Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Ciptakan Kesetaraan Pendidikan, Kemendikbud Bina 118 Sekolah Adat

Kemendikbud membina sebanyak 118 sekolah adat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Hal itu bertujuan untuk menciptakan kesetaraan pendidikan.

4 Mei 2023 | 08.10 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Anak-anak yang bersekolah di sekolah adat ikut hadir di upacara peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di kantor Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pada 2 Mei 2023.Dokumentasi: Kementerian Pendidikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) membina sebanyak 118 sekolah adat yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Hal itu bertujuan untuk menciptakan kesetaraan dan kesempatan luas kepada siapapun untuk mendapatakan pendidikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kemendikbudristek terus berupaya memberikan layanan pendidikan kepada semua anak bangsa tanpa terkecuali termasuk untuk anak-anak masyarakat adat,” kata Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemendikbudristek Sjamsul Hadi pada Selasa, 2 Mei 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendirian sekolah adat bertujuan untuk menyediakan sarana belajar budaya yang vital dan berkelanjutan sehingga menjadi tempat mengembangkan kemampuan dan kapasitas pelaku atau pengelola pemajuan kebudayaan.

Upaya ini sekaligus merupakan wadah mengoptimalkan ruang publik menjadi ruang interaksi budaya sehingga budaya masyarakat tetap terjaga. Sebanyak 21 anak dari tiga sekolah adat di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur; Banyuwangi, Jawa Timur; dan Jambi menjadi peserta upacara peringatan Hardiknas 2023 yang berlangsung di kantor Kemendikbudristek Jakarta.

Sjamsul menuturkan pembelajaran yang dijalankan di sekolah adat sebagai salah satu pendidikan alternatif bagi masyarakat adat pada kenyataannya sejalan dengan prinsip Kurikulum Merdeka.

“Dukungan yang sudah kami berikan bagi sekolah adat antara lain penyusunan kurikulum kontekstual bagi sekolah adat yang bekerja sama dengan Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikbudristek,” ujarnya.

Kehadiran sekolah adat ini pun direspons dengan baik oleh anak-anak masyarakat adat. Herman yang merupakan anak sekolah adat Sekola Sumba yang mengaku senang karena mendapatkan pelajaran menganyam dan menenun.

Herman yang bergabung di Sekola Sumba sejak 2019 tersebut sempat mengenyam pendidikan formal hingga kelas 2 SMP, namun jarang masuk sekolah karena kehidupan sehari-harinya juga membantu pekerjaan orang tua.

“Saya senang bersekolah di sekolah adat. Kami ingin belajar supaya pintar jadi kami ikut belajar sama Pak Guru,” kata Herman.

Kisah Herman berbeda dengan Nisa yaitu anak Sekolah Adat Pesinauan Osing, Banyuwangi, Jawa Timur, karena menjalani dua jenis pendidikan sekaligus yakni pendidikan formal di SMK dan sekolah adat.

Pemilik nama lengkap Shoula Nisa Lailatus Syiam yang kini menjadi siswi kelas X di SMKN 1 Banyuwangi bercerita bahwa ia masuk Sekolah Adat Pesinauan Osing karena ingin mengetahui lebih dalam tentang adat desa Kemiren, Banyuwangi.

Menariknya, Nisa ternyata juga menjadi guru di Sekolah Adat Pesinauan Osing dengan mengajarkan tari tradisional kepada anak-anak sekolah adat tersebut yang selaras dengan jurusannya di SMK yakni Seni Tari.

Pada Senin hingga Jumat, Nisa biasanya bersekolah di SMKN 1 Banyuwangi lalu pergi ke sekolah adat pada hari Ahad atau hari libur lain. “Kalau di sekolah adat saya sebagai mentor tari. Saya ajarkan anak-anak mulai dari olah tubuh lalu olah rasa,” ujarnya.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus