkan kajian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), selama 2017-2021, ada kenaikan jumlah artikel ilmiah yang terbit dalam jurnal-jurnal Scopus, yakni sebanyak 7-13 persen, bergantung pada kategori peringkat jurnalnya (Q1 hingga Q4). Hal ini berarti kebijakan publikasi di Indonesia mulai menuai hasil positif—setidaknya secara kuantitas.
Sayangnya, kebijakan ini justru menjadi bumerang ketika sebagian kalangan akademikus mencari jalan pintas untuk penerbitan jurnal.
Meski belum ada riset yang melakukan pemetaan, sebagai mantan anggota unit publikasi di fakultas saya pada periode 2021-2022, juga dengan pengalaman sebagai direktur pelaksana di suatu jurnal nasional selama 2020-2021, saya menyaksikan munculnya banyak praktik “percaloan” publikasi yang melibatkan akademikus dari berbagai perguruan tinggi.
Banyaknya akademikus, termasuk mahasiswa S-3 di Indonesia, yang belum paham kaidah penulisan riset dan budaya publikasi di tengah “paksaan” penerbitan karya ilmiah, memberi ruang untuk hadirnya praktik dan oknum yang tak bertanggung jawab. Mereka menawarkan jasa menjadi penghubung antara penulis dan jurnal dengan janji penerbitan secara instan.
Ilustrasi menulis jurnal ilmiah. Unsplash
Mencari Jalan Pintas
Penerbitan di jurnal yang bereputasi dan berkualitas tinggi umumnya memerlukan kualitas riset di atas rata-rata dengan proses reviu sejawat (peer review) yang ketat dan memakan waktu lama.
Praktik percaloan memungkinkan pemangkasan waktu tunggu publikasi bagi dosen yang memerlukan kenaikan pangkat atau bagi mahasiswa doktoral yang mengejar kelulusan, dari hitungan bulan atau tahun menjadi sekian minggu saja. Bahkan para calo juga menawarkan jaminan terbit pada jurnal dengan peringkat atau nilai Q yang dikehendaki.
Pelakunya bisa bervariasi: ada oknum dosen, individu, dan ada juga yang “difasilitasi” kampus, baik secara terang-terangan maupun tidak.
Tentu saja publikasi lewat calo tidak gratis. Dalam pengamatan saya, dosen harus merogoh ongkos yang cukup tinggi, Rp 5-30 juta. Padahal lebih dari 80 persen jurnal yang terindeks di Scopus itu biayanya dibebankan kepada pembaca (akses artikelnya berbayar) sehingga para penulis tidak dibebankan biaya pengajuan atau penerbitan naskah.
Bahayanya juga, publikasi lewat jalur calo sering kali merujuk pada jurnal-jurnal yang cenderung tidak aman.
Ini termasuk jurnal-jurnal yang terindikasi bersifat “predator”. Umumnya mereka meminta bayaran tinggi dari akademikus, tapi memiliki proses reviu ilmiah yang lemah atau bahkan nihil.
Jurnal Humanities and Social Sciences Review (HSSR) pada 2019 tiba-tiba meraih kuartil Q1 (kategori peringkat tertinggi) di Scopus. Namun, pada tahun yang sama, jurnal ini sepenuhnya dikeluarkan dari indeks tersebut karena masalah etika dan standar publikasi. Hal ini membuat sebagian dosen di Indonesia kecewa dan merugi karena telah membayar uang hingga jutaan rupiah.
Beberapa peneliti pun menemukan puluhan hingga potensi ratusan jurnal terindeks Scopus yang terindikasi bersifat predator.
Hal ini bisa saja dimanfaatkan oleh para calo publikasi karena proses skrining editorialnya yang lemah dan memakan korban banyak akademikus Indonesia.
Bahkan para calo umumnya hanya meminta manuskrip yang sesuai dengan struktur pendahuluan, metode, hasil, dan pembahasan (introduction, method, results, and discussion atau IMRaD) dengan reviu yang sering kali tak berhubungan dengan substansi naskah.
Suatu studi pada 2021 dari tim peneliti Charles University di Praha, Republik Cek, yang menggegerkan dan memicu perdebatan di dunia akademik menemukan Indonesia sebagai negara kedua terbanyak penghasil karya ilmiah di jurnal terindikasi predator yang terindeks Scopus selama periode 2015-2017—yakni 17 persen atau setiap 1 dari 6 artikel yang terbit.
Yang paling apes adalah ketika calo merujuk pada jurnal-jurnal bajakan atau kloning, yang didesain mirip sekali dengan jurnal bereputasi yang asli atau bahkan merupakan hasil peretasan.
Bagi akademikus yang terkelabui, tulisan mereka pada jurnal tersebut bisa jadi tak terekam di indeks Scopus—atau terekam namun tidak bisa ditelusuri keberadaan dokumennya—sehingga tidak akan diakui oleh Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti). Bagi mahasiswa doktoral, ini bisa berarti mereka terancam gagal mengikuti sidang disertasi.
Pemeriksaan indikasi plagiarisme pada makalah seorang calon Hakim Agung Tata Usaha Negara (TUN) dalam uji kelayakan di kompleks Parlemen, Jakarta. ANTARA/Aditya Pradana Putra
Resep Kekacauan
Dalam pandangan saya, fenomena munculnya para calo publikasi ini akibat kombinasi tiga faktor:
1. Kebijakan publikasi oleh pemerintah yang implementasinya sangat berfokus menggenjot kuantitas.
2. Pengetahuan di kalangan akademikus dan mahasiswa doktoral yang masih cenderung lemah akan standar, budaya, serta norma publikasi ilmiah yang baik.
3. Tekanan akademis terhadap mahasiswa doktoral dan akademikus yang besar untuk melakukan publikasi pada jurnal bereputasi tanpa disertai pendampingan.
Niat pemerintah menaikkan mutu pendidikan tinggi perlu dibarengi dengan kebijakan yang memadai dan berorientasi pada insan akademik—termasuk memperhatikan beban kerja mereka yang besar, meliputi mengajar hingga mengurus administrasi berbelit—bukan yang sekadar berorientasi pada pemeringkatan.
Semangat yang saat ini ada justru menimbulkan budaya jalan pintas dalam dunia akademik.
Jika praktik seperti percaloan publikasi tidak segera diberantas, reputasi akademikus Indonesia menjadi taruhannya.
Untuk menguranginya, pemerintah dan perguruan tinggi dapat mengubah skema kewajiban publikasi bagi mahasiswa doktoral bukan sebagai penentu kelulusan, melainkan sebagai poin tambahan atau misalnya untuk meraih predikat cum laude.
Dengan begitu, mahasiswa doktoral bisa berfokus sepenuhnya menyelesaikan kuliah dan menyempurnakan risetnya tanpa dihantui tekanan publikasi di “jurnal internasional bereputasi”.
Selain itu, pemerintah dan perguruan tinggi harus lebih menggalakkan sosialisasi, pendampingan, dan pengawasan yang berkaitan dengan publikasi pada jurnal-jurnal bereputasi sebagaimana yang diminta dalam pedoman Penilaian Angka Kredit Dosen (PO-PAK) keluaran Dikti. Membiarkan banyaknya dosen dan periset yang belum terbiasa akan hal ini sama saja membiarkan lahan subur tumbuhnya para calo.
---
Artikel ini ditulis oleh Taufik Rachmat Nugraha, peneliti The Indonesian Center for the Law of the Sea (ICLOS), Universitas Padjadjaran, Bandung. Terbit pertama kali di The Conversation.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo