Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Republik Indonesia menghadapi masa krusial dan krisis, termasuk Belanda ingin kembali menguasai, tapi beberapa tahun kemudian Uni Soviet mengakui kemerdekaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terjadinya agresi militer Belanda 1 dan 2, karena Belanda belum mengakui kemerdekaan Indonesia secara penuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara de facto, Indonesia memang sudah merdeka, tetapi secara de jure, Indonesia belum sepenuhnya merdeka karena masih banyak negara lain yang belum mengakui kemerdekaan Indonesia.
Setelah terjadinya Konferensi Meja Bundar (KMB), barulah Indonesia diakui merdeka secara penuh oleh banyak negara.
Walaupun belum diakui merdeka secara penuh oleh banyak negara, terdapat beberapa negara yang sudah mengakui kemerdekaan Indonesia secara penuh, salah satunya adalah Uni Soviet.
Menurut catatan sejarah, pada Desember 1948, Uni Soviet mulai membuka hubungan diplomatik dengan pemerintah Indonesia. Dan Indonesia serta Uni Sovet pernah menandatangani kesepakatan di Praha, Cekoslowakia. Namun, kesepakatan tersebut dibatalkan karena Indonesia mendapat tekanan kuat dari Belanda.
Pada akhirnya, hubungan diplomatik antar Uni Sovet dengan Indonesia terjadi pada Desember 1949 setelah terjadinya KMB. Setelah terjadi penyerahan kedaulatan dari Belanda, pada 1950-an, TNI memiliki rencana untuk melakukan peremajaan terhadap alat utama sistem pertahanan alias alutsista.
Sebagai informasi, alutsista Indonesia pada saat itu adalah sisa-sisa Perang Dunia II.
Pada 1956, Presiden Sukarno berkunjung ke Uni Soviet untuk pertama kalinya dan sejak saat itu hubungan bilateral keduanya semakin mesra.
Tuntutan untuk pembelian alutsista semakin menggema ketika Sukarno mengumandangkan Trikora dalam perebutan Irian Barat dari cengkeraman Belanda.
Saat itu, petinggi ABRI mengajukan proposal pembelian alutsista ke Amerika Serikat, tetapi ditolak. AS menolak proposal dari pihak Indonesia karena diketahui senjata tersebut akan digunakan untuk melawan Belanda, sekutu AS di Eropa.
Pada akhirnya, Sukarno meminta kepada A.H Nasution untuk membeli alutsista dari Uni Soviet.
Hal ini dikenang oleh Nasution dalam buku Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5 : Kenangan Masa Orde Lama. Pada awalnya, Nasution merasa keberatan dengan perintah tersebut karena Uni Sovet sudah pernah menawarkan bantuan militer berupa alutsista kepada Indonesia, tetapi tawaran tersebut ditangguhkan karena petinggi ABRI memiliki keyakinan dapat memperoleh alutsista dari AS.
Pada Desember 1960, Nasution akhirnya berangkat menuju Moskow untuk bernegosiasi dengan pemerintah Uni Soviet untuk pembelian alutsista. Proses negosisasi berhasil selesai pada 6 Januari 1961 dan Nasution berhasil membawa alutsista dari Moskow menuju Jakarta.
Di samping itu, selama di Moskow, Nasution juga mendapatkan pelayanan yang menyenangkan dari Uni Soviet. Bahkan, ia diberikan kesempatan untuk berpidato di Istana Kremlin. Dalam misinya di Moskow, Nasution berhasul membawa alutsista senilai $ 450 juta dengan mekanisme pembayaran dilakukan secara kredit berjangka 20 tahun dengan bunga 2,5 %.
Alutsista-alutsista yang berhasil diborong oleh Nasution, antara lain 12 kapal selam, tank, kapal roket cepat, pesawat tempur, helikopter, peralatan amfibi, dan berbagai persenjataan berat asal Uni Soviet lainnya.
EIBEN HEIZIER
Baca : Arti Elang Berkepala Dua pada Lambang Negara Rusia