Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Gagal Maju Terbentur Mahar

Kader Partai Gerindra melaporkan mahar politik ke polisi. Menyetor ratusan juta di daerah, dimintai miliaran rupiah di Jakarta.

17 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANTANG mundur tidak ada dalam kamus Asmadi Lubis. Apalagi kalau menyangkut urusan pemilihan kepala daerah. Itu sebabnya, setelah gagal maju menjadi calon Bupati Toba Samosir, Sumatera Utara, kader Partai Gerindra ini melakukan perlawanan. Salah satunya membawa persoalan tadi ke Kepolisian Daerah Sumatera Utara.

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Toba Samosir ini melaporkan Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gerindra Sumatera Utara Gus Irawan Pasaribu ke polisi, Rabu pekan lalu. Isi laporannya, Gus Irawan menipu Asmadi untuk menyetorkan mahar Rp 600 juta. "Uang itu diberikan untuk memuluskan surat rekomendasi dari pengurus pusat Gerindra," katanya.

Asmadi mengatakan Gus Irawan berjanji menyerahkan uang tersebut ke DPP Gerindra. Tapi, hingga pendaftaran ditutup, Gerindra tidak mengeluarkan surat rekomendasi buat pasangan Asmadi dan Jisman Hutapea-kader Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.

Rekomendasi itu malah diberikan kepada Poltak Sitorus dan Robinson Tampubolon. Poltak dan Robinson juga mendapatkan dukungan dari Partai Demokrat, PKPI, dan Partai Kebangkitan Bangsa.

Dalam keterangannya kepada awak media, pria yang berprofesi sebagai advokat ini mengaku menyerahkan uang kepada Gus Irawan dua kali. Awalnya, Asmadi menyerahkan mahar Rp 100 juta di sebuah kafe di kompleks Tasbih Medan, sekitar Mei. Menjelang pendaftaran pemilihan kepala daerah tahap pertama ditutup tiga pekan lalu, ia kembali menyerahkan Rp 500 juta kepada Gus Irawan di Jakarta.

Menurut Asmadi, serah-terima uang tadi tidak disertai bukti tertulis. "Tapi ada beberapa orang yang melihat dan siap menjadi saksi dalam proses penyelidikan," katanya. Asmadi tidak menjelaskan siapa saksi yang dimaksud.

Kepala Sub-Bidang Penerangan Masyarakat Polda Sumatera Utara Ajun Komisaris Besar M.P. Nainggolan mengatakan tengah mengumpulkan bukti yang berkaitan dengan laporan Asmadi. Bukti-bukti itu dibutuhkan sebelum dilakukan gelar perkara.

Gus Irawan membantah pernyataan Asmadi. "Semua itu bohong dan fitnah," katanya. Dia mengatakan tidak pernah membicarakan mahar dengan Asmadi.

Wakil Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan DPR ini mengatakan justru dirinya yang selama ini memperjuangkan Asmadi. Salah satu buktinya, ia yang mengusulkan pasangan Asmadi dan Jisman sebagai calon Bupati dan Wakil Bupati Toba Samosir. Surat yang ia teken pada pertengahan Juni itu dikirim kepada Ketua Umum DPP Gerindra Prabowo Subianto.

Namun, hingga batas akhir pendaftaran, Asmadi dan Jisman tidak mampu mendapatkan dukungan dari partai lain, termasuk PKPI. Padahal Asmadi dan Jisman butuh dukungan dari partai lain karena Gerindra hanya memiliki empat kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Toba Samosir. Syarat minimal mengajukan calon kepala daerah di Toba Samosir adalah enam kursi. Itu sebabnya, kata Gus Irawan, DPP Gerindra memberikan rekomendasi kepada Poltak dan Robinson.

Sejak mengantongi dukungan dari DPD Gerindra Sumatera Utara, Asmadi dan Jisman memang rajin bergerilya di Jakarta. Tujuannya agar memperoleh surat rekomendasi dari pengurus pusat. Ia dan Jisman juga ikut proses wawancara di Gerindra. Nah, saat di Jakarta inilah mereka dimintai miliaran rupiah.

Pada akhir Juni, Asmadi menemui Wakil Ketua Umum DPP Gerindra Arief Poyuono di kantor DPP Gerindra, Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Di depan Arief, Asmadi menanyakan kenapa surat rekomendasi dari pengurus pusat tak kunjung keluar.

Dalam pertemuan itulah, kata Jisman, Arief meminta Asmadi menyetorkan Rp 2,5 miliar. "Uang itu untuk mengganti dana yang sudah disetor pasangan lain," ujar Jisman. Asmadi dan Jisman menduga, pasangan lain yang dimaksud tak lain Poltak dan Sitorus. Saat itu keduanya sudah mendengar kabar bahwa DPP Gerindra hendak memberikan rekomendasi kepada Poltak dan Sitorus.

