Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan penetapan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto sebagai tersangka tidak boleh berhenti pada penggunaan pasal suap. Menurut peneliti ICW Tibiko Zabar, KPK bisa bertindak lebih progresif, yakni dengan menyangkakan Hasto dengan pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi tentang perintangan penyidikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sebab ICW meyakini pelarian Harun Masiku tentu melibatkan banyak pihak. Sehingga untuk membuat kasus ini semakin terang, KPK bisa menggunakan pasal tersebut untuk menjerat pihak lainnya,” kata Tibiko dalam keterangan tertulis pada Selasa, 24 Desember 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tibiko mengatakan penetapan Hasto sebagai tersangka diharapkan bisa mengungkap keberadaan Harun Masiku yang saat ini berstatus buronan. Pengungkapan keberadaan Harun Masiku, kata Tibiko, menjadi poin kunci penuntasan kasus suap yang melibatkan komisioner KPU 2017-2022 Heru Setiawan itu.
“ICW meyakini keterangan Harun Masiku akan memperkuat proses di persidangan nantinya,” katanya.
Kasus suap Harun Masiku terhadap Wahyu Setiawan ini berawal dari operasi tangkap tangan KPK terhadap Wahyu dan beberapa kader PDIP pada 8 Januari 2020. Wahyu diduga menerima suap untuk memuluskan proses penggantian antar waktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 dari PDIP di Daerah Pemilihan Sumatera Selatan 1.
Proses PAW itu berawal ketika calon legislator PDIP dari Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I Nazarudin Kiemas meninggal tiga pekan sebelum pencoblosan pada Pemilu 2019. Nazarudin merupakan caleg PDIP dengan perolehan suara terbanyak di dapil itu di Pemilu 2019. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pemilu, pengganti caleg meninggal atau alasan lain adalah calon legislator peraih suara terbanyak berikutnya di dapil bersangkutan, yaitu Riezky Aprilia.
Namun, PDIP meminta KPU menggantinya dengan calon pilihan partai, yaitu Harun Masiku. Harun adalah peraih suara urutan kelima di Dapil Sumatera Selatan 1 pada Pemilu 2019. Untuk memuluskannya, pihak PDIP lantas melobi komisioner KPU saat itu, Wahyu Setiawan.
Permohonan PDIP itu berakhir kandas pada 7 Januari 2020. Tapi uang dugaan suap untuk memuluskan proses PAW sudah diberikan kepada Wahyu Setiawan. Setelah memastikan aliran uang, KPK menangkap Wahyu dan kader PDIP Saeful Bahri.
KPK juga hendak menangkap Harun Masiku dalam operasi penangkapan tersebut. Tapi Harun Masiku kabur ke arah kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia pun menghilang di kampus kepolisian tersebut. Hingga saat ini, Harun Masiku berstatus sebagai buronan KPK.
Dalam kasus ini, Wahyu Setiawan divonis enam tahun penjara. Lalu Saeful Bahri divonis satu tahun delapan bulan penjara.
KPK menduga Hasto Kristiyanto terlibat dalam perkara suap tersebut. Penyidik sempat hendak menggeledah ruangan Hasto di kantor DPP PDIP, kawasan Menteng, Jakarta Pusat ketika operasi penangkapan. Tapi upaya penggeledahan tersebut dirintangi sehingga gagal terlaksana. Dalam sejumlah kesempatan, Hasto membantah terlibat dalam perkara Harun Masiku tersebut.
Sebelumnya KPK mengumumkan penetapan Hasto pada Selasa siang, 24 Desember 2024. Hasto ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap yang melibatkan politikus PDIP, Harun Masiku, terhadap Komisioner KPU periode 2017-2022 Wahyu Setiawan.
Ketua KPK Setyo Budiyanto mengatakan Hasto memiliki peran vital dalam kasus suap tersebut. Dia diduga membantu pelarian Harun Masiku. Harun adalah kader PDIP yang juga menjadi tersangka dalam kasus ini. Hingga kini Harun masih menjadi buronan.
Berdasarkan penyidikan KPK, menurut Setyo, Hasto berperan mulai dari menyediakan uang suap. KPK menemukan sumber uang suap tersebut dari Hasto. "Uang suap sebagian dari HK, itu dari hasil yang sudah kami dapatkan saat ini," kata Setyo.