Setelah bertemu dengan Arief, Asmadi dan Jisman menemui Hashim Djojohadikusumo pada hari yang sama. Selain menanyakan kepastian surat rekomendasi partai, keduanya melaporkan ada permintaan uang mahar. Menurut Jisman, Hashim meminta keduanya mengabaikan permintaan tersebut.

Dalam keterangan persnya dua pekan lalu, Hashim membenarkan pertemuan tersebut. Ia menerima laporan dari Asmadi dan Jisman soal permintaan uang mahar Rp 2,5 miliar. Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra ini memperoleh informasi serupa dari Wakil Ketua Umum Gerindra Marwah Daud Ibrahim. Marwah, sebagai anggota panitia seleksi bakal calon kepala daerah, mendapatkan laporan tersebut saat melakukan wawancara dengan Asmadi dan Jisman. Hashim tidak merinci apakah orang yang dilaporkan itu adalah Arief Poyuono.

Arief Poyuono membantah pernyataan Asmadi dan Jisman. "Saya tidak pernah meminta mahar," ucapnya. Uang yang dibicarakan dalam pertemuan itu, kata dia, merupakan dana survei yang belum dibayar oleh Poltak dan Robinson. Menurut Arief, tidak ada permintaan kepada Asmadi untuk menalangi uang survei tersebut.

Arief mengatakan Poltak harus membayarkan uang itu kepada empat lembaga survei. Jumlahnya bukan Rp 2,5 miliar, melainkan Rp 250 juta. "Empat lembaga survei itu yang menagih ke saya," ujarnya. Lembaga survei itu antara lain Indonesia Network Election Survei (INES) dan Lembaga Kajian Pemilu Indonesia (LKPI).

Pembicaraannya dengan Asmadi, kata Arief, juga dihadiri Bambang Kristiono, orang dekat Ketua Dewan Pembina Gerindra Prabowo Subianto. Kebetulan Arief menempati ruangan yang sama dengan Bambang.

Menurut Arief, Asmadi dan Jisman gagal memperoleh surat rekomendasi karena dalam proses wawancara tidak bisa menunjukkan rekomendasi dari partai lain, termasuk PKPI.

Gerindra akhirnya memberikan dukungan buat Poltak dan Robinson karena pasangan ini bisa menunjukkan surat rekomendasi dari PKPI. Dalam proses seleksi, Poltak dan Robinson bahkan bisa menunjukkan surat rekomendasi dari Partai Demokrat. "Itu yang menjadi salah satu pertimbangan untuk memperoleh dukungan dari Gerindra," kata Hashim.

Menurut Jisman, ia dan Asmadi gagal memperoleh dukungan PKPI karena menolak menyetor mahar. Saat hendak meminta surat rekomendasi, Asmadi dan Jisman dimintai uang Rp 1,6 miliar. Dana itu untuk mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan Poltak membiayai Kongres PKPI di Medan pada Mei lalu. PKPI akhirnya memberikan rekomendasi kepada Poltak dan Robinson.

Ketua DPC PKPI Toba Samosir Monang Naipospos keberatan rekomendasi dari pengurus pusat diberikan kepada Poltak dan Robinson. Keputusan itu, kata Monang, tidak sesuai dengan aspirasi daerah. Sebab, PKPI Toba Samosir telah mengusulkan Asmadi dan Jisman sejak awal Juni.

Itu sebabnya, PKPI Toba Samosir meminta pengurus pusat meninjau kembali surat rekomendasi yang telah diberikan. Mereka juga meminta surat keputusan pencalonan diberikan kepada Asmadi dan Jisman. Diteken Monang Naipospos dan Sekretaris PKPI Toba Samosir Lammer Panjaitan, surat tertanggal 20 Juli itu ditujukan kepada pengurus pusat PKPI.

Setelah kasus ini mencuat, Asmadi dicopot dari Ketua Dewan Pimpinan Cabang Gerindra Toba Samosir. Sedangkan Jisman dipanggil pengurus pusat PKPI pada Sabtu dua pekan lalu. "Saya diminta tidak menjelek-jelekkan nama partai," katanya.

Namun keduanya bertekad pantang mundur. Asmadi berjanji terus berjuang membongkar praktek mahar politik. Ia juga telah mengajukan gugatan mengenai pencopotannya sebagai Ketua DPC Gerindra Toba Samosir ke PTUN Medan. "Sebagai kader yang membesarkan Gerindra di Toba Samosir, saya merasa dikhianati," katanya.

Yandhrie Arvian, Salomon Pandia (medan)


Aneka Modus Penarik Upeti

Nilai-nilai mahar politik calon Bupati Sidoarjo terekam dalam percakapan telepon di antara sesama politikus Partai Gerindra pada akhir Mei lalu. M. Sholeh, calon bupati yang gagal memperoleh rekomendasi, tak bisa menyembunyikan kegusarannya kepada Abdul Malik, kuasa hukum Ketua Gerindra Sidoarjo Mohamad Rifai. Malik amat fasih bercerita tentang bayar-bayar kepada Rifai dan Ketua Gerindra Jawa Timur Supriatno. "Mahar politik itu lumrah, terjadi di semua partai," kata Malik pada Kamis pekan lalu.

Malik bercerita tentang aneka setoran yang terjadi di partainya. Awalnya, seorang pendaftar, Utsman Ikhsan, mendekati Basuki, orang kepercayaan Supriatno, agar diberi rekomendasi. Namun dukungan ini tak cuma-cuma karena Utsman mesti menyetorkan uang sebesar Rp 750 juta. Jatah ini dibagi untuk Basuki Rp 100 juta, Rifai Rp 150 juta, dan Supriatno.

Malik mengatakan kewajiban setoran belum berhenti. Utsman, yang merupakan bekas narapidana korupsi anggaran Sidoarjo 2003, mesti menyetorkan Rp 2 miliar ke pengurus pusat. Duit ini tak langsung mengalir ke Jakarta karena disunat Rifai. Menurut Malik, sebanyak Rp 1 miliar diambil Rifai untuk membeli Toyota Alphard milik Supriatno. Setelah aneka setoran ini, Utsman, yang bukan kader Gerindra, berhasil mengantongi surat rekomendasi pencalonan.

Pemberian rekomendasi itu membuat Sholeh curiga. Sholeh baru mendapatkan amunisi ketika Utsman secara blakblakan mengakui adanya mahar politik dalam konsolidasi Partai Keadilan Sejahtera di The Sun Hotel, Sidoarjo, pada 1 Agustus lalu. Dalam wawancara dengan stasiun televisi, Utsman mengakui menyetorkan sejumlah uang kepada pengurus Gerindra. Dia beralasan, semua orang diperbolehkan menyetor ke partai. "Untuk nominalnya, itu rahasia. Yang jelas, untuk PKS, saya kosong," kata Utsman.

Sholeh kemudian melaporkan Utsman ke Panitia Pengawas Pemilu Sidoarjo. Namun, belakangan, Panitia Pengawas menghentikan laporan ini dengan alasan tak ada cukup bukti. Adapun Mohamad Rifai dan Supriatno membantah keras tuduhan Sholeh. "Ini fitnah keji," ujar Rifai.

Di Depok, setoran kepada partai dikamuflasekan dengan modus pendanaan survei. Salah satu calon yang mengaku dimintai mahar adalah Rudisamin, Ketua Pemuda Pancasila Kota Depok. Berdasarkan hasil sigi, posisi Rudisamin di urutan ketiga di bawah Achmad Nasir Biasane dan Soetadi Dipowongso. Awalnya, dia tak keberatan tidak berada di posisi puncak. Namun, kata Rudisamin, Ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Depok Hendrik Tangke Allo berjanji mengerek posisinya ke urutan pertama dalam hasil sigi asalkan menyetorkan sejumlah uang.

Rudisamin menyerahkan uang bertahap secara tunai dan transfer bank. Total uang yang dia serahkan ke Hendrik mencapai angka Rp 300 juta. "Bukti transfernya ada, saya siap bersaksi," ujar Rudisamin. Seorang pengurus PDIP di Depok menuturkan, setiap calon memang diminta menyetorkan uang untuk pembiayaan survei dan Rudisamin penyumbang terbesar. Meski sudah menyetorkan uang, Rudisamin gagal memperoleh tiket rekomendasi. Adapun Hendrik membantah menerima uang. Keputusan pencalonan, kata dia, merupakan kewenangan pengurus pusat.

Di Kabupaten Manggarai, pengamat politik Sebastian Salang gagal maju karena gagal melengkapi persyaratan jumlah kursi partai pendukung. Dia diminta menyetorkan uang Rp 3 miliar agar mendapat tambahan dukungan satu kursi. Sebelumnya, Salang mendapat rekomendasi dari Partai Golkar dan Partai Kebangkitan Bangsa. Namun permintaan ini ditolaknya. "Saya gagal maju karena kekurangan satu kursi," ujarnya.

Pemimpin Badan Pengawas Pemilu, Nasrullah, menemukan ada indikasi mahar politik dalam proses pencalonan kepala daerah. Sejumlah calon kepala daerah, kata dia, sudah mengadu ke Badan Pengawas karena gagal memperoleh rekomendasi akibat tak sanggup menyetor ke partai politik.

Wayan Agus Purnomo (jakarta), Imam Hamdi (depok), Nur Hadi (sidoarjo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